22 May 2025
HomeBeritaFranky Welirang: Jangan Jadikan Isu BPA untuk Persaingan Usaha

Franky Welirang: Jangan Jadikan Isu BPA untuk Persaingan Usaha

Jakarta-Pengusaha di bidang makanan Franciscus Welirang meminta semua pihak, termasuk para pengusaha agar tidak menjadikan isu BPA untuk persiangan usaha. Dia juga menyarankan agar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak menelan mentah-mentah semua isu yang beredar di masyarakat selama ini terkait BPA dalam kemasaan pangan itu.

“Sebaiknya (BPOM) pelajari dampak dari yang sudah ada dari produk-produk kemasan pangan yang ada bahan BPA-nya, apakah ada study yang sudah menyatakan dampak dari BPA dalam kemasan pangan itu atau itu hanya sekedar mendapatkan hasil study di luar negeri saja,” kata Franky, sapaan Franciscus Welirang menanggapi pernyataan Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKB Arzetti Bilbina yang mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan aturan tentang larangan penggunaan Bisphenol A (BPA) dalam pembuatan wadah plastik makanan.

Franky menegaskan banyak negara yang masih menggunakan kemasan pangan berbahan BPA itu yang exist saat ini. “Jadi, janganlah  membuat-buat isu BPA tersebut jadi isu karena persaingan. Karena, itu  akan merusak iklim investasi di Indonesia,” ucapnya.

Karenanya, dia mengajak semua pihak untuk bisa berpikir secara wajar dan logik dalam menangani isu BPA ini. “Mari kita berpikir secara wajar dan logik. Tidak bertindak secara emosional dan mematikan ekonomi. Karena rangkaiannya panjang dan banyak tenaga kerja yang akan terdampak,” katanya.

Perlu diketahui bahwa ambang batas migrasi BPA di Indonesia (0,6 bpj) masih sangat sesuai dengan mayoritas ambang batas negara-negara maju di dunia lainnya, seperti Jepang (2,5 bpj), Korea Selatan (0,6 bpj), RRC (0,6 bpj) dan USA (tidak ada batasan spesifik).

Menyikapi isu ini, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga sangat menyayangkan sikap BPOM yang seakan memberian dukungan terhadap isu BPA ini dengan mewacanakan labelisasi BPA Free pada kemasan pangan.

“Yang saya herankan, kenapa kita sering terlalu cepat mewacanakan suatu kebijakan tanpa terlebih dahulu mengkaji secara mendalam dan komprehensif berbagai aspek yang akan terdampak,” ujar  Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo.

Tapi dia menegaskan Kemenperin akan selalu menjaga agar iklim usaha tetap kondusif bagi perkembangan industri.  “Ya, tentunya kami akan selalu menjaga agar iklim usaha tetap kondusif bagi perkembangan industri,” ujarnya.

Dia mengutarakan seharusnya BPOM perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum membuat wacana pelabelan itu.  Misalnya, kata Edy, BPOM harus melihat negara mana yang sudah meregulasi terkait BPA ini, adakah kasus yang menonjol yang terjadi di Indonesia ataupun di dunia terkait dengan kemasan yang mengandung BPA ini, serta adakah bukti empiris yang didukung scientific evidence, dan apakah sudah begitu urgen kebijakan ini dilakukan. “Itu pertimbangan yang perlu dilakukan sebelum BPOM mewacanakan kebijakan terkait kemasan pangan yang mengandung BPA itu. Dalam situasi pandemi, dimana ekonomi sedang terjadi kontraksi secara mendalam, patutkah kita menambah masalah baru yang tidak benar-benar urgen?” tukasnya.

Dia juga menyoroti dampak yang akan ditimbulkan kebijakan itu nantinya terhadap investasi kemasan pangan yang jumlahnya tidak sedikit dan terhadap psikologis konsumen. Seharusnya, kata Edy, BPOM  perlu lebih berhati-hati dalam melakukan setiap kebijakan yang akan berdampak luas terhadap masyarakat. “Mestinya setiap kebijakan harus ada RIA (Risk Impact Analysis) yang mempertimbangkan berbagai dampak, antara lain teknis, kesehatan, keekonomian, sosial, dan lain-lain,” ucapnya.

Para pakar keamanan pangan dan kimia polimer seperti  DR Ahmad Zaenal dari ITB dan DR Eko Purnomo dari IPB juga menjelaskan bahwa berbagai jenis plastik yang digunakan sebagai kemasan pangan juga mengandung zat beracun yang bila penggunaannya melebihi ambang batas akan berbahaya seperti Ethylenedehide, antimoni trioksida atau propilena glikol pada plastik PET (Polietilena Tereftalat) serta Flatat yang digunakan untuk fleksibilitas dan daya tahan pada polimer. Semuanya perlu diatur oleh BPOM. (CR)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU