29 September 2023
HomeBeritaPulau Rempang, Penjelasan Menkopolhukam dan Kapolri Tak Sesuai Fakta

Pulau Rempang, Penjelasan Menkopolhukam dan Kapolri Tak Sesuai Fakta

Oleh: Petrus Selestinus 

PENJELASAN Penjelasan Menkopolhukam Prof. Mahfud MD dan Kapolri Jend. Listyo Sigit Prabowo, soal bentrokan antara warga Pulau Rempang, dengan Tim Gabungan Aparat Penegak Hukum, pada 7/9/2023, sebagai penjelasan absurd, tidak komprehensif dan cenderung memihak BP. Batam.

Kapolri melihat kasus Pulau Rempang hanya dari perspektif kepentingan BP. Batam yang baru mendapat HPL pada April 2023 lalu, tetapi menuduh warga Pulau Rempang yang menempati dan menguasai lahan Pulau Rempang secara turun temurun sebagai menyerobot lahan milik BP. Batam.

Pernyataan Kapolri bahwa bentrokan yang terjadi pada Kamis (7/9/2023) antara Masyarakat di Pulau Rempang dengan TNI, Polri, Satuan Pengamanan BP. Batam dan Satpol PP, karena di Pulau Rempang ada kegiatan terkait dengan pembebasan lahan atau mengembalikan lahan milik Otoritas Batam yang saat ini dikuasai beberapa kelompok masyarakat, sebagai pernyataan yang tidak benar.

Penjelasan Kapolri dimaksud seperti memutarbalikan fakta, tidak komprehensif, mengabaikan konstitusi dan hukum positif, sehingga mengaburkan kebenaran dan menjadi absurd.

Alasannya karena Kapolri tidak berpegang pada fakta sejarah keberadaan warga Pulau Rempang dan posisi BP. Batam yang sejak mendapatkan SK.No.9-VIII-1993, tanggal 3/6/1993, Tentang Pengelolaan dan Pengurusan Tanah Di Pulau Rempang, Galang dan Pulau-Pulau lain yang diberikan secara bersyarat, namun hingga sekarang syarat-syarat dalam SK itu tidak pernah dipenuhi.

Padahal SK Menteri Agraria No.9-VIII-1993, tanggal 3/6/1993 dimaksud merupakan jawaban atas Surat Permohonan HPL BP. Batam No. : 314/M/BT/IX/ 92, tanggal 21/ 9/1992, di mana Menteri Agraria melalui SK No. 9-VIII-1993, teranggal 3/6/1993, menyatakan kesedian untuk memberikan HPL kepada BP. Batam disertai 7 syarat yang wajib dipenuhi, dan salah satu syarat pada butir (c) yaitu :

“Apabila di atas areal tanah yang akan diberikan dengan HPL tersebut masih terdapat tanah, bangunan dan tanaman milik rakyat, proses ganti ruginya wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh penerima hak, demikian pula pemindahan penduduk ke kempat pemukiman baru atas dasar musyawarah”.

Syarat butir c di atas, BP. Batam tidak pernah berinisiatif membentuk Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, sesuai dengan Kepres No. 55 Tahun 1993 jo. UU No. 2 Tahun 2012 dan PP. No. 19 Tahun 2021, Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Oleh karena itu pernyataan Kapolri  bahwa selama ini BP. Batam telah melakukan musyawarah dengan warga Pulau Rempang untuk merelokasi warga termasuk ganti rugi, adalah absurd, karena tidak sesuai dengan fakta-fakta hukum dan fakta-fakta sosial di lapangan, malah memberi pesan seolah-olah warga menempati lahan Pulau Rempang setelah BP. Batam mendapat HPL pada April 2023.

Dengan demikian pernyataan Kapolri, Jend. Listyo Sigit Prabowo, menyesatkan publik dan merugikan daya  juang masyarakat Pulau Rempang, karena menempatkan warga Pulau Rempang sebagai penyerobot tanah BP. Batam.

Ini yang tendensius, karena pernyataan Kapolri telah membentuk opini publik yang mengaburkan status hak atas tanah dan bangunan berikut tanaman milik warga Pulau Rempang yang sedang dipertahankan, sesuai dengan konstitusi yang wajib dilindungi.

Karena itu kehadiran aparat Polri-TNI dan Satpol PP BP. Batam pada tgl 7/9/2023 di Pulau Rempang menjadi kontra produktif, karena Polri hadir tidak untuk mengayomi dan melindungi masyarakat akan tetapi sebagai backing dan bemper bagi BP. Batam secara sewenang-wenang demi kepentingan investor.

Tiďak Proporsional

Begitu pula dengan komentar Menko Polhukam Mahfud MD atas tragedi 7/9/2023 di Pulau Rempang, soal upaya paksa aparat Kepolisian dan TNI gusur warga Pulau Rempang dari kampungnya sendiri, sebagai komentar absurd, tidak proporsional dan terkesan berpihak kepada kepentingan BP. Batam dan PT. MEG.

Mahfud MD mengomentari tragedi 7/9/2023, dari sudut penertiban dan penindakan aparat Polri dan TNI hanya pada isu bagian hilir saja, yaitu HPL BP. Batam.

Sedangkan isu paling mendasar pada bagian hulu  yaitu aspek pemilikan lahan secara turun temurun dan aspek Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Melayu dengan hak-hak tradisionalnya tumbuh dan berkembang, jauh sebelum BP. Batam berdiri dan mendapat HPL pada April 2023, sama sekali tidak diuraikan.

Mahfud MD, menjelaskan bahwa negara telah memberikan hak atas tanah di Pulau Rempang, kepada Perusahaan, tetapi Menko Polhukam sama sekali tidak menjelaskan tentang apakah pemberian hak kepada Perusahaan itu melanggar hak-hak atas tanah warga Pulau Rempang atau tidak dan mengapa Mahfud MD tidak melihat alas hak dan kedudukan hukum 16 Suku Adat Kampung Tua di Pulau Rempang yang masih eksis dan wajib di lindungi, tetapi malah mau digusur.

Yang simpang siur dan misterius dari penjelasan Mahfud MD adalah adanya Surat Keputusan (SK) terkait Pemberian Hak Atas Tanah itu dikeluarkan pada tahun 2001 dan 2002, entah hak apa, kepada siapa dan dengan cara bagaimana, semua tidak transparan dan tidak akuntabel, karena berbeda sumber data atau disengaja di antara pejabat yang satu dengan yang lain.

Menko Polhukam maupun Kapolri dalam mengomentari kasus lahan untuk proyek pembangunan Eco-City Rempang, telah menutup-nutupi 8 fakta hukum dan data yuridis yang dimiliki warga Pulau Rempang, antara lain seperti :

1. Sejarah asal usul Suku Melayu Tua yang menempati Pulau Rempang, Batam sejak 1843 hingga sekarang secara turun temurun.

2. Adanya Surat Permohonan HPL dari Kepala BP. Batam No. : 314/M/BT/IX/92 tanggal 21 September 1992, yang kemudian dijawab oleh Menteri Agraria/Kepala BPN RI dengan SK. No. 9-VIII-1993, Tanggal 3 Juni 1993.

3. Adanya SK. Menteri Agraria/Kepala BPN No. 9-VIII-1993, tanggal 3 Juni 1993, Tentang Pengelolaan dan Pengurusan Tanah Di Daerah Industri Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau-Pulau lain disekitarnya secara bersyarat.

4. Adanya Kepres No. 55 Tahun 1993, Tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum, tanggal 14 Juni 1993, sebagai hukum acara pembenasan lahan.

5. Adanya UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (perbaikan terhadap Kepres No. 55 Tahun 1993)

6. Adanya PP No. 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang mengharuskan pengadaan tanah untuk Pembangunan Proyek Strategis Nasional melalui mekanisme Panitia Pengadaan Tanah, bukan mengurus langsung dengan rakyat pemilik atau penggarap tanah.

7. Data tentang administrasi penduduk Pulau Rempang yang di atasnya terdapat 2 (dua) Kelurahan (Kelurahan Sembulang dan Rempang Cate) dan 16 Kampung Tua di  Kecamatan Galang, Kota Batam.

8. Larangan atau perintah dari Camat kepada Kepala Desa/Lurah supaya tidak ikut menandatangani sebagai mengetahui jual beli tanah di antara warga.

Dari 8 fakta hukum dan fakta sosial di atas, maka anggapan sementara pihak bahwa seluruh lahan Pulau Rempang itu adalah tanah negara, terbantahkan karena tidak mengandung kebenaran.

Di sinilah nampak itikad jahat BP. Batam yang membunuh hak perdata masyarakat atas tanah Pulau Rempang, di luar wewenangnya, bahkan di luar haknya sebagai pemegang HPL yang ternyata baru terbit pada April 2023.

Menghadapi warga Pulau Rempang, Pemerintah nampak bersikap sangat diskriminatif dalam menyikapi sengketa HPL, sebagaimana dapat kita lihat perbedaan perlakuan pemerintah menghadapi kasus Tanah Gelora BK Senayan di bangun Hotel Sultan yang HGB-nya atas nama PT. Indobuildco melawan Kementerian Sekretaris Negara.

Pemerintah nampak bersikap hormat dan lunak kepada Pontjo Sutowo dan sabar menunggu proses hukum. Namun mengapa lahan 17.00 Ha di Pulau Rempang rakyat menjadi korban hanya beberapa bulan setelah HPL diterima BP. Batam.

Ini adalah kesewenang-wenangan, di mana warga diusir seperti penjahat. Oleh karena itu hentikan intimidasi, tarik mundur semua aparat dan buka dialog melalui mediasi Komnas HAM, yang saat ini sedang berlangsung.

Penulis, Petrus Selestinus, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia  (TPDI), Koordinator Advokat Perekat Nusantara dan Kuasa Hukum Gerisman Ahmad.

ARTIKEL TERKAIT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

TERBARU