Oleh: Robert Bala
Kasus Rempang pada 7 September 2023 cukup menghentak kita. Harapan akan realisasi investasi sebesar US$ 11,5 miliar yang setara Rp 175 triliun untuk sementara diberi jedah. Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Xinyi Grup dengan konsekuensi bakal menyerap 30 ribu tenaga kerja pun ikut digantung.
Yang jadi pertanyaan, mengapa masyarakat yang telah dijanjikan lahan seluas 500m²per Kepala Keluarga, dan janji memperoleh rumah tipe 45 seharga 120 juta tidakkah cukup? Juga akan disediakan tanaman tumbuh, keramba ikan, dan sampan merupakan hal yang bisa menghadirkan decak kagum.
Yang jadi pertanyaan, mengapa justru dijawab dengan demo penolakan pada 7 September 2023 yang lalu?
Unversal Declaration of Human Rights (UDHR) yang diratifikasi sejak 1948, sejak awal tidak memisahkan hak asasi manusia. Semuanya ada dalam satu kesatuan dan saling mengandaikan. Karena itu satu jenis hak (misalnya ekonomi) tidak bisa terlampau ditonjolkan sambil meminggirkan apalagi meniadakan hak lainnya.
Namun dalam perjalannya terutama dalam konteks ketegangan Perang Dingin antara Timur dan Barat, kesatuan ikatan itu menjadi longgar. Hal ini berujung pada negosiasi dan penerapan dua pakta terpisah: satu mengenai hak-hak sipil dan politik, dan satu lagi mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Kepincangan itu kemudian disadari. Dalam Deklarasi Wina tentang Hak Asasi Manusia pada tahun 1993, telah dikembalikannya lagi kepada kerangka awal UDHR. seluruh hak asasi manusia tidak dapat dipisahkan.
Pada saat yang sama, terdapat pembaruan. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, khususnya dalam konteks Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 diletakkan dalam satu kesatuan penanganan dan pencegahan krisis konflik di seluruh dunia, termasuk pandemi covid-19.
Pemahaman ini bisa dijadikan titik acuan menilai konflik Rempang. Di sana pendekatan ekonomi baik makro (melalui investasi triliunan) maupun mikro melalui bantuan untuk warga yang akan dipindahkan dianggap telah cukup hal mana benar adanya.
Tetapi apakah hak sosial dan kultural juga diperhitungkan? Nyatanya tidak. Adanya tindakan represif melalui polisi dan militer bisa saja mewakili gambaran bahwa demi tujuan yang lebih besar dengan membuka 30 ribu lowongan kerja maka perlu ada korban dari 7.000 warga Rempang. Hal ini mengingatkan kita apa yang dikatakan oleh Peter L Berger dalam Pyramids of sacrifice: political ethics and social change, 1975. Di sana seakan diakui bahwa seperti kejayaan sejarah masa lampau yang dibayar oleh tumpukan korban-korban demikian korban Rempang tidak bisa bisa dianggap harga yang pas untuk sebuah kemajuan.
Tetapi pikiran sesat seperti ini telah dilurkan oleh lembaga PBB. Sejak 1966 dengan ditetapkannya Kovenan Internasional tentang Hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang aknhirnya mulai berlaku sejak 3 Januari 1976, telah ditetapkan ketakterpisahkan semua hak. Hak ekonomi mestinya tidak dianggap segalanya yang bisa melerasi tuntutan hak sosial dan kultural. Semuanya saling mengandaikan dan perwujudannya harus besifat integral.
Mata yang Baru
Dari segi peta konflik, apa yang terjadi di Rempang belum terlalu jauh. Meminjam Elman, H. C., & Fisher, R. J. (2003), dalam Conflict Analysis and Resolution, konflik Rempang baru berada pada tahapan konfrontasi, setelah melewati tahapan prakonflik yang mestinya sudah terdeteksi sebelumnya. Dengan masih jauhnya kita dari tahapan krisis, akibat, dan pasca konflik, yang nota bene perlu kita antisipasi, maka upaya mitigatif perlu ditawarkan.
Mengapa? Karena Rempang mestinya bukan merupakan kasus tunggal. Merujuk pada data (CNN 11/1/23), pada tahun 2022 terdapat 212 kasus agraria sementara tahun sebelumnya mencapai 207 kasus. Meski secara kuantitatif hampir sama tetapi pada tahun 2022 wilayah terdampak konflik agraria naik drastis hingga 100 persen. Untuk itu maka tawaran solusi Rempang bisa dijakan preseden untuk solusi konflik selanjutnya.
Pertama, perlu adanya partisipasi kognitif dari masyarakat dilibatkan secara aktif dalam menafsir dan memaknai dunia dan kenyataan yang ia hadapi. Itu artinya, mereka sebagai sasaran kebijakan politik – ekonomi mestinya diberi kesempatan untuk berpartisipasi. Tentu saja keikutsertaan mereka bisa mengganggu kenyamanan program yang sudah ‘dimasak’ dari Jakarta. Dalam kenyataan, ruang dialog seperti ini tidak dikemas secara baik yang berujung pada kerusuhan di awal September ini. Untuk itu, jedah yang ada mestinya diikuti dengan intensitas dialog yang lebih terbuka sambil menghindari upaya pemaksaan terstruktur yang tidak akan berkontribusi untuk solusi jangka panjang.
Pada sisi lain, harus diakui juga bahwa mitigasi kerap berhadapan dengan pilihan yang sama-sama buruk dengan akibat bahwa relokasi sangat kita hindari ternyata menghadirkan keburukan yang jauh lebih kecil. Kalau terpaksa pilihan ini terpaksa diambil, hal mana tidak kita inginkan, maka kehadiran para antropolog, sosiolog, dan psikolog harus menjadi prasyarat yang tidak boleh diabaikan. Kehadiran mereka diharapkan dapat menemukan prose peralihan lebih halus dengan mengupayakan agar tidak hanya wujud material yang diakomodir tetapi juga wujud immaterial yang sangat penting untuk masa depan.
Bila kita bisa sampai pada pendaratan yang halus seperti ini maka yang diperoleh baik di Rempang mapun Galang bukan ditemukannya tanah baru untuk investasi dan tempat tetapi ia adalah buah dari cara pandang baru, hal mana pernah diungkapkan Marcel Proust (1871-1922): Discovery consists not in seeking new lands but in seeing with new eyes.
Itu berarti yang kita temukan bukan soal tanah tetapi mata dan cara pandang kita yang yang baru sambil dengan jujur kita (maksudnya pemerintah) mengakui bahwa selama ini tatapan kita kabur malah nyaris buta ketika hanya terpanah pada godaan investasi tetapi lupa melindungi warga dengan hak sosial dan budaya yang menyelimutinya.
Penulis, Robert Bala, Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Fakultas Ilmu Politik, Universidad Complutense de Madrid Spanyol