SHNet, Jakarta-Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) meminta KPK sebagai sebuah lembaga independen (trigger mechanism) dalam pemberantasan korupsi cermat dan berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya untuk menangani kasus dugaan suap oleh lembaga Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas). Berdasarkan Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU Permil), prajurit TNI aktif tunduk pada hukum pidana khusus militer, sehingga kewenangan penangkapan dan penetapan tersangka dalam perkara ini merupakan kewenangan polisi militer bukan KPK.
”Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir diubah dengan UU No. 19 Tahun 2019 (UU KPK) diatur bahwa segala pengambilan keputusan KPK dilakukan secara kolektif kolegial oleh seluruh komisionernya. Dengan demikian seluruh pimpinan KPK bertanggung jawab penuh terhadap pelanggaran prosedur ini bukan malah melemparkan kesalahan kepada penyidik KPK,” ujar Aulia Rachman Eka Putra, Peneliti PSHK FH UII dalam keterangan tertulisnya, Selasa (1/8).
Seperti diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya dugaan tindak pidana suap yang terjadi dalam sejumlah proyek pengadaan oleh lembaga Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas). Dalam perkara ini melibatkan Kepala Basarnas dan koordinator administrasi (Koorsmin), serta tiga orang sipil yang berasal dari perusahaan swasta. Pengungkapan dan penetapan tersangka oleh KPK ini menuai polemik mengingat dua orang tersangka tersebut (Kabasarnas dan Koorsmin) merupakan perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI) aktif, sehingga kewenangan penetapan tersangka terhadap keduanya seharusnya merupakan kewenangan penyidik dari polisi militer.
Menurutnya, meskipun telah terjadi pelanggaran prosedur oleh KPK, tindak pidana ini seharusnya secara keseluruhan tetap tidak diperiksa secara terpisah. Hal tersebut karena perbuatan tindak pidana suap tersebut merupakan penyertaan perbuatan pidana yang melibatkan anggota TNI aktif dan warga sipil. Sehingga berdasarkan Pasal 89 KUHAP dan Pasal 198 UU Permil perkara ini harus diterapkan pemeriksaan koneksitas.
Jadi, katanya, karena dilaksanakannya pemeriksaan koneksitas, maka kewenangan mengadili perkara ini dilakukan oleh Pengadilan Tipikor. Hal ini didasari pertimbangan bahwa perkara ini merupakan tindak pidana suap pengadaan dalam lingkungan kelembagaan Basarnas dengan perusahaan swasta sebagai penyedia barang dan jasa. ”Dengan demikian perkara ini termasuk lingkup persoalan sipil bukan militer,” tukasnya.
Selain itu, dalam pasal 10 ayat (2) UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Basarnas adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen setingkat menteri. “Artinya, Basarnas bukan lembaga militer melainkan lembaga pemerintahan,” ungkapnya.
Kemudian, pengisian jabatan Aparatur Sipil Negara oleh prajurit aktif TNI diatur oleh Peraturan Menteri Pertahanan No. 38 Tahun 2016 yang mengatur tata cara Prajurit TNI masuk ke Jabatan Aparatur Sipil Negara, di mana meskipun berstatus sebagai prajurit aktif TNI, setiap prajurit TNI yang mengisi jabatan ASN harus tunduk pada kode etik dan peraturan yang mengikat pada ASN.
Berdasarkan ketiga pertimbangan tersebut, menurut Aulia, titik berat kerugian terjadi pada lingkungan sipil bukan bukan militer. Dengan demikian, sebagaimana diatur dalam Pasal 91 ayat (1) KUHAP maka kewenangan mengadili harus diberikan kepada lingkungan pengadilan umum yakni Pengadilan Tipikor. Terhadap beberapa catatan di atas, PSHK FH UII merekomendasikan dua hal. Pertama, kepada KPK, dan Pusat Polisi Militer TNI (Puspom TNI) untuk tidak mengedepankan ego sektoral masing-masing lembaga, sebaliknya justru untuk segera membentuk tim bersama, untuk menuntaskan perkara ini. Kedua, kepada Kejaksaan Bidang Tindak Pidana Militer sebagai pihak yang berwenang untuk melakukan koordinasi dalam pemeriksaan koneksitas untuk dapat mengambil peran sesuai dengan kewenangannya, khususnya dalam penuntutan di Pengadilan Tipikor. (cls)