6 December 2024
HomeBeritaTiga Alasan Indonesia Perlu Meningkatkan Diplomasi Antariksa di Indo Pasifik

Tiga Alasan Indonesia Perlu Meningkatkan Diplomasi Antariksa di Indo Pasifik

Yunita Permatasari, National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN)

Di tengah Abad Asia, Indonesia memiliki potensi yang besar untuk lebih maju karena menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di kawasan.

Untuk memperkuat hal ini, Indonesia perlu memperkuat diplomasi antariksa, yakni membangun kemitraan dan meningkatkan kerja sama internasional dalam pemanfaatan antariksa secara damai.

Diplomasi antariksa merupakan satu dari empat pilar antariksa sebagai Penggerak Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) – Space2030 Agenda dan rencana implementasinya dalam 50 tahun konferensi eksplorasi dan penggunaan antariksa secara damai – UNISPACE+50.

Dalam sidang PBB pada 2018, Indonesia menyatakan dukungannya terhadap kerangka tersebut dalam mencapai hasil yang produktif dan meningkatkan kerja sama keantariksaan global.

Riset saya dan tim, dalam skema Prioritas Riset Nasional, menjelaskan pentingnya meningkatkan kerja sama sektor antariksa untuk menguatkan peran Indonesia di Indo-Pasifik.

Mengapa diplomasi antariksa penting?

Diplomasi antariksa saat ini jauh berbeda dari awal kemunculannya pada Perang Dingin yang sarat kepentingan politik perebutan pengaruh Blok Barat dan Blok Timur dalam perlombaan mencapai antariksa untuk mendapat prestise.

Kini diplomasi keantariksaan penting karena kegiatan ini tidak dapat dilakukan sendirian oleh satu negara serta bernilai ekonomi tinggi yang ditandai dengan berkembangnya industri antariksa swasta.

Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang terdapat di luar Ruang Udara yang mengelilingi dan melingkupi Ruang Udara. Secara alamiah keberadaan antariksa dimulai pada sekitar 100-110 km di atas permukaan laut.

Antariksa sebagai wilayah bersama umat manusia yang digunakan secara damai pada praktiknya membutuhkan teknologi tinggi, biaya mahal, risiko besar, dan berguna ganda. Dengan kondisi ini hanya negara maju yang dapat mengeksplorasinya secara luas.

Padahal antariksa menyimpan potensi berlimpah sumber daya alam material seperti asteroid dan non-material seperti slot orbit.

Negara-negara dapat memanfaatkan antariksa untuk membantu kehidupan di Bumi misalnya melalui satelit penginderaan jauh, navigasi, komunikasi, dan lainnya.

Selain itu, negara juga melakukan misi antariksa-dalam untuk mengetahui sumber kehidupan di benda antariksa alami selain Bumi.

Negara berkembang membutuhkan kerja sama untuk keantariksaannya karena keterbatasan penguasaan teknologi antariksa.

Begitupun negara maju sejatinya membutuhkan kemitraan dengan negara berkembang untuk penjejakan satelit, dan aktivitas keantariksaan lain yang melewati batas yurisdiksi negaranya.

Indonesia telah menjamin pemanfaatan antariksa bagi kepentingan semua negara dalam UU No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan. Kita juga berhasil mensponsori ASEAN outlook on Indo-Pacific pada 23 Juni 2019 untuk menjamin stabilitas kawasan secara inklusif dan menjadi platform kerja sama kawasan di berbagai sektor.

Ada setidaknya tiga alasan utama Indonesia perlu meningkatkan diplomasi antariksa di Indo-Pasifik:

Pertama, Indo-Pasifik merupakan pusat geopolitik global

Kawasan ini memiliki berbagai isu strategis di darat, laut, udara, dan keantariksaan yang penyelesaiannya membutuhkan kerja sama keantariksaan internasional. Isu di darat, laut, udara mulai dari keamanan tradisional seperti konflik perairan, perbatasan; hingga non-tradisional seperti kerentanan bencana alam, perubahan iklim, finansial, kompetisi akses serta kendali atas sumber daya alam, dan lainnya.

Isu keantariksaan tergambar dari beraneka ragam bentuk program antariksa di kawasan antara lain: pemanfaatan satelit, peluncuran wahana antariksa dan roket, misi antariksa berawak, hingga penembakan anti-satelit yang memicu ketegangan dalam keamanan internasional dan lingkungan antariksa.

Negara-negara di kawasan ini semakin berpengaruh signifikan dalam dinamika keantariksaan kontemporer. Cina, Jepang, dan India sebagai negara maju bidang antariksa sekaligus kekuatan regional.

Selain itu, negara tetangga seperti Australia dan Thailand juga mengembangkan keantariksaan regional yang masif. Ini belum termasuk banyak start-up keantariksaan.

Kedua, Indonesia negara kunci kawasan

Indonesia secara geografis terletak di tengah kawasan. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, mayoritas muslim, populasi penduduk mencapai 270 juta jiwa, Indonesia menjadi salah satu negara kunci dalam stabilitas kawasan.

Kita juga merupakan pelopor kegiatan keantariksaan di kawasan sejak 1960-an dan pionir dalam pembuatan hingga pelaksanaan peraturan nasional keantariksaan melalui UU No.21 Tahun 2013.

Sejak 1960-an Indonesia memiliki lembaga penerbangan dan antariksa nasional, yang telah mendudukkan Indonesia sebagai pemimpin lembaga keantariksaan internasional seperti the United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS), Regional Support Office (RSO) United Nations Platform for Space-based Information for Disaster Management and Emergency Response (UNSPIDER), the United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (USESCAP), dan Asia-Pacific Regional Space Agency Forum (APRSAF), yang telah berkontribusi dalam diadopsinya guidelines maupun inisiatif tata kelola keantariksaan.

Bahkan Indonesia bernilai lebih strategis dalam keantariksaan karena lokasi astronomis yang menjadikannya dilalui slot orbit geostasioner terpanjang di dunia. Dengan posisi ini, bandar antariksa ekuator bisa menghemat bahan bakar wahana peluncur satelit sehingga mengurangi biaya.

Kapabilitas keantariksaan Indonesia dengan sejarahnya yang panjang jauh mumpuni untuk sekadar sebagai negara berkembang dalam keantariksaan meski belum mampu menjadi negara maju di bidang tersebut.

Indonesia sedang membangun bandar antariksa ekuator pertama di Pasifik yang berlokasi di Biak Papua, observatorium terbesar se-ASEAN di Nusa Tenggara Timur, dan berbagai kapabilitas lainnya.

Indonesia sebagai negara dengan kondisi geografis khusus yaitu berada di ekuatorial, berbentuk kepulauan, dan rawan bencana menjadi sangat berkepentingan untuk menguasai kemandirian teknologi dan aplikasi antariksa.

Ketiga, keantariksaan kunci manajemen bencana

Indonesia sebagai negara rawan bencana, termasuk paling rawan banjir di dunia menyadari dan mendukung pengembangan manajemen bencana di kawasan. Indonesia menjadi Kantor Pendukung Regional Informasi berbasis antariksa untuk bencana untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (RSO UNSPIDER) sejak 2013. Dalam konteks ini termasuk telah mengembangkan booklet kebakaran hutan untuk portal pengetahuan UNSPIDER.

Indonesia berperan sangat aktif dalam Sentinel Asia, inisiatif regional Asia Pasifik untuk berbagi informasi bencana sejak 2010 sebagai simpul analisis data, dan dalam Piagam Internasional “Antariksa dan Bencana Besar” di kawasan Asia Tenggara. Indonesia telah mengaktifkan Piagam Internasional untuk memantau bencana di berbagai negara dalam kawasan misalnya Vietnam.

Termasuk, Indonesia mengembangkan prosedur tanggap darurat di ASEAN melalui AHA Centre dan ASEAN-Sub Committee on Space Technology and Application (ASEAN-SCOSA.

Selain itu, Indonesia menyediakan tenaga ahli sebagai dukungan teknis pada negara-negara di kawasan. Kita juga meningkatkan kapasitas di kawasan sebagai penyelenggara konferensi dan pelatihan manajemen bencana.

Indonesia dapat terus mengembangkan teknologi antariksa yang relevan menghadapi dan mitigasi bencana seperti pandemi COVID-19, bencana alam, dampak perubahan iklim, bahkan penyelundupan lintas batas negara, kejahatan dunia maya, dan risiko ekonomi digital.

Selain itu, kita dapat melanjutkan pembangunan teknologi antariksa untuk memantau, menjaga, dan memanfaatkan seluruh wilayah daratan, perairan, dan udara secara utuh, meliputi keseluruhan sumber daya alam dan sumber daya manusia.

Diplomasi di semua level

Diplomasi keantariksaan di kawasan menjadi wadah bagi Indonesia memperkuat kapasitas dan peran menjamin penggunaan keantariksaan bertujuan damai, terutama dalam manajemen bencana sehingga memperluas pembangunan. Pengembangan diplomasi secara total dalam berbagai bentuk baik antarpemerintah (G2G), pemerintah-bisnis (G2B), antarbisnis (B2B), maupun antarpenduduk (P2P) harus dikembangkan dengan keunggulannya masing-masing.

Diplomasi pemerintah ke pemerintah diperlukan untuk menjamin keamanan kegiatan keantariksaan. Diplomasi pemerintah ke bisnis serta diplomasi antar bisnis diperlukan dalam menjawab tantangan dan peluang peran sektor swasta yang kompetitif. Begitupun diplomasi publik atau antarindividu, sebagai agen populer kemitraan keantariksaan dengan negara lain di era digital.

Dengan demikian, diplomasi antariksa secara total menjadi komitmen eksistensi Indonesia sebagai negara rentan bencana dan demi menjaga stabilitas perdamaian dan meningkatkan pembangunan.The Conversation

Yunita Permatasari, Researcher in Aerospace Policy Studies, National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU