19 January 2025
HomeBeritaOrganisasi Profesi Kesehatan Minta Kembalikan Kewenangan Negara dari Tangan Ormas

Organisasi Profesi Kesehatan Minta Kembalikan Kewenangan Negara dari Tangan Ormas

Jakarta-Syarat surat tanda registrasi dan berbagai syarat administrasi bagi tenaga kesehatan sangat membebani tenaga medis. Untuk itu, STR cukup diberlakukan sekali dan berlaku seumur hidup. Selain itu, kewenangan negara harus dikembalikan dari tangan organisasi masyarakat.

Hal itu terungkap dalam pertemuan Menkes Budi Sadikin dan organisasi profesi untuk mencari masukan mengenai Rancangan Undang-Undang Kesehatan di Kantor Kementerian Kesehatan, Rabu (15/3/2023).

Pertemuan ini dihadiri organisasi profesi, yakni Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesian(PDSI), Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB), Farmasis Indonesia Bersatu (FIB), Perkumpulan Apoteker Seluruh Indonesia (PASI), Forum Dokter Pejuang STR, Forum Dokter Diaspora.

Semua organisasi ini sengaja diundang Menteri Kesehatan untuk memperoleh  masukan RUU Kesehatan.

Dalam pertemuan itu, keenam organisasi ini memiliki pandangan yang sama mengenai pengembalian wewenang negara yang selama ini dipercayakan kepada organisasi kemasyarakatan yang diklaim sebagai organisasi profesi.

Selain itu, organisasi profesi juga mengharapkan agar penerapan STR diberlakukan seumur hidup, penghapusan rekomendasi izin praktik, pengawasan kolegium oleh konsil, seleksi anggota konsil yang independen dan kredibel.

Mengenai uji kompetensi dokter juga menjadi sorotan dalam forum ini. Organisasi profesi menginginkan adanya penyelesaian sengkarut uji kompetensi/pendidikan yang harusnya diselenggarakan negara tanpa campur tangan organisasi profesi.

Selain itu, organisasi profesi menghendaki adanya transparansi proses adaptasi dokter luar negeri serta iurannya.

Organisasi profesi juga mengharapkan kelengkapan infrastruktur kesehatan terutama di daerah serta menghendaki peradilan khusus profesi medis.

Dampak STR dan SIP
Dalam acara itu, Menkes Budi Sadikin meyaki kalau harga obat yang berlipat di Indonesia dipengaruhi biaya penjualan dan pemasaran atau sales and marketing expances yang dibebankan pada harga obat di Indonesia.

Menurut Budi, fenomena itu memiliki keterkaitan dengan biaya pendidikan dokter yang mahal dalam memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP).

Berdasarkan laporan Wakil Menteri Kesehatan RI Prof dr Dante Sakono Harbuwono, kata Budi, besaran biaya untuk penerbitan STR/SIP berkisar Rp6 juta per orang. Sedangkan jumlah rata-rata penerbitan STR untuk dokter spesialis per tahun mencapai 77 ribu sertifikat.

“Aku kan bankir, 77 ribu dikali Rp6 juta kan Rp430 miliar setahun. Oh, pantas ribut,” katanya.

Untuk memperoleh STR, kata Budi, seorang peserta didik kedokteran membutuhkan 250 Satuan Kredit Partisipasi (SKP) yang dapat diperoleh dengan mengikuti kegiatan tertentu, salah satunya seminar.

Sekali penyelenggaraan seminar, kata Budi, rata-rata memperoleh empat SKP dengan biaya berkisar Rp1 juta per peserta.

“Jadi, kalau ada 250 SKP per tahun, menjadi Rp62 juta, dikali 140 ribu jumlah dokter, itu kan Rp1 triliun lebih,” katanya.(sp)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU