19 January 2025
HomeBeritaRUU Kesehatan, Dokter Susah Praktik Blak-blakan di DPR RI

RUU Kesehatan, Dokter Susah Praktik Blak-blakan di DPR RI

JAKARTA– Forum Dokter Susah Praktek (FDSP) juga menyatakan dukungannya mendukung RUU Kesehatan yang menetapkan Surat Tanda Registrasi (STR) seumur hidup. Hal ini disampaikan oleh dr. Yenni Tan, MARS  di Jakarta, Kamis (13/4/2023). Pernyataan ini juga sudah disampaikan dalam sidang Komisi IX, DPR-RI, Selasa (11/4/2023).

“Mengenai STR, kami FDSP setuju dengan usulan Menkes untuk menyederhanakan proses pengurusan STR, dan untuk STR berlaku seumur hidup,” jelasnya dalam RDP Komisi IX yang dihadiri anggota komisi lengkap.

Ia memaparkan, sebelumnya ada polling mengenai setuju atau tidak STR berlaku seumur hidup, polling ini di dibuat pada 26 Maret 2023 dan sampai saat ini sudah ada 9.4597 suara yang memberi pendapat mereka dalam polling.

“Sebanyak 95.4% nakes (tenaga kesehatan) setuju bahwa STR seumur hidup, sementara hanya 4.6% tidak setuju. Ini adalah harapan nakes Indonesia, dan kami FDSP berharap yang terhormat anggota DPR komisi 9 juga dapat menyetujui harapan kita untuk ini,” ujarnya.

Dokter Yenni Tan menjelaskan, pada prinsipnya STR bisa di analogikan seperti KTP, STR murni administrative. Mengambil contoh di negara ASEAN lain pun STR sebagai registration berlaku seumur hidup.

“Perlu dibedakan dengan SIP yaitu license yang perlu di perpanjang dan dievaluasi,” ujarnya.

Ia menjawab banyak yang mempertanyakan bahwa STR berlaku seumur hidup akan menyuburkan praktik dokter dan pelayanan kesehatan yang berkualitas buruk. “Ini adalah hoax, karena uji kompetensi tetap berlaku ketika memperpanjang SIP untuk menjamin kualitas pelayanan kesehatan,” tegasnya.

Ada juga hoax yang menghubungkan STR dengan keamanan pasien dan dapat menilai adanya pelanggaran etik. Nyatanya, kode etik dapat diawasi pihak rumah sakit melalui komite etik, komite medis, komite keperawatan sesuai PERMENKES terkait akreditasi RS.

“Pemantauan dan pengawasan harian ini justru jauh lebih efektif dan menjamin kualitas pelayanan lebih dari selembar kertas rekomendasi dari IDI yang menyatakan kelayakan dokter untuk berpraktek,” tegas Yenni Tan.

Untuk pengurusan SIP, FDSP berpendapat bahwa tidak seharusnya dicantumkan dan dijadikan ketentuan dalam undang-undang untuk adanya surat rekomendasi dari ormas.

“IDI, sebagai satu-satunya organisasi profesi yang dicantumkan dalam UU Pradok tahun 2004, terkesan memonopoli,” ujarnya.

Biaya iuran IDI wilayah bervariatif. Sudah sangat sering dibahas biaya-biaya untuk syarat pengurusan SIP tidak sedikit dan bervariatif antara IDI wilayah dan kolegium yang di bawah PB IDI.

“Bagaimana dengan dokter yang pasiennya do re mi. Juga adanya keharusan untuk menjadi anggota dan mendapatkan surat rekomendasi untuk dokter bisa praktek di satu tempat membuat adanya conflict of interest yang menghambat kompetisi yang sehat. Di luar neger, tidak ada keharusan seperti ini,” tegasnya.

Kekurangan Dokter Spesialis
Dokter Yenni Tan menyoroti kekurangan dokter spesialis yang disampaikan okeh menteri kesehatan beberapa waktu lalu. Menurutnya saat ini Indonesia mengikuti program academic health system atau university based program yang hanya universitas yang dapat membuat program PPDS. Namun selama berpuluhan tahun pendidikan prodi spesialis dan subspesialis hanya di monopoli dan dibatasi untuk di universitas negeri, sementara universitas swasta yang secara teori juga termasuk dalam academic health system dipersulit untuk membuka prodi spesialis.
Universitas negeri, sering dipermasalahkan dan dipertanyakan kualitas pengajar dan pendidikan hospital-based program, tapi hal yang sama bisa terapkan pada academic health system karena antar universitas dalam negeri pun sangat variatif.

“Kita bisa lihat dari kekurangan dokter spesialis bahwa program academic health system seharusnya di ubah menjadi hospital-based seperti di negara-negara maju dan sesuai dengan yang disarankan di RUU Kesehatan. Solusinya adalah menerapkan hospital-based program dengan kurikulum yang standard dan ujian kompetensi secara nasional untuk menilai secara adil,” paparnya.

Hal di atas, menurutnya, seperti yang sudah diterapkan di negara maju, dengan adanya hospital based program bisa memperingan defisit dokter spesialis, dan menjamin distribusi dokter dengan membuka program di luar kota-kota besar.

Permudah Dokter Lulusan LN
FDSP meminta mempermudah bagi dokter lulusan luar negeri mengabdi pada kepentingan rakyat Indonesia. Namun banyak ketakutan dokter lulusan luar negeri bisa membanjiri lapangan kerja di dalam negeri.

“Dari pihak Menkes sendiri sudah mengatakan bahwa ini hoax dengan penjelasan yang cukup lengkap dan logis. Pengaturan untuk dokter lulusan luar negeri sudah diatur ketat dalam pasal-pasal di RUU Kesehatan,” ujarnya.
Peraturan menetapkan:

1.WNA wajib mengikuti evaluasi kompetensi dilaksanakan oleh Kemenkes dan Kemendiknas dan dapat melibatkan kelompok ahli masing-masing disiplin ilmu kesehatan, lembaga, dan pihak lain yang terkait

2.Evaluasi kompetensi meliputi penilaian kelengkapan administratif dan penilaian kemampuan praktik untuk memastikan kesesuaian dengan standar kompetensi yang ada di Indonesia.
Dalam hal hasil uji kompetensi dinyatakan kompeten, WNA harus mengikuti adaptasi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

3.WNA yang mengikuti adaptasi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus memiliki STR dan SIP.

4.WNA tidak dapat melakukan praktek mandiri.

“Peraturan untuk WNI lulusan luar negeripun sangat tidak mudah dengan peraturan adaptasi yang ada,” ujar dr. Yenni Tan.

Menurutnya, mengenai kompetensi dokter LLN, seharusnya Indonesia mengikuti standard International, seperti contoh banyak negara yang mengakui ujian medical licensing exam USMLE america dan ujian PLAB UK.

“Saya pribadi berpendapat jika benar dokter lulusan dalam negeri kompeten dan dapat memberi pelayanan kesehatan yang optimal, tidak seharusnya takut dengan dokter-dokter lulusan luar negeri, pada prinsipnya pasien tentu akan memilih dokter yang mereka anggap bagus,” ujarnya.

Menurutnya, sebelum adanya RUU ini pun, dengan peraturan yang lama yang mempersulit dan memperhambat dokter lulusan luar negeri untuk berpraktek di Indonesia.

“Fakta lapangannya adalah pasien WNI sangat banyak sekali yang berobat ke luar negeri sampai menghabiskan bertriliun rupiah,” tegasnya.

Justru pihak yang menolak RUU menurutnya dengan alasan ini secara tidak langsung mengakui bahwa mereka takut akan kompetisi sehat dan lebih mementingkan diri sendiri melebihi kebaikan untuk pasien, dan mengakui adanya kekurangan dalam kualitas dan pelayanan pasien dalam negeri.

“Saya yakin seperti di negara maju lainnya, sebagai contoh Amerika, Singapore dan Australia yang bisa menerima dokter-dokter warga negara asing dengan standard dan ujian kompetensi justru akan memperbaik layanan kesehatan,” ujarnya. (web)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU