Oleh: Robert Bala
Kita sedang melewati momen apresiasi tertinggi terhadap Konstitusi. Tentu jauh di atasnya, sanjungan akan Pancasila sebagai dasar negara menjadi begitu nyata. Pembukaan UUD 1945 pun disebutkan sebagai senjata ampuh.
Untuk apa digunakan semua pendasaran dimaksud? Tidak lain karena ingin menolak Israel bermain di Indonesia. Orang atau Parpol yang selama ini cukup kontra, menjadi begitu apresiatif. Aneka debat sepertinya dimenangkan begitu mudah. Imbas dari diskusi itu, Indonesia pun telah ‘berhasil’ didepak dari Piala Dunia U-20 yang sudah di depan mata.
Aneh, tetapi itulah yang terjadi dan menjadi kenyataan. Hal ini memunculkan pertanyaan: apakah konstitusi hanya digunakan sejauh kepentingan tertentu diperjuangkan ataukah seharusnya menjadi landasan dalam mengelola negeri ini?
Secara etimologis, konstitusi yang berasal dari kata Latin constitutio, constitutionis dibentuk dari kata kerja constituere yang artinya: menetapkan, meletakkan, mengorganisir, dan membangun). Bila diurai lebih jauh maka constituere terbentuk dari ‘con’ (yang artinya dengan atau bersama-sama) dan ‘statuere’ yang berarti menempatkan, menyusun, menegakkan). Di dasarnya statuere sebenarnya dari kata kerja stare (berdiri di atas kaki sendiri).
Akar etimologis ini sebenarnya menyadarkan bahwa konstitusi tidak asal digunakan. Lebih lagi digunakan saat mendukung ‘perjuangan’ dan didepak dari kamus hidup ketika bertentangan dengan kepentingan yang ingin diperjuangkan.
Kita lihat saja. Dalam konflik yang mengganggu kehidupan beragama (entah membangun rumah ibadah atau bahkwan ibadat itu sendiri), jarang didengarkan kata-kata: tidak sesuai Pancasila atau tidak sesuai dengan konstitusi kita, UUD 1945. Padahal secara konstitusional, hak beragama misalnya tertulis dengan jelas: negara menjamin kebebasan beragama tiap warga negara. Artinya, penduduk Indonesia memiliki kebebasan untuk memilih agama tanpa ada campur tangan maupun paksaan dari siapapun, bahkan termasuk Pemerintah sekalipun.
Yang terjadi, apakah ketika terjadi penghalangan kehidupan beragama, kata-kata sakti “tidak sesuai konstitusi’ dikumandangkan? Hal inilah yang membuat kita miris. Konstitusi ternyata sekadar menjadi tameng melindungi kepentingan parsial dan jauh dari imparsialitas yang didamba.
Inilah ironi yang seakan begitu kuat seputar debat tentang perlunya menerima atau tidak Israel. Debat yang akhirnya berujung dengan pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah menyadarkan bahwa kata-kata ‘sesuai konstitusi’ menjadi kajian menarik. Disebut demikian karena tersibak bahwa untuk sebuah periode kita menjadi begitu ‘dekat’ dengan konstitusi. Tetapi ia akan menjadi ujian apakah selanjutnya frase sacral itu juga digunakan.
Sadar Berdiri
Pembatalan Indonesia sebagai penyelenggara Piala Dunia U-20 tentu sangat menyayat hati. Bagi para penikmat sepak bola, debat kusir politisi yang menganggap diri begitu ‘konstitusional’ telah meninggalkan luka. Kita berharap ancaman mereka untuk ‘menghukum’ parpol pendukung pembatalan Pildun U-20 tidak terwujud. Tetapi anak muda yang kecewa tidak tertutup kemungkinan untuk menghadirkan kembali trauma itu saat pesta demokrasi nanti.
Bagi kita meratap dengan penyesalan tentu sangat tidak berguna. Pengalaman mengelola piala dunia apalagi memiliki team yang bermain pertama kali di sebuah piala dunia (meski U-20) terlewatkan begitu saja dan tentu tidak mudah mendapatkan kepercayaan. Tetapi dari pengalaman itu kita bisa berbenah.
Pertama, kegamangan yang terus terjadi dalam kehibupan berbangsa dan bernegara membenarkan bahwa kita tidak pernah secara konsisten menerapkan konstitusi sebagai upaya bersama meletakkan dasar-dasar yang kokoh dari kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjadi acuan. Jelasnya, konstitusi tidak pernah secara utuh kita perlakukan sebagai dasar dan acuan tetapi kerap kali hanya sebagai tameng melindungi kepentingan.
Tidak berlebihan kalau kita mengatakan, konstitusi kita tidak pernah menjadi begitu hidup. Ia lebih diperlakukan sebagai ‘statuae’ alias patung yang berdiri tegap tanpa nyawa. Hal itu bisa membenarkan mengapa kita kerap mencomot ayat-ayat yang mendukung tetapi di pihak lain kita menelantarkannya.
Kedua, adanya kekakuan bak patung mendorong kita untuk segera sadar bahwa dalam era global seperti ini kehadiran tanpa nyawa selain menjadi bahan tertawaan tetapi juga merugikan diri sendiri. Sebaliknya kita terpanggil untuk memberi nyawa dengan meletakan, mengorganisasikan, atau menempatkan keutamaan nilai.
Dalam kaitan dengan Piala Dunia U-20 yang sudah ditolak penyelenggaraannya di Indonesia mestinya menjadi bahan refleksi bahwa upaya diplomasi yang kaku dengan mengutamakan model diplomasi keras (hard diplomacy) hanya akan menjauhkan kita dari pergaulan dunia internacional. Sebaliknya secara bersama-sama (con) kita meletakkan bersama prinsip universal tentang perdamaian dan kesederajatan sebagai prinsip yang terus kita junjung tinggi.
Ketiga, kepincangan akibat menjadikan konstitusi sekadar tameng menyadarkan juga bahwa sebenarnya efektivitas dan efisiensi sebuah konsitusi sangat bergantung pada manusia dan bulan sebaliknya. Di satu pihak, konstitusi yang nota bene selalu berkembang tidak akan valid selamanya oleh karena selalu hadir tafsiran baru yang lebih seusai zaman. Karena itu mengekalkan bahasa konstitusi demi membenarkan sebuah tindakan adalah tindakan tak terpuji.
Sebaliknya manusialah yang sebenarnya melindungi konstitusi hal mana dikatakan oleh Thomas Sowell. Bagi penulis Amerika, ekonom, ahli teori sosial, dan komentator politik yang merupakan rekan senior di Hoover Institution ini sangat jelas: “The Constitution cannot protect us unless we protect the Constitution.” Konstitusi tidak melindungi kita kecuali kitalah melindungi konstitusi. Artinya manfaat dari konsitusi tidak akan hadir dengan sendirinya tanpa usaha sadar dari manusia menjaga konstitusi itu sendiri.
Hingar binger piala dunia U-20 dengan semboyan menegakkan konstitusi akan terasa indah kalau ia tidak sekadar menjadi tameng. Sebaliknya ia perlu menjadi hidup oleh sokongan bersama (constituere) agar kita tidak sekadar menjadi obyek ironi sebagai patung tak bernyawa.
Robert Bala. Diploma Resolusi Konflik dan Penjagaan Perdamaian Asia Pasifik Universidad Complutense Madrid, Dosen Pancasila pada Akademi Perhotelan Tunas Indonesia Bintaro.