“Koh Lim ke Bambu Apus.”
“Cakep!”
“Ke Bambu Apus membeli bedeg.”
“Cakep!”
“Orang dzalim biar pada mampus.”
“Cakep!”
“Biar pada mampus kesamber gledeg.”
“Cakep!”
1
Bayangkan bila hal di atas terjadi karena hadirin-hadroh yang lugu setengah lucu (bila tidak ingin menyebutnya pandir), asal srentak mengucapkan kata “cakep!” tanpa peduli apa yang dilontarkan pemantun. Hal ini serupa dengan para ibu pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW atau taklim atau tabligh akbar saat seorang qori melantunkan ayat suci Al Qur’an. Mereka asal mengucapkan “Allah” dalam nada rendah panjang secara bersamaan pada tiap di akhir helaan napas sang qori, tidak peduli ayat yang dibacakan adalah ‘lempengan’ persoalan siksa kubur, azab, dan neraka. Bukan tidak peduli, namun lantaran ketidaktahuan mereka pada bahasa Arab. Sesungguhnya hal ini masih bisa dimaklumi atau paling tidak dimaklumkan, karena bahasa Arab adalah salah satu bahasa di dunia yang sulit dipelajari. Berbeda satu huruf atau satu tanda baca dalam pengucapan saja, akan berbeda arti. Namun pantun yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah menggunakan bahasa Betawi, salah satu ragam bahasa Melayu yang tersebar ke seluruh Nusantara sejak era Firman Muntaco menulis sketsa humor Betawi pada rubrik “Gambang Djakarte” di suratkabar “Berita Minggu” pada dekade 1950-an, atau SM Ardan dan M. Balfas melalui karya cerpen di majalah dan suratkabar Batavia-Djakarta pada tahun-tahun sebelumnya. Bahkan pada film nasional pertama yang diakui dan dinobatkan sebagai karya pertama Pribumi Indonesia, “Darah dan Do’a” (Usmar Ismail, Perfini, 1950), dengan jelas digambarkan ada dua prajurit yang terlibat dialog dan pada dialog tersebut terselip kosa-kata dari bahasa Betawi: Lu dan gue. Pada adegan lain bahkan ada kata “tabe!”.
Maka benar belaka apa yang dikatakan Dr. Alvian Siagian dari Fakultas Ilmu Budaya/FIB-UI pada acara diskusi sastra di Pusat Dokumentasi Sastra/PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Jum’at, 15 November 2024. Ia mengatakan sudah mulai muak dengan pantun Betawi yang selalu dibuntuti kata “cakep!” dari para pendengar.
Sebagai seorang Batak yang umumnya pemberani dan akademisi yang diharuskan kritis (dan ia sendiri dalam acara tersebut terang-terangan menganjurkan para mahasiswa untuk kritis, melawan, dan memberontak), Dr. Alvian Siagian ‘enteng’ saja melontarkan kata ‘muak’. Berbeda jika ia seorang pengecut dan pencari aman. Ia bukan muak pada pantun yang dilontarkan, namun pada kata “cakep!” yang diucapkan tanpa makna. Padahal menurutnya, dan memang itu benar adanya, bahwa pada masa lalu, pantun dan berpantun tidak diiringi dengan kata “cakep!” dari orang dan orang-orang yang mendengar.
Menurut Raja Pantun Betawi yang sudah menghasilkan tiga buku Pantun Betawi, Haji Zahruddin Al Batawi, ujaran “Cakep!” mulai mengiringi pantun saat komedian Bang Sapri (10 Maret 1972- 10 Mei 2021), muncul dalam acara “Pesbukers” di ANTV bersama komedian Opie Kumis, dan kemudian melalui grup Palang Pintu pimpinannya yang tampil pada acara-acara pesta pernikahan dan sunatan, dan disebarluaskan melalui kanal bergerak bernama YouTube. Melalui acara “Pesbukers” pula kabar meninggalnya Bang Sapri disampaikan oleh Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio pada Senin, 10 Mei 2021. “Semoga diterima di sisi Allah SWT.” ucap Eko yang merupakan alumni IISIP Jakarta 1996, ditemani para pengisi acara lainnya: Adul, Ruben Onsu, dan Vicki Prasetyo.
Meski sama-sama berjulukan Raja Pantun Betawi, namun Bang Zahruddin Al Batawi tidak memiliki beban. Tabiatnya khas orang Betawi. Ia tidak menganggap Bang Sapri sebagai saingan. Ia malah membuat pantun:
Pake baju kebaye pegi ke kondangan
Pegi pagi biar nggak kepanasan
Kite di budaya Betawi jangan ade persaingan
Nyang ade berbagi penuh keikhlasan
Dr. Alvian Siagian juga menyoroti tentang adanya trend di wilayah Jabodetabek terkait pantun yang disampaikan pada setiap awal sambutan pejabat dan bukan pejabat. Padahal pada masa lalu, pantun ada sebagai selipan pada tengah pembicaraan, pada tengah pemberian nasihat, atau ketika dalam tradisi Palang Pintu yang terjadi pada beberapa wilayah di Tanah Betawi, maka tidak semua wilayah.
Keberadaan pantun di Tanah Betawi memang berbeda dengan di Tanah Minang, dan di wilayah gugusan Melayu, yang menurut Prof. Dr. Yusman Yusuf (Budayawan Melayu dan Guru Besar Universitas Riau), meliputi: Pekanbaru, Tanjung Pinang, Batam. Termasuk di wilayah tanah-tanah yang berbudaya Melayu di Kalimantan.
Di Tanah Minang misalnya, orang Minang yang menjadikan lapau-lapau sebagai tempat bertukar isi kepala tentang permasalahan di masyarakat bahkan negara, biasa menyelipkan petatah-petitih dan pantun dalam perbincangan. Petatah-petitih dan pantun ini berisi kandungan kalimat yang serius, tanpa sedikit pun mengandung unsur jenaka. Ini memang sangat berbeda apa yang terjadi di Tanah Betawi.
Orang Betawi, bahkan pada kesempatan serius pun masih sempat berkelakar. Lihatlah apa yang terjadi pada pertunjukan Palang Pintu, yang pada masa lalu memang terjadi secara nyata, bukan pertarungan pura-pura antara jawara dari sanggar yang sama. Meski dalam kaitan bertarung dengan golok, namun mereka tetap berkelakar. Di bawah ini penulis menggunakan contoh pantun dalam bahasa Betawi sub-dialek Betawi Pinggir yang berciri ‘a’ dan ‘ah’, bukan ‘e’:
“Bang, ke Kranggan buat beli kedongdong
Kedongdong dibelahnyah pake golok.
Bang, elu jangan banyak ngomong.
Ntar guah bacok. “
“Heh! Jaja Miharja jajan cilok.
Makan ciloknya dicampur pake ketan.
Boleh ajah kalo emang pengen ngebacok.
Tapi liet siapah ntar nyang dibawa ke kuburan.”
“Bujug! Luh nyumpahin guah? Kalo guah mati, nih sanggar siapah nyang mimpin? Job lu dari guah, Setan!”
2
Terlepas dari penyampaian pantun yang kini salah tempat dan salah respon, tradisi baru dalam bentuk pejabat atau bukan pejabat menyampaikan pantun, bila tidak dihentikan setidaknya perlu dikurangi. Bila kedua langkah ini tidak bisa dilakukan dengan dalih pelestarian pantun dan pelestarian tersebut memang harus terus berjalan, maka harus dicari pembuat pantun yang bila tidak memenuhi kategori pakar dan mahir, setidaknya bisa membuat pantun secara benar dan tidak garing. Bila si pejabat berdarah Betawi, kemungkinan besar dia akan bisa membuat pantun yang lumayan ‘empuk’ di telinga, meski belum tentu hebat. Namun bila si pejabat sama sekali bukan orang Betawi, tidak akrab dengan orang Betawi, dan tidak mau membayar orang lain selaku pemantun ahli untuk membuatkan pantun, maka di atas panggung sesungguhnya ia hanya menerima tepuk tangan dan tawa sebagai bentuk ‘ketawa karir’ dari para penjilat karena pantunnya garing. Ponten 3.
Sesungguhnya pula, tidak ada keharusan menyampaikan pantun pada pembukaan pidato atau pada penyampaian kata sambutan. Namun sangat mungkin, karena pantun Betawi kini sedang naik pamor seiring melambungnya pamor Palang Pintu dan ondel-ondel di Tanah Betawi, maka para pejabat dan bukan pejabat di wilayah budaya Betawi di Jabodetabek, menggunakan pantun untuk pencair suasana.
Tulisan ini dibuat bukan sebagai langkah untuk menghentikan ‘asap dapur’ siapapun. Namun segala salah kaprah yang menyimpang dalam dunia seni-budaya, sebaiknya tidak dipertahankan, dan tentunya harus ada pembenahan. Mempertahankan tradisi berpantun memang ‘cakep’, namun membuat tempelan baru yang melenceng dari pakem, tentu tidak ‘cakep’. Sudah cukup salah kaprah pada dunia Batik Betawi, pada penggunaan kain sarung untuk busana sadariah, pada penggunaan sub-dialek Betawi yang terkesan hanya ‘e’ untuk tampilan sinetron. Betawi jangan terus diobrak-abrik atas dasar ketidaktahuan. Akhirul kalam, saya tulis pantun:
“Kong Naisan kondangan ke Cikini.
Saye klaarin ini tulisan sampe di sini.”
Tabe srenta hormat!
* Chairil Gibran Ramadhan, sastrawan Betawi, pemimpin redaksi “Stamboel: Journal of Betawi Socio-Cultural Studies”, dan pengelola channel “CGR Plesir”.