15 July 2025
HomeBeritaReposisi Kebudayaan Dayak, Demong di Kalimantan Utusan Tuhan di Tanah Dayak

Reposisi Kebudayaan Dayak, Demong di Kalimantan Utusan Tuhan di Tanah Dayak

KETAPANG, SHNet.com  – Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO) dan Ketua Dewan Pimpinan Daerah Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN) Provinsi Kalimantan Barat, Dr Yulius Yohanes, M.Si, menegaskan, Demong atau Damang, sebagai utusan Tuhan di Tanah Dayak.

Demong sebutan hakim adat di wilayah Kabupaten Ketapang, Temenggung (Dayak Iban), Timanggong (Dayak Kanayatn) di Provinsi Kalimantan Barat, Damang (Provinsi Kalimantan Tengah), Kepala Adat (Provinsi Kalimantan Timur), Pemanca (Sabah) dan Anak Negeri (Sabah).

“Demong, Temenggung, Damang, Kepala Adat, Pemanca dan sebutan lainnya sebagai utusan Tuhan di Tanah Dayak, Pulau Borneo, jika dilihat dari aspek anthropologi budaya,” kata Yulius Yohanes, Sabtu, 11 Desember 2021.

Sejarahnya ribuan orang Demong menggelar pertemuan Damai di Rumah Betang Damang Batu, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, 22 Mei – 26 Juli 1894, menghasilkan 9 point kesepakatan, dijabarkan dalam 96 pasal hukum adat, di antaranya menghentikan budaya perbudakan dan potong kepala manusia.

“Hasil pertemuan Damai Tumbang Anoi 1894, sebagai undang-undang dasar masyarakat hukum adat Dayak di Pulau Borneo, atau sebagai tonggak dasar pedoman arah masyarakat hukum adat Suku Dayak sampai sekarang,” ujar Yulius Yohanes.

Pada masanya dan sampai sekarang dalam revitalisasi Kebudayaan Dayak, posisi Demong sangat strategis karena memiliki empat peran sekaligus.

           Pertama, Pewarta Agama Dayak.

Kedua, Panglima Perang.

Ketiga, Kepala Wilayah.

Keempat, Hakim Adat yang memutus sengketa perdata dan pidana antar anggota komunitasnya.

“Posisi sebagai pewarta Agama Dayak, maknanya, Demong, merupakan utusan Tuhan di Tanah Dayak, Pulau Borneo,” ungkap Yulius Yohanes.

 

Peran demong

Demong, berfungsi menganyomi dan menuntun masyarakat Adat Dayak sebagai sekelompok individu  masyarakat pribumi atau kesatuan hidup manusia yang menempati suatu tempat dengan batas wilayah  yang jelas, dan berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat, serta terikat dalam satu rasa identitas komuniti.

Di era modern sekarang, ini, Demong tetap memiliki tanggungjawab besar dan strategis dalam pembentukan karakter dan jati diri Dayak, karena pengetahuannya yang luas, tokoh panutan, integritas moral teruji dalam mengaplikasikan relligi Dayak dalam kehidupan sehari-hari, dengan sumber doktrin legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak.

Mengaktualisasikan peran Demong, dalam upaya mendukung Program Nawacita, yaitu berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkarakter secara budaya.

Dikaitkan dengan peran Demong, Pemerintah telah melakukan konsolidasi nasional lewat empat tahap, untuk menuntun masyarakat kembali pada karakter dan jatidiri sesuai kebudayaan asli bangsa Indonesia.

           Pertama, Seminar Nasional Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia di Jakarta, Selasa, 4 April 2017, dimana ditegaskan pembangunan Indonesia di masa mendatang harus berdasarkan akselerasi kapitalisasi dan modernisasi budaya, mengingat hal yang sama menjadi kunci utama kemajuan di bidang ekonomi dan teknologi inovasi di China, Jepang dan Korea Selatan.

Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), pada 27 April 2017, mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang: Pemajuan Kebudayaan.

Undang-Udang Pemajuan Kebudayaan adalah jalan untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia: menjadi masyarakat berkepribadian dalam kebudayaan, berdikari secara ekonomi, dan berdaulat secara politik. Untuk pertama kalinya, Indonesia memiliki undang-undang tentang kebudayaan nasional.

“Di sini digariskan, setiap warga masyarakat Indonesia, harus berkedudayaan asli Indonesia, dan orang Dayak harus berkebudayaan Dayak. Karena kebudayaan Dayak, salah satu dari Kebudayaan Nasional Indonesia,” kata Yulius Yohanes.

Ketiga, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Selasa, 7 Nopember 2017, mengabulkan gugatan atas Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan yang mewajibkan mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk.

Hal ini membuat para penganut kepercayaan bisa mencantumkan aliran kepercayaan di kolom agama saat membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP). Ini dimaknai pengakuan terhadap agama asli Indonesia yang lahir dari kebudayaan asli Indonesia, dengan sumber doktrin: legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat dari berbagai suku bangsa di Indonesia.

“Dimana dalam aplikasi doktrin agama asli di Indonesia, kaya akan substansi keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, menghargai kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya,” ungkap Yulius Yohanes.

Ini bisa dilihat dari sumber doktrin Agama Kaharingan, sebagai salah satu agama asli Suku Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak Uud Danum dan Dayak Ngaju di Provinsi Kalimantan Tengah.

           Keempat, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menerima naskah kajian akademik strategi pembangunan pemajuan kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di Jakarta, Minggu, 9 Desember 2018.

Gerakan kembali kepada karakter dan jatidiri Bangsa Indonesia, bukan berarti orang Dayak yang sudah memeluk agama samawi (Islam, Katolik dan Kristen), harus pindah keyakinan ke dalam agama asli Dayak.

Di sini harus dipahami, melalui empat tahap konsolidasi kembali kepada karakter dan jatidiri Bangsa Indonesia, masyarakat Dayak mesti melihat agama samawi yang dianut sebagai sumber keyakinan iman, dan sarana berkomunikasi dengan Tuhan.

“Sementara kebudayaan asli Suku Dayak dimana ada sistem religi di dalamnya, sebagai filosofi etka berperilaku, sehingga antar agama samawi dan religi Dayak, saling bersinergi di dalam pembentukan karakter dan jatidiri Dayak, agar keduanya dimaknai di dalam konteks yang berbeda,” ungkap Yulius Yohanes.

 

Soegijapranata dan Tjilik Riwut

Hal ini sudah diungkap secara terbuka oleh Pahlawan Nasional, Uskup Agung Semarang, Albertus Soegjapranata SJ, bahwa warga Indonesia yang beragama Katolik harus menjadi orang Katolik seratus persen dan menjadi warga Indonesia seratus persen.

Lebih spesifik, Tjilik Riwut, Pahlawan Nasional, Gubernur Kalimantan Tengah, 1958 – 1967, memperkenalkan Agama Kaharingan di Provinsi Kalimantan Tengah. Karena sampai akhir hayatnya ,Tjilik Riwut sebagai penganut salah satu agama samawi, yaitu Agama Katolik.

Bagi Tjilik Riwut, menurut Yulius Yohanes, Agama Katolik sebagai sumber keyakinan iman, sementara sumber doktrin Agama Kaharingan sebagai filosofi etika berperilaku bagi masyarakat Suku Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah.

“Dari figur Soegjapranata dan Tjilik Riwut, masyarakat Dayak diingatkan akan filsuf Thomas Aquinas (1225 – 1274), dengan teologi adikodrati: seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya. Itu berarti sejak abad ke-13, orang Dayak sudah diakui mampu mengenal Tuhan dengan akal dan budinya,” ungkap Yulius Yohanes.

“Bahwa sistem religi Dayak sebagai jantung peradaban Kebudayan Dayak,  dalam aplikasinya, kaya akan substansi nilai-nilai kehidupan, jalan menuju kedamaian di dalam hati, keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, menghargai kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya.”

“Bahwa sebagai masyarakat agraris, doktrin agama asli Suku Dayak dengan tanaman padi, sangat erat dalam aturan ritualnya, dan hampir semua jenis ritual Dayak, selalu ada hubungannya dengan pertanian dan tanaman padi.”

Bahwa sebagian besar jenis religi Dayak, digelar saat tahapan perladangan berlangsung, mulai dari menebas, menebang, membakar, menugal, merumput, hingga memanen, dan berladang dengan cara bakar, masyarakat Suku Dayak membangun jaringan infrastruktur kebudayaannya, berladang dengan cara bakar, masyarakat Suku Dayak melaksanakan peribadatannya.

Dari pemahaman disebutkan di atas, menurut Yulius Yohanes, langkah akselerasi peran Demong sebagai tokoh sentral karena kemampuannya di dalam memahami kebudayaan Dayak, integritas moral yang teruji, untuk memudahkan gerakan kepada karakter dan jatidirnya, beberapa langkah mesti ditempuh.

Pertama, memperkuat jaringan infrastruktur kebudayaan Dayak, dituangkan dalam bentuk produk literasi, berupa pendokumentasian mitos suci, legenda suci, adat istiadat dan hukum Adat, karena pesan moralnya sebagai filosofi hidup masyarakat Suku Dayak.

Kedua, mereposisi pelaksanaan hukum adat, lantaran hukum adat itu bersifat suci dan sakral, karena sebagai salah satu komponen dari sumber doktrin agama asli Dayak. Hukum adat hanya boleh digelar seseorang berkapasitas sebagai Demong yang peroleh legitimasi dari komunitas adat Dayak setempat sebagaimana rekomendasi Seminar Pekan Gawai Dayak Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak, Selasa, 22 Mei 2017.

“Dalam Seminar Pekan Gawai Dayak Provinsi Kalimantan Barat tahun 2017, ditegaskan, seseorang terbukti menggelar peradilan adat, tapi bukan berstatus sebagai Demong (hakim adat, damang, temenggung, pemancan, anak negeri), maka yang besangkutan wajib dihukum adat kembali, karena masuk kategori melanggar adat Dayak,” ucap Yulius Yohanes.

Ketiga, lanjut Yulius Yohanes, mendorong Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Kalimantan untuk menerbitkan Peraturan Daerah tentang Pemajuan Kebudayaan, sebagai penjabaran teknis dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang: Pemajuan Kebudayaan. *

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU