Jakarta-Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk menindaklanjuti hasil penelitian Poltekkes Kemenkes Surabaya yang menunjukkan adanya peluluhan atau migrasi Antimon (Sb) yang sudah mencapai batas maksimum yang diperbolehkan dari kemasan jenis PET (polietilena tereftalat) ke dalam air kemasan yang disimpan dalam ruang penyimpanan dengan temperatur tinggi dalam waktu yang lama. Menurutnya, BPOM sebagai pemegang otoritas pengawasan obat dan makanan bisa melakukan penelitian yang sama untuk memverifikasi hasil temuan itu. Salah satu kemasan yang menggunakan PET ini adalah galon sekali pakai.
“Kalau institusinya kredibel dan ada temuan secara ilmiahnya, saya kira ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah khususnya BPOM,” ujar Anggota Pengurus Harian YLKI Tubagus Haryo.
Karenanya, dia berharap Poltekkes Kemenkes Surabaya bisa melaporkan dengan segera hasil penelitiannya itu ke BPOM, sehigga BPOM sebagai pemegang otoritas pengawasan obat dan makanan bisa melakukan penelitian yang sama untuk memverifikasi hasil temuan itu. “Dan kalau memang hasil temuan itu sesuai maka kewenangan dari BPOM juga untuk bisa mengumumkannya ke publik, sehingga perlindungan terhadap konsumen bisa ditegakkan,” katanya.
Kalau memang itu berbahaya, menurut Tubagus, BPOM sebagai lembaga yang memiliki otoritas harus mengatakan bahwa itu berbahaya. BPOM juga bisa meminta agar produk-produk itu ditarik. “Jadi, BPOM saya kira perlu segara untuk menverifikasi hasil penelitian itu,” tukasnya.
Sebelumnya, Guru Besar Bidang Pemrosesan Pangan Departemen Teknik Kimia Universitas Diponegoro (Undip), Andri Cahyo Kumoro, juga meminta masyarakat untuk mewaspadai bahaya antimon yang ada pada kemasan berbahan PET, termasuk galon sekali pakai. Menurutnya, suhu penyimpanan yang tinggi dan penyinaran sinar matahari secara langsung dapat meningkatkan pelepasan zat antimon ini ke dalam air kemasannya.
Dia mengatakan antimoni trioksida adalah salah satu katalis yang paling banyak digunakan. Jumlah antimon trioksida yang ditemukan dalam botol kemasan dari PET bervariasi antara 100-300 mg/kg. Menurutnya, antimoni merupakan salah satu pencemar air minum yang utama, yang melebihi tingkat kontaminan maksimum (MCL), yaitu 6 ppb, dalam beberapa kondisi penggunaannya.
Paparan jangka pendek ke tingkat yang lebih tinggi dari MCL, kata Andri, dapat menyebabkan efek samping seperti mual, muntah dan diare. Selain itu, kolesterol darah yang lebih tinggi dan gula darah yang lebih rendah adalah efek samping lain yang sering dilaporkan jika terpapar dalam jangka waktu yang lebih lama.
“Suhu penyimpanan yang tinggi dan penyinaran sinar matahari secara langsung dapat meningkatkan pelepasan Antimon atau Sb ke dalam air kemasan,” katanya.
Dalam penelitian yang dilakukan Poltekkes Kemenkes Surabaya baru-baru ini, ditemukan adanya peluluhan atau migrasi Antimon (Sb) dari kemasan jenis PET ke dalam air kemasan yang disimpan dalam ruang penyimpanan dengan temperatur tinggi dalam waktu yang lama.
Dalam observasinya, Poltekkes Kemenkes Surabaya membaginya menjadi tiga kelompok, yaitu pemeriksaan pada hari pertama, kelima, dan kesepuluh setelah perlakuan pemanasan sinar matahari.
Sebagai pembanding, dilakukan juga pengukuran kadar antimon sebelum perlakuan pemanasan dijadikan satu kali pemeriksaan terhadap 3 sampel. Hasil pemeriksaan kadar antimon di laboratorium sebelum pemanasan sinar matahari pada hari ke-0 rata-rata sebesar 0,012 ppm.
Nilai ini masih berada di bawah batas maksimum kadar antimon dalam air kemasan menurut Permenkes 492 tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum yang menyatakan batas maksimum kadar antimon dalam air minum sebanyak 0,02 ppm.
Pada observasi terhadap kemasan yang dijemur di bawah sinar matahari, diamati pada hari ke 1, 5 dan 10. Hasilnya menunjukkan kadar antimon di hari pertama dengan pemanasan hingga suhu 33,1 derajat Celcius rata-rata sebesar 0,017 ppm atau masih berada di bawah kadar maksimum menurut Permenkes RI No. 492 tahun 2010.
Pada hari kelima dengan pemanasan 32,5 derajat Celcius, kadar antimon mencapai 0,02 ppm. Jumlah tersebut sudah mencapai angka kritis karena batas maksimum yang diperbolehkan adalah 0,02 ppm.
Sedangkan pada hari kesepuluh, kadar antimon pada air kemasan PET telah melebihi batas maksimum yang diperbolehkan yaitu 0,026 ppm dengan rata-rata suhu 32,6 derajat Celcius.
Penelitian ini juga menemukan bahwa perlakuan yang diterima oleh air kemasan PET sebelum sampai ke distributor, menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan antimon dalam air kemasan PET.
Disebutkan, kontaminasi antimon dalam air kemasan dapat bermula dari awal proses produksi atau dikarenakan sumber air yang digunakan memang sudah mengandung antimon sejak awalnya. Hal itu mengingat keberadaan antimon bisa ditemukan dalam air tanah atau air permukaan meski dengan jumlah yang kecil.
Suhu tempat penyimpanan air kemasan PET yang ada pada distributor juga turut mempengaruhi kualitas air kemasan. Semakin tinggi suhu ruang penyimpanan air kemasan PET maka semakin besar peluang untuk terjadinya peluluhan antimon.
Faktor lain yang berpotensi juga mempengaruhi adalah lama waktu penyimpanan atau lama waktu sejak air kemasan PET diproduksi. Semakin lama waktu penyimpanan air kemasan PET maka semakin banyak peluang peluluhan antimon dapat terjadi. (cls)