SHNet, Jakarta -Di tengah upaya pemerintah menyediakan rumah subsidi bagi masyarakat menengah bawah, ada kebijakan yang bisa memicu turunnya daya beli masyarakat terhadap kepemilikan rumah. Tahun ini bila jadi dilaksanakan kebijakan zero ODOL (over dimension over loading), maka harga kebutuhan pembangunan rumah dan infrastruktur lainnya dipastikan akan naik.
Perkumpulan Produsen Beton Ringan Indonesia menyebutkan bahwa kebijakan zero over akan berdampak pada industri properti. Kebijakan tersebut akan mendorong kenaikan harga properti karena harga bahan bahan bangunan dan harga angkut juga meningkat.
“Iya, tentu (berpengaruh) karena ini kebutuhan utama. Semua rumah kan sekarang pakai baja ya, nggak ada bangunan yang nggak pakai,” kata Ketua Proberindo, Franky Nelwan di Jakarta, Rabu (1/2/2023).
Dia mengatakan, zero ODOL akan menyebabkan industri bahan baku bangunan meningkatkan ongkos kirim mereka karena pembatasan daya angkut logistik. Kenaikan harga tersebut pada akhirnya akan berdampak pada daya beli masyarakat. Dia mengatakan, publik saat ini tengah dihadapi dengan kenaikan harga barang yang tidak diimbangi dengan kenaikan upah atau gaji mereka.
Selain itu, ekonomi masyarakat juga sebenarnya masih belum pulih betul akibat pandemi Covid-19 alias masih merangkak. Dia menilai, publik begitu juga dengan industri masih dalam pemulihan ekonomi pandemi yang terjadi. Dia menyarankan pemerintah agar membuat kebijakan yang mengacu pada situasi ekonomi saat ini.
“Pertumbuhan ekonomi kelihatan sudah naik, tapi coba cek di masyarakat, apakah sanggup menanggung kenaikan lagi. Ini yang pendapatannya tidak bertambah, artinya menurun karena inflasi,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia (ASI) Widodo Santoso mengaku telah berkirim surat kepada pemerintah untuk meminta penundaan kebijakan zero ODOL. Dia mengatakan, zero ODOL tentu akan menaikan biaya angkut semen dan berpengaruh pada meningkatnya harga jual semen di konsumen hingga 25 persen. “Bayangkan dan semen kalau naik dobel, keramik akan naik karena bahannya semen. Perumahan naik karena biayanya dari semen,” katanya.
Dia memprediksi bahwa 2023-2024 akan menjadi tahun yang sulit karena ekonomi dunia sedang tidak baik sehingga berdampak pada utilisasi pabrik yang akan menurun. Dia mengatakan, kondisi itu nantinya akan bertambah tragis dengan beban akibat zero ODOL. “Utilisasi turun berarti harga produksi naik. Harga produksi naik ditambah lagi harga distribusi naik maka timbullah kenaikan harga dan akhirnya yang terkena masyarakat,” katanya.
Franky menambahkan, industri sebenarnya bukan tidak setuju dengan penerapan zero ODOL. Mereka hanya meminta agar kebijakan tersebut ditunda setidaknya dua atau tiga tahun lagi sambil memulihkan kondisi perekonomian. Pemerintah diharapkan tidak mengambil kebijakan blunder yang akhirnya justru merugikan masyarakat dan industri. Dia melanjutkan, lagipula pemerintah seharusnya menyiapkan beberapa hal dulu sebelum memberlakukan zero ODOL. Pemerintah seharusnya memperbaiki kelas jalan terlebih dahulu sebelum menerapkan zero ODOL 100 persen. Begitu juga dengan penataan terkait jumlah berat yang diizinkan (JBI) dan/atau Jumlah berat kombinasi yang diijinkan (JBKI), agar seluruh truk dapat melintas.
“Rekomendasi mereka ya itu, beberapa hal yang harus disiapkan dulu sebelum penegakan 100 persen zero ODOL itu. Saya sih berharap pemerintah peka, bahwa kekhawatiran pada resiko jalanan rusak, kecelakaan, setuju itu (zero ODOL) ditegakkan, sah untuk truk yang overload, yang nggak bisa ngebut di jalan tol, kemudian juga yang over dimension, silahkan,” katanya.
Senada dengan Widodo, ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengatakan, kebijakan zero ODOL akan mempengaruhi daya saing industri dalam negeri, termasuk keramik. Dia menjelaskan, keramik merupakan industri yang menghasilkan produk dengan bobot sangat berat.
Dia melanjutkan, Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan biaya logistik termahal dibanding negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Dia mengungkapkan kalau biaya ongkos angkut keramik saat ini berkisar 10 sampai 15 persen dari total harga jual produk itu sendiri.
“Kami sudah melakukan kajian internal dan menghitung dengan jumlah muat keramik yang harus turun 70 persen dan akibat ODOL ini akan mengakibatkan ongkos angkut akan naik sekitar 240 persen. Otomatis sebagai industri, kami harus membebankan ke siapa?” katanya.
Jatuhnya daya saing industri keramik juga dipengaruhi kenaikan pajak PPN menjadi 11 persen hingga kenaikan BBM. Edy menjelaskan, industri terpaksa menaikan harga jual barang mulai dari 3 hingga 5 persen guna merespon kebijakan tersebut.
Lebih lanjut Franky melihat pemerintah sebenarnya masih gamang dalam menerapkan kebijakan zero ODOL ini. Industri melalui Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga telah mengajukan permintaan supaya Zero ODOL ditunda sampai 2025. Apindo menilai, penerapan zero ODOL yang prematur akan mengurangi signifikan jumlah angkutan logistik karena ketersediaan truk yang tidak terencana dengan baik sehingga dapat memicu inflasi. Kondisi tersebut merupakan dampak dari faktor tingginya biaya transportasi logistik, kombinasi kenaikan harga BBM, pelemahan rupiah dan minimnya angkutan darat.
“Kalau dipaksakan di 2023, ya tidak apa-apa, silahkan saja pemerintah yang berkuasa menetapkan kebijakan, tapi resiko terburuk adalah ekonomi jatuh terjun bebas,” kata Ketua Kebijakan Publik Apindo, Danang Girindrawardana.
Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali keputusan implementasi regulasi zero ODOL pada 2023 berdasarkan roadmap yang lebih akurat dengan memperhatikan kondisi makro ekonomi terkini. Dia menjelaskan, kalau zero ODOL dipaksakan pada januari 2023 maka jumlah angkutan logistik akan berkurang drastis karena ketersediaan truk juga tidak terencana dengan baik. (Rudy)