Tahuna– Majelis Hakim PTUN Jakarta dinilai sama sekali tidak menyentuh substansi pulau kecil yang merupakan pokok utama dalam perkara.
Salah satu Kejanggalan dari sekian keanehan itu terungkap dalam Sidang Setempat ( di lokasi), di Kampung Bowone, Kecamatan Tabukan Selatan Tengah, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulut, Senin (7/3/2022).
Menurut Jull Takaliuang dari Save Sangihe Island (SSI) ada lima kejanggalan atau keanehan yang patut dipertanyakan dalam sidang itu, di antaranya adalah Majelis Hakim sama sekali tidak menyentuh UU 1 tahun 2014 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, yang menjadi dasar hukum penggugat mengajukan gugatan, dimana pasal 26 a mewajibkan PT. TMS sebagai perusahaan dengan penanaman modal asing harus mendapatkan izin Menteri.
Faktanya, PT. TMS sampai hari ini tidak memiliki izin pemanfaatan pulau dari Menteri Kelautan dan Perikanan, namun tetap melakukan kegiatan konstruksi sebagai bagian dari tahapan operasi produksi.
Sidang Pemeriksaan Setempat Gugatan Masyarakat Sangihe di PTUN Jakarta dan di PTUN Manado terhadap Izin-Izin pertambangan emas PT TMS dilakukan secara bersamaan dan terpadu oleh Majelis Hakim PTUN Jakarta yang mengadili Perkara Izin Tambang No. 146/G/2021/PTUN-Jkt dan Majelis Hakim PTUN Manado yang mengadili perkara Izin Lingkungan No. 57/G/LH/2021/PTUN-Jkt di Kampung Bowone Kecamatan Tabukan Selatan Tengah.
Sidang diawali dengan Perkara PTUN Manado nomor 57/G/LH/2021/PTUN.Mdo dan dibuka oleh Ketua Majelis Hakim Fajar SH, MH.
Beberapa fakta diajukan Kuasa Hukum Penggugat Izin Lingkungan yang diverifikasi dan diklarifikasi oleh Majelis Hakim bersama Tergugat-Tergugat dan akan ditinjau di lapangan.
Fakta pertama menyangkut Kampung Bowone masuk dalam areal izin lingkungan PT. TMS. Di dalamnya terdapat rumah penduduk, gedung ibadah, sekolah, fasilitas umum. Termasuk Kantor Desa tempat dilaksanakannya Sidang Pemeriksaan Setempat.
Pada intinya, masyarakat Bowone akan terusir dari kampung halamannya oleh karena peta dari rencana kerja PT TMS, seluruh lokasi tersebut akan menjadi lokasi pengolahan emas PT TMS, akan digantikan dengan pabrik pengolahan emas.
Sementara lokasi open pit (area galian), Gudang peledak, dan lokasi pembuangan tanah dan tailing tidak berada di lokasi Izin Lingkungan.
Fakta Kedua, pipa air masyarakat yang dibangun Pemerintah pernah dirusak oleh pihak PT. TMS yang berakibat masyarakat Desa Bowone tidak mendapatkan air bersih selama 4 hari.
Sidang Izin Lingkungan selanjutnya diskors, untuk memberi kesempatan dibukanya Sidang Izin Tambang oleh Majelis Hakim PTUN Jakarta.
Hakim Ketua Majelis Akhidat Sastrodinata, SH, MH, membuka sidang dan menyatakan bahwa Sidang Pemeriksaan Setempat bukanlah sidang pembuktian perkara, hanya merupakan sidang untuk pengetahuan Hakim terhadap objek yang disengketakan.
Selanjutnya, ditetapkan 5 titik yang akan ditinjau, yaitu lokasi Kantor Desa sebagai titik pertama, kemudian lokasi pipa air yang pernah dirusak, selanjutnya 3 titik lain yang merupakan lokasi-lokasi tidak masuk lokasi Izin Lingkungan tetapi merupakan wilayah yang akan dikerjakan oleh PT TMS, sesuai rencana kerja PT TMS yang diperoleh dari website PT TMS.
Di lapangan, pertanyaan masyarakat pro TMS yang menyatakan “bukan ngoni pe tanah kwa ngoni mogugat”(artinya kira begini,bukan tanah kalian kok kalian mau gugat) ini artinya menjelaskan ketidakpahaman baik anggota masyarakat bersangkutan.
Yang digugat oleh 56 orang perempuan masyarakat Kampung Bowone adalah izin lingkungan PT. TMS yang di dalamnya memasukkan Kampung Bowone untuk dijadikan areal pertambangan oleh PT. TMS termasuk AMDAL PT. TMS yang menjadi dasar izin lingkungan tersebut yang melanggar prosedur dengan tidak melibatkan masyarakat dan tidak bisa diakses oleh publik.
Dengan demikian siapapun masyarakat baik dari Kampung Bowone, Binebas dan Salurang yang ruang hidupnya berpotensi diambil oleh PT. TMS melalui ijin lingkungannya, berhak untuk menggugat.
Fakta ketiga adalah Majelis Hakim PTUN Manado, telah menerima peta yang diajukan kuasa hukum penggugat yang menggambarkan atau membuktikan bahwa PT. TMS akan bekerja tidak saja di areal 65 Ha (luas izin lingkungan) tetapi juga di luar areal izin lingkungan tersebut.
Jull Takaliuang dari pihak SSI mempertanyakan sejumlah keanehan yang terjadi pada persidangan setempat yang digelar Senin. Keanehan-keanehan itu adalah:
Pertama, Majelis Hakim PTUN Jakarta tidak bersedia meninjau lokasi titik-titik kordinat yang membuktikan luasan 42.000 Ha konsesi PT.TMS yang diajukan oleh kuasa hukum penggugat maupun penggugat intervensi sesuai dengan objek perkara.
Di dalamnya terdapat situs-situs penting, baik secara sosial dan ekologi seperti keberadaan hutan lindung Sahendarumang dengan satwa endemik di dalamnya, lima pulau kecil selain pulau kecil Sangihe, sungai dan mata air, makam, Gedung ibadah, sekolah, fasilitas umum, kantor Pemerintah, hamparan perkebunan rakyat yang memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Sangihe, yang semuanya masuk dalam konsesi PT. TMS. Padahal itu merupakan dasar utama gugatan masyarakat.
Kedua, Hakim mengabaikan Kawasan hutan lindung mangrove di pesisir desa Bowone, Binebas, Hangke, Bulo, Salurang, Laine, Kaluwatu hingga Pananaru, yang masuk dalam luas konsesi 42.000 Ha.
Ketiga, Saat berada di titik lokasi pengerjaan konstruksi PT. TMS hanya menanyakan dimana hutan lindung yang saat itu terlihat mata. Yang jelas tidak ada karena yang menjadi hutan lindung adalah Kawasan mangrove yang jaraknya hanya 1 Km dari lokasi hakim berdiri.
Keempat, saat membuka sidang di Kantor Desa Bowone, sempat terjadi perdebatan antara kuasa hukum penggugat intervensi dengan Majelis Hakim PTUN Jakarta terkait status kegiatan konstruksi yang sedang dikerjakan PT. TMS.
Hakim berpendapat bahwa kegiatan konstruksi bukan sebagai kegiatan operasi produksi. Sedangkan dalam UU 3 tahun 2020 tentang pertambangan mineral dan batubara dinyatakan bahwa kegiatan konstruksi merupakan bagian dari tahapan operasi produksi.
Kelima, Majelis Hakim sama sekali tidak menyentuh UU 1 tahun 2014 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, yang menjadi dasar hukum penggugat mengajukan gugatan, dimana pasal 26 a mewajibkan PT. TMS sebagai perusahaan dengan penanaman modal asing harus mendapatkan ijin Menteri.
Faktanya, PT. TMS sampai hari ini tidak memiliki ijin pemanfaatan pulau dari Menteri Kelautan dan Perikanan, namun tetap melakukan kegiatan konstruksi sebagai bagian dari tahapan operasi produksi.
Dengan demikian, Majelis Hakim PTUN Jakarta meninggalkan kekecewaan pada para penggugat dan penggugat intervensi karena sama sekali tidak menyentuh substansi pulau kecil yang merupakan pokok utama dalam perkara.
Tidak Punya Legitimasi
Sementara itu Pengacara Penggugat Intervensi Muhammad Jamil, yang juga Kepala Divisi Hukum JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) menyatakan bahwa Kontrak Karya PT TMS Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT TMS dengan masa berlaku sejak sejak 29 Januari 2021 hingga 28 Januari 2054, secara hukum tidak punya legitimasi dan itu bukanlah izin.
Menurutnya, Perlu dipahami juga bahwa nomenklatur Perpanjangan Kontrak Karya [KK] untuk pertambangan mineral sudah tidak dikenal lagi sejak tahun 2009 berdasarkan UU Minerba 4/2009. Begitu juga dengan perubahan UU Minerba 3/2020, bahkan juga dengan putusan MK Nomor 64/PUU-XVIII/2020 Pasal 169A mengenai proses perpanjangan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Jika diperpanjang harus berubah jadi IUPK. Khusus di pulau-pulau kecil wajib memiliki izin pemanfaatan pulau dari Menteri KKP dan pulau tersebut tidak boleh berpenghuni.
Sementara di Pulau Sangihe padat penduduk, dan terlihat semua ketentuan di atas dilabrak oleh PT. TMS, tidak menjadi IUPK dan masa berlaku melampaui UU Minerba yakni 33 tahun serta tidak memiliki izin pemanfaatan pulau dari Menteri KKP.
“Hal ini mestinya dicermati baik-baik oleh Majelis Hakim PTUN Jakarta,” ujar Advokat yang membela Warga Pulau Sangihe itu.
Perdebatan sempat terjadi di kantor Desa Bowone pasalnya, Hakim berpendapat bahwa kegiatan konstruksi terpisah dengan kegiatan operasi produksi.
Sementara Kuasa Hukum warga menyatakan konstruksi merupakan bagian dari kegiatan operasi produksi.
Hal ini sebagaimana ketentuan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba Pasal 1 angkat 17 dalam ketentuan umum menyatakan: Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan Usaha Pertambangan yang meliputi konstruksi penambangan, pengolahan dan atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan
“ Jadi dengan demikian kegiatan konstruksi adalah merupakan bagian dari Operasi Produksi, tidak terpisahkan, tidak seperti pendapat Majelis Hakim,” jelas Muhammad Jamil. (edl)