22 March 2025
HomeBeritaIni Daftar 10 Kota Toleransi Terbaik dan Terburuk di Indonesia

Ini Daftar 10 Kota Toleransi Terbaik dan Terburuk di Indonesia

Jakarta-SETARA Institute merilis laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2022 merupakan hasil pengukuran yang dilakukan SETARA Institute untuk mempromosikan praktik-praktik toleransi terbaik kota-kota di Indonesia. Indeks Kota Toleran 2022 merupakan laporan keenam SETARA Institute sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 2015. Ada 10 kota dengan IKT tertinggi dan 10 kota dengan IKT terendah

Laporan itu disampaikan SETARA Institute di Jakarta, Kamis (6/4/2023) yang dihadiri para walikota dan berbagai undangan lainnya. Objek kajian IKT adalah 94 kota dari total 98 kota di seluruh Indonesia. Empat kota yang dieliminir merupakan kota-kota administrasi di DKI Jakarta yang digabungkan menjadi satu DKI Jakarta.

10 Kota dengan IKT tertinggi terdiri dari Kota Singkawang (6.583); Salatiga (6.417); Bekasi (6.080); Surakarta (5.883); Kediri (5.850); Sukabumi (5.810); Semarang (5.783), Manado (5.767); Kupang (5.687), Magelang (5.670).

Terdapat lima temuan penting SETARA Institute pada keberhasilan kota-kota di 10 tertinggi IKT 2022, yakni kota-kota ini memiliki atribut kerja. Pertama, kota dengan rancangan program dan kegiatan pengelolaan toleransi dan kerukunan yang jelas, terukur dan terlaksana, baik di dalam catatan perencanaan program seperti RPJMD dan RKP, juga di dalam publikasi berita seperti di website Pemerintah dan media massa lainnya.

Kedua, Kota dengan kebijakan pembangunan ruang dialog antar umat beragama, antar etnis, antar suku. kebijakan ini secara nyata diatur oleh peraturan dan diimplementasikan dalam perayaan hari raya besar umat beragama, perayaan budaya dan keterlibatan masyarakat di dalam setiap perayaan tersebut.

Ketiga, kota tanpa peristiwa diskriminatif. Kota-kota ini secara unik memiliki karakter yang khas, keberagaman telah menjadi ruh bagi kebersamaan masyarakat kota. Di kota-kota seperti Singkawang, Salatiga, Manado, simpul toleransi terbentuk karena kemampuan masyarakat untuk saling berkomunikasi dan terbuka satu dengan lainnya. Kemampuan ini semakin kuat ketika Pemerintah Kota turut serta merawat ruang-ruang terbuka dan memberikan pelayanan inklusif kepada masyarakat.

Keempat, Kota dengan penguatan dinamika masyarakat sipil. Pemerintah kota yang memiliki kesadaran untuk melibatkan berbagai forum masyarakat, seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) dalam setiap kebijakan, program dan kegiatan, cenderung memiliki peningkatan kapasitas kerukunan yang lebih tinggi. Di samping itu, organisasi-organisasi masyarakat sipil yang sepenuhnya berangkat dari inisiatif masyarakat juga menunjukkan partisipasi dan kontribusi aktif bagi praktik dan pemajuan toleransi di kota, termasuk dalam mengantisipasi dan merespons tindakan dan peristiwa intoleransi.

Kelima, Kota dengan kualifikasi visi dan misi berorientasi kemajemukan, kebinekaan dan pengarusutamaan gender. Kota-kota yang mencantumkan visi-misi kemajemukan, kebhinekaan dan pengarusutamaan gender selalu memiliki anggaran pembiayaan untuk berinteraksi secara berkala dengan masyarakat. Dengan bekal penganggaran tersebut, kota-kota ini pada umumnya juga peraih kota ramah anak, kota harmoni dan kota kerukunan.

Kalau kota skor toleransi tertinggi ditempati Kota Singkawang, maka Kota Cilegon menempati skore toleransi terendah dari 94 kota di Indonesia. Sepuluh kota dengan IKT terendah yakni Prabumulih (4.510); Lhokseumawe (4.493); Pariaman (4.450); Medan (4.420); Banda Aceh (4.393); Mataram (4.387); Sabang (4.257); Padang (4.060); Depok (3.610) dan Cilegon (3.227).

Di dalam pola-pola pelemahan toleransi ini, SETARA Institute menyimpulkan beberapa atribut kota di peringkat terendah IKT 2022.

Pertama, Kota dengan kepemimpinan yang mengedepankan identitas agama tertentu baik pada visi dan misi cenderung akan menerbitkan kebijakan-kebijakan favoritisme identitas agama yang mewakili dirinya.

Kedua, perspektif mayoritaniasme atau perspektif viktimisme minoritas-mayoritas menjadi dasar penyelenggaraan kebijakan, sehingga pemerintah kota memiliki kecenderungan untuk menyelenggarakan program-program yang eksklusif dan hanya berorientasi kepada kelompok tertentu.

Ketiga, dinamika masyarakat sipil di bawah kepemimpinan pemerintah kota yang tidak memiliki kesadaran akan kemajemukan dan kebinekaan akan cenderung menciptakan ruang-ruang segregasi sosial yang membuat masyarakat semakin terpolarisasi oleh identitas keagamaan, etnis dan kelompok lainnya.

Keempat, masyarakat sipil di kota-kota dengan perspektif favoritisme dan formalisme cenderung kehilangan daya nalar demokrasinya. Daya interaksi kritis masyarakat melemah dan terjadi pengabaian terhadap kelompok-kelompok minoritas. Jika keadaan ini berlangsung secara terus menerus, langkah-langkah kekerasan terhadap kelompok rentan dapat dengan mudah terjadi, karena masyarakat sudah kehilangan kuasa untuk menemukan perekat hubungan antar kelompok yang berbeda identitas.

Kelima, pemerintah kota yang tidak mengelola kehidupan kerukunan dan toleransi pada umumnya juga tidak banyak memberikan ruang perlindungan serta kurang memfasilitasi kebebasan merayakan hari-hari besar agama. Pemerintah kota lebih banyak mengorientasi kebijakan-kebijakannya dengan menggunakan pendekatan-pendekatan keagamaan yang dianutnya.(sp)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU