4 December 2023
HomeBeritaKetua ICRES, Demi Mendorong EBT, Seharusnya Permen ESDM tidak Perlu Diubah

Ketua ICRES, Demi Mendorong EBT, Seharusnya Permen ESDM tidak Perlu Diubah

SHNet, Jakarta-Capaian porsi energi baru dan terbarukan (EBT) pada bauran energi nasional 2022 baru mencapai 12,3 persen. Jumlah tersebut masih jauh dari target 2025 sebesar 23 persen. Direktur Jenderal Energi Baru terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTK) Dadan Kusdina pada Pembukaan The 1.1th Indonesia EBTKE Conference and Exhibition 2023, Selasa 9 Mei 2023 mengakui perlu ada terobosan untuk mencapai target 2025.

Ketua Indonesia Center for Renewable Energy Studies (ICRES) Surya Dharma melihat bahwa salah satu cara cepat agar target tersebut dapat tercapai adalah dengan memaksimalkan pembangunan PLTS atap. Karena banyak perusahaan perusahaan swasta, terutama perusahaan multinasional yang sudah mengarah pada penggunaan energi bersih sebagaimana kebijakan di negara asalnya. Sayangnya antusiasme kalangan bisnis juga terhambat lantaran sulitnya mendapat perizinan dari PLN.

Sebenarnya Kementerian ESDM telah melakukan terobosan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 26 Tahun 2021 tentang  PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang IUPTL untuk Kepentingan Umum. Sayangnya kebijakan ini tidak dapat diimplementasikan karena tidak sejalan dengan kebijakan PLN sehingga harus diubah dan hingga saat ini belum juga diundangkan.

“Sebetulnya kami sudah lama mendorong agar PLTS Atap dipermudah. Tetapi kelihatannya hal ini mendapat penolakan dari PLN sejak lama,” kata Surya yang juga anggota Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI).

Surya Darma menyayangkan adanya revisi Permen tersebut. Menurutnya, draft perubahan Permen ESDM tidak menarik bagi masyarakat yang ingin memasang PLTS atap. “Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 sebetulnya sudah sangat atraktif terhadap percepatan pemanfaatan energi terbarukan, terlebih PLTS atap. Seharusnya, permen tersebut tidak perlu diubah agar masyarakat tetap memiliki minat untuk memasang PLTS atap, Kita dorong saja pelanggan PLN untuk pasang PLTS atap,” katanya.

Sebelumnya Surya Dharma mengatakan DPR-RI, DPD-RI dan Pemerintah perlu memperhatikan agar terdapat kepastian hukum dan kepastian berusaha di bidang energi terbarukan.“Hal yang sangat diperlukan saat ini adalah dasar hukum yang kuat agar kepastian hukum dalam pemanfaatan energi terbarukan semaksimal mungkin dapat dilakukan, tidak hanya hingga 2030 tetapi juga melewati tahun tersebut, sehingga Indonesia mampu mencapai target NZE, sebagaimana yang sudah dimasukkan dalam peta jalan NZR sektor energi,” kata Surya

Data kementerian ESDM menyebutkan bahwa PLTS atap memiliki potensi energi 3,295 GW. Namun pemanfaatanya baru sebesar 193 MW. Sementara, rumah tangga dan industri menjadi sektor yang memanfaatkan PLTS atap paling banyak setelah bangunan/fasilitas BUMN.

Sementara itu Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa terhambatnya pertumbuhan EBT di Indonesia juga karena keterlambatan lelang PLN, akuisisi lahan, proses negosiasi Power Purchase Agreement (PPA) yang berkepanjangan dan juga pandemi.

Pasokan energi pembangkit listrik di Indonesia terbesar masih disokong oleh PLTU batubara. Menilik data lima tahun ke belakang (2018-2022) pasokan energi batubara selalu berada di atas 60 persen dan terus meningkat.

Bahkan bauran energi batubara pada 2022 mencapai 67 persen. Sedangkan ditahun yang sama, bauran energi gas sebesar 15,96 persen, EBT (14,11 persen) dan BBM (2,73 persen).

Perkembangan EBT juga terbilang stagnan di angka 1 hingga 2 persen saja. Seandainya tren itu terus berlanjut maka rasanya sulit untuk mencapai bauran energi terbarukan 23 persen di 2025 dan kemungkinan baru mencapai kisaran 16 atau 17 persen.

“Dalam 10 tahun terakhir penambahan pembangkit ET rata-rata 400-500 MW/tahun. Bahkan sepanjang 2020-2021, penambahan pembangkit ET sangat rendah karena adanya pandemi dan keterlambatan lelang proyek pembangkit ET di 2018-2019 lalu,” kata Fabby.

Dia melanjutkan, untuk mencapai bauran energi terbarukan 23 persen di 2025 masih perlu 10-12 GW lagi. Sedangkan, sambung dia, saat ini dari 23 persen baru sekitar 13 hingga 14 persen bauran energi Indonesia.

Dia melanjutkan bahwa sejak awal tahun lalu, PLN membatasi pemasangan PLTS atap hanya sebesar 10 sampai 15 persen dari kapasitas terpasang. Walaupun saat diprotes oleh pelaku usaha, PLN menyatakan tidak ada pembatasan tapi pemasang PLTS atap menyesuaikan kapasitas yang dipasang hanya dipakai sendiri dan tidak diekspor ke jaringan PLN.

“Pada dasarnya, PLN berdalih bahwa dalam kondisi over capacity saat ini, ekspor excess listrik ke jaringan PLN akan membebani PLN,” katanya.

Fabby menyarankan agar pemerintah menugaskan PLN melakukan lelang pembangkit energi terbarukan tahun ini setara dengan 6 GW dan tahun depan 4 GW guna mencapai target 23 persen. Eksekutif juga disarankan untuk memerintahkan PLN untuk merelaksasi perizinan PLTS atap.

“Wajibkan private power utility untuk meningkatkan bauran energi terbarukan, berdasarkan kapasitas pembangkit mereka sesuai dengan target 23 persen,” katanya.

Fabby meminta ketegasan Presiden Joko Widodo terkait pemanfaatan EBT lantaran sulitnya perizinan pembangunan PLTS atap yang dikeluarkan PLN. Dia mengaku khawatir penerbitan perizinan EBT yang sulit tersebut akan membuat target Presiden Jokowi untuk mencapai 23 persen energi terbarukan di 2025 itu akan sulit tercapai.

“Sekarang kembali ke Presiden, kalau Presiden perintahkan PLN jangan melakukan pembatasan itu bisa cepat,” katanya.

Menurutnya, Presiden Jokowi hanya perlu menyampaikan pidato agar seluruh stakeholder terkait jangan melakukan pembatasan dan diminta untuk mendukung pelaksanaan pemberian perizinan PLTS atap. Dia menegaskan, kemudahan pemberian izin PLTS atas akan sejalan komitmen Indonesia untuk mencapai net zero emission atau netral karbon di 2060 mendatang. (Rudi)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU