JAKARTA, SHNet – Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO), Dr Yulius Yohanes, M.Si dan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus SH, menilai, merusak dan menendang sasajen di Gunung Semeru, bentuk penghinaan terhadap salah satu jenis agama asli di Indonesia.
Lokasi di Desa Supit Urang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur.
Gunung Semeru merupakan gunung berapi kerucut di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Gunung Semeru merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa, dengan puncaknya Mahameru, 3.676 meter dari permukaan laut. Terbentuk akibat subduksi Lempeng Indo Australia kebawah Lempeng Eurasia.
Gunung Semeru juga merupakan gunung berapi tertinggi ketiga di Indonesia setelah Gunung Kerinci di Sumatera dan Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat. Kawah di puncak Gunung Semeru dikenal dengan nama Jonggring Saloko.
Gunung Semeru secara administratif termasuk dalam wilayah dua kabupaten, yakni Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur. Gunung ini termasuk dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Semeru mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Mantane dan Hutan Ericaceous atau hutan Gunung.

“Masuk kategori penistaan dan atau penghinaan agama. Pelakunya mesti segera ditangkap dan diproses sesuai ketentuan yang berlaku,” kata Yulius Yohanes dan Petrus Selestinus, Selasa malam, 11 Januari 2022.
Keduanya menanggapi, video viral di media sosial, seseorang lelaki menendang sesajen di dalam tradisi agama asli Suku Jawa di kaki Gunung Semeru, agar tidak meletus yang berimplikasi kerusakan terhadap kehidupan masyarakat di sekitar.
Di dalam tradisi agama asli Suku Jawa yang lahir dari Kebudayaan Suku Jawa, seseorang yang memahami religi Jawa, selalu dikategorikan sebagai jurukunci, penghubung manusia di alam nyata dengan arwah leluhur yang bersemadi di salah satu gunung atau bukit berapi, agar tidak meletus.
Sebagaimana di dalam tradisi agama asli lain yang lahir dari kebudayaan asli di Indonesia, gunung berapi meletus, karena bentuk ketidakseimbangan alam, sehingga arwah leluhur murka, dimana salah satu bentuk kemurkaan berupa letusan gunung berapi.
Hal ini sama dengan doktrin agama asli Shinto di Jepang yang lahir dari kebudayaan Jepang yang meyakini Gunung Fujiyama, gunung berapi, sebagai gunung suci bagi masyarakat di Jepang.
Sejumlah gunung di Pulau Kalimantan, diyakini pula sebagai kawasan suci dan sakral di dalam agama asli Suku Dayak yang lahir dari Kebudayaan Dayak, seperti Agama Kaharingan yang lahir dari kebudayaan asli Suku Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah.

Yulius Yohanes, mengatakan, implementasi doktrin semua agama asli di Indonesia yang lahir dari kebudayaan asli di Indoensia, kaya akan substansi keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, menghargai kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya.
Hal ini terjadinya karena agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat di Asia Timur, menganut trilogy peradaban, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.
“Ini logika yang mesti dipahami bahwa pengrusakan terhadap sesajen di kaki Gunung Semeru, Jawa Timur, bentuk penghinaan terhadap agama asli Bangsa Indonesia. Pelakunya mesti segera ditangkap dan diproses secara hukum,” kata Yulius Yohanes.
Diungkapkan Yulius Yohanes, di dalam tatanan hidup bermasyarakat, pengrusakan sesajen di kaki Gunung Semeru, contoh bahwa sebagian warga di Indonesia, sudah kehilangan karakter dan jatidiri.
Itu sebabnya dibutuhkan keseriusan semua pihak di dalam mendukung Program Nawacita, yaitu berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkarakter secara budaya.
Dalam upaya kembali kepada karakter dan jatidiri bangsa, diterbitkan Undang-Undang Nomro 5 Tahun 2017, tentang: Pemajuan Kebudayaan. Dimana ditegaskan, semua warga Indonesia, harus beretika dan berperilaku sesuai kebudayaan asli di Indonesia.
Kebudayaan itu sendiri melahirkan tiga pranata peradaban, yaitu sosial, ekonomi dan politik. Di subpranata peradaban sosial, mengatur relasi antar sesama dan ada sistem relgi di dalamnya, dengan sumber doktrin mitos suci, legenda suci, adat istiadat dan hukum adat dari suku bangsa yang bersangkutan.
“Agama asli Suku Jawa yang lahir dari Kebudayaan Jawa, sumber doktrinnya legenda suci Jawa, mitos suci Jawa, adat istiadat Jawa dan hukum adat Jawa. Sesajen di Gunug Semeru, wujud dari doktrin agama asli Suku Jawa,” kata Yulius Yohanes.

Diungkapkan Yulius Yohanes, sesajen di dalam agama asli Suku Jawa, bukan bentuk menyembah berhala. Sesajen sebagai bentuk kepatuhan orang Jawa di dalam menjalankan doktrin agama asli Jawa yang patuh dan hormat kepada leluhur, alam sekitar, sesama dan negara.
“Karena filsut Thomas Aquinas, 1225 – 1274, dengan teologi naturalis alamiah, ditegaskan seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya. Itu artinya, semenjak abad ketiga belas, masyarakat di Indonesia, termasuk orang Jawa, sudah diakui mampu mengenal Tuhan dengan akal dan budinya,” kata Yulius Yohanes.
“Sesajen di Gunung Semeru, media berkomunikasi dengan Tuhan (dalam istilah agama samawi), dimana di dalam doktrin agama asli di Indonesia dikenal dengan para leluhur,” tambah Yulius Yohanes.
Petrus Selestinus menilai, tindakan menendang dan membuang sesajen di kaki Gunung Semeru, merupakan tindakan intoleransi yang tidak bisa dibiarkan. Sebab jika perilaku intoleran tidak ditindak sejak dini, akan semakin merajalela. Aparat penegak hukum dan Pemerintah harus bertindak tegas.
Sebab, apa yang terjadi di Gunung Semeru itu merupakan upaya pihak intoleran yang ingin merusak toleransi, memancing konflik, serta memperkeruh suasana.
Padahal dalam konstitusi, negara menjamin hak-hak tradisi masyarakat dan menjalankan hak atas kewajiban beragama serta hak untuk mendapat perlakuan yang sama dan setara.
Jadi ketika kepercayaaan masyarakat untuk menghormati leluhurnya, dan turun temurun dilakoni, harus dihargai dan dihormati.
“Ketika dirusak, dilecehkan, diperlakukan secara tidak hormat oleh sekelompok orang itu merupakan penghinaan terhadap budaya, keyakinan, kecerdasan dan kearifan lokal. Karena itu, perlu diambil langkah tegas dan keras untuk menimbulkan efek jera,” tegas Petrus Selestinus.

“Karena apa yang terjadi di Gunung Semeru merupakan penghancuran terhadap nilai budaya yang pada saat ini negara sedang berusaha sekuat tenaga untuk merawat kebhinekaan,” kata Petrus Selestinus. *