15 June 2025
HomeBeritaSoroti Tragedi Bullying Bermuatan SARA pada SDN di Riau, ASJB Desak Sistem...

Soroti Tragedi Bullying Bermuatan SARA pada SDN di Riau, ASJB Desak Sistem Pendidikan Berbenah

SHNet, Jakarta – Seorang murid kelas dua Sekolah Dasar Negeri 012 di Desa Buluh Rampai, Kecamatan Seberida, Riau, meninggal dunia pekan ini, diduga akibat perundungan berulang yang dilakukan oleh kakak kelasnya. Kasus ini bukan hanya memperlihatkan kegagalan sistem pengawasan di lingkungan sekolah dasar, tetapi juga mengangkat kembali luka lama Indonesia: intoleransi yang tumbuh di usia dini.

Korban berinisial KB, 8 tahun, disebut mengalami perundungan lebih dari satu kali. Indikasi awal mengarah pada motif diskriminatif: perbedaan suku dan agama menjadi pemicu utama. Peristiwa ini kini menyita perhatian publik nasional karena menunjukkan adanya krisis toleransi dalam dunia pendidikan dasar yang seharusnya menjadi ruang aman bagi anak.

  1. Jeni Suryanti, Ketua Umum Alumni SMA Jakarta Bersatu (ASJB), dalam pernyataan tertulisnya pada Minggu (1/6/2025), mengkritik keras lemahnya kesadaran kolektif masyarakat terhadap pembentukan karakter anak. Menurutnya, banyak keluarga yang belum siap menjalani peran sebagai orang tua, terutama mereka yang menikah di usia dini.

“Anak mestinya dilahirkan sebagai anugerah Tuhan, bukan korban dari sistem sosial yang abai. Jika orang tua tidak siap secara mental dan emosional, bagaimana mungkin anak tumbuh dalam cinta dan nilai?” ujar Jeni.

Membuka Luka Lama, Agama dan Identitas Jadi Alat Kekerasan

Jeni menyoroti bahwa nilai-nilai diskriminatif kini merambah ruang kelas sejak dini. Ia menyebut perlakuan terhadap KB bisa jadi hanya salah satu dari sekian banyak kasus yang tidak terungkap.

“Hanya karena seorang anak perempuan tidak berjilbab, bukan berarti ia layak menjadi sasaran prasangka. Kita harus mulai mengajarkan bahwa perbedaan bukan ancaman,” tegasnya.

ASJB menyerukan reformasi pendidikan karakter secara menyeluruh di seluruh satuan pendidikan, termasuk madrasah. Mereka mendorong pembentukan gugus tugas anti-bullying di sekolah yang melibatkan tidak hanya guru dan orang tua, tetapi juga para alumni sebagai bagian dari jejaring pengawasan.

“Jika kita membiarkan diskriminasi berbasis suku atau agama terjadi di sekolah, maka kita tengah merusak fondasi kebangsaan dari dalam,” pungkas Jeni.

Kekerasan yang Terstruktur dan Mengakar

Tragedi di Riau ini bukan insiden tunggal. Data menunjukkan tren peningkatan kasus perundungan di lingkungan sekolah, khususnya di jenjang dasar.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melaporkan 30 kasus bullying di satuan pendidikan selama 2023, naik dari 21 kasus pada tahun sebelumnya. Sebanyak 30% dari kasus itu terjadi di jenjang sekolah dasar. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahkan mencatat lebih dari 3.800 kasus perundungan di tahun yang sama, dengan hampir separuhnya terjadi di lembaga pendidikan, termasuk pesantren.

Jenis kekerasan yang paling umum adalah fisik (55,5%), disusul verbal (29,3%), dan psikologis (15,2%). Korban terbanyak berasal dari jenjang SD (26%), disusul SMP (25%) dan SMA (18,75%).

Menanggapi situasi ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah menerbitkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Namun, pelaksanaannya dinilai belum merata. (sur)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU