Jakarta-Tindakan Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta meningkatkan status penyelidikan ke penyidilan atas kasus dugaan korupsi melalui praktek Mafia Peradilan atas tanah milik Pertamina (Persero), yang berlokasi di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, pada Jumat (1/4/2022), sebagai langkah tepat yang ditunggu publik.
Demikian Koordinator TPDI dan Advokat Peradi, Petrus Selestinus di Jakarta, Jumat (13/5/2022).
Menurutnya, Praktek Mafia Tanah yang merampok hak-hak atas tanah milik pihak lain, apakah itu milik Rakyat kecil atau hak Negara atau BUMN, melalui putusan Pengadilan sudah menjadi trend, yang penting lokasi tanahnya strategis, harganya mahal serta membawa keuntungan besar, maka cukup dengan memproses hukum secara perdata dengan modal uang sogokan, semua hak atas tanah bisa berpindah tangan.
Karena itu, katanya, tindakanKepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Reda Manthovani, yang memerintahkan tim penyelidik pada Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) untuk menaikkan status pemeriksaan dari status penyelidikan ke tahap penyidikan, patut diapresiasi dan ditunggu kejutan langkah berikutnya.
Menurut beberapa sumber informasi yang masuk ke TPDI beberapa waktu lalu, bahwa kasus ini melibatkan seorang mantan Hakim yang juga mantan Anggota DPR RI, berserta anaknya seorang perwira Polisi (AW) dan Anggota DPR RI Komisi III, berperan sebagai penyandang dana sekaligus penghubung ke sejumlah oknum Hakim Mahkamah Agung untuk memenangkan pihak ahli waris A. Supandi.
Karena itu, jelas Petrus, segera setelah putusan PK No. 795 PK/PDT/2019, dibacakan, Pengadilan Negeri Jakarta Timur melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeksekusi pembayaran uang Ganti Rugi sebesar Rp. 244,6 miliar pada Rekening PT. Pertamina (Persero) di bank BRI, tanpa hambatan apapun, dan uang itu langsung dibagi-bagi diantara Para Ahli Waris dan mantan Hakim tsb.
Menurut sejumlah sumber, uang sebesar Rp. 244,6 miliar itu ditransfer ke Rekening Ahli Waris A. Supandi tetapi buku tabungan atas nama Para Ahli Waris dipegang oleh oknum mantan Hakim (SW), sehingga pada saat dicairkan langsung dipotong 50% untuk bagiannya si mantan Hakim dan 50% lagi untuk bagiannya Ahli Waris A. Supandi.
“Nah segera setelah terima uang sebesar Rp.122 miliar lebih, hanya dalam waktu 2 minggu kemudian si mantan Hakim yang juga mantan Anggota DPR RI, meninggal, sehingga uang sebesar Rp.122 miliar lebih itu diduga dikelola oleh Para Ahli Waris mantan Hakim dimaksud, yang adalah perwira Polisi dan Anggota DPR RI di Komisi III,” katanya.
Menurutnya, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta perlu menjerat pihak-pihak yang terlibat, mulai dari orang dalam PT. Pertamina (Persero), oknum Hakim, Juru Sita Pengadilan Negeri dan pihak terkait lain, Istri dan anak-anak alm. SW (mantan Hakim dan Anggota DPR RI) melalui suatu penyelidikan dan penyidikan ke arah Tindak Pidana Korupsi, seperti saat ini dilakukan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Melihat keanehan kasus ini, katanya, dimana putusan Kasasi Mahkamah Agung RI No.1774 K/PDT/2017, itu menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima, tetapi mengapa Mahkamah Agung RI dalam pemeriksaan tingkat PK dari Ahli Waris A. Supandi, malah mengabulkan Permohonan PK.
“Bukankah putusan Mahkamag Agung yang menyatakan Gugatan Penggugat tidak dapat diterima (N.O) seharusnya digugat ulang ke Pengadilan Negeri, karena putusan N.O, bukanlah putusan yang berkekuatan hukum tetap, semuanya akan kita lihat pergerakan Penyidik Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pasca lebaran,” jelasnya.(dd)