Jakarta – Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UPN “Veteran” Jakarta menyelenggarakan kegiatan The 2nd Jakarta Economic Sustainibility International Conference Agenda (JESICA). Seminar internasional selama dua hari ini membahas perkembangan ekonomi global dan dampaknya bagi Indonesia. Sejumlah guru besar dan pakar ekonomi tampil sebagai pembicara dalam seminar ini.
Seminar yang berlangsung di Auditorium Bhinneka Tunggal Ika Gedung Jenderal Soedirman, UPN “Veteran” Jakarta, Kamis dan Jumat (1-2/1/2022), dibuka Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UPN Veteran Jakarta, Dianwicaksih Arieftiara SE.Ak., M.Ak, CA., CSRS.
Menurut Dianwicaksih, kegiatan itu diharapkan dapat menjadi salah satu kesempatan bagi para peserta dan mahasiswa FEB untuk menambah pengetahuan dalam ilmu ekonomi. Sebab, sangat penting agar tetap update mengenai inflasi yang sedang melanda dunia. Karena secara tidak langsung, kenaikan harga di seluruh dunia ini juga akan berdampak kepada kita.
Pada sesi hari pertama membahas “The Development of International Sustainability Growth: The Rise of Stagflation and Climate Risk” dipandu Dr. Miguna, S.Si, MM, CPM dengan menghadirkan pembicara, Prof. Jomo K.S.(Royal Academy of Science Malaysia), Prof. Susan Schroeder (University of Sydney), Prof A. Prasetyantoko (Atma Jaya University), serta Prof Jean-Bernard Chatelain (University of Panthéon-Sorbonne) yang membawakan materi Persistance-Dependent Optimal Policy Rules
Selain itu, juga terdapat empat panelis, yakni Dr. Ahmad Tauhit, Achmad Nur Hidayat, SE, MPP, Faizi, SEI, M.Si, PhD, dan Dr. Aswin Rivai, SE, MM.

Pada kesempatan kali ini, Prof. A. Prasentyantoko membahas mengenai Business Cycle and Policy Respond Global Stagflation and the Indonesia’s Policies. Dia mengawali dengan mengutip David Malpass selaku President of the World Bank, yang menyatakan, “Even if a global recession is averted, the pain of stagflation could persist for several years, unless major supply increased are achieved” yang kurang lebih berarti, “Kalaupun resesi global dapat dihindari, rasa sakit stagflasi dapat bertahan selama beberapa tahun, kecuali terjadi peningkatan pasokan besar”.
Dia mengatakan, implikasi jangka pendek dari situasi ekonomi global berkaitan dengan ketegangan dari harga pangan dan harga energy, yang disebabkan perubahan mendasar dari rantai pasokan global (efek sisi pasokan).
Sedangkan, implikasi jangka menengah akan berkaitan dengan investasi dan perdagangan akan didasarkan pada masalah keamanan daripada masalah ekonomi (ketahanan versus efisiensi). Sementara implikasi jangka panjang, akan terjadi pergeseran episentrum pertumbuhan/ekonomi dari “negara maju” ke “negara berkembang” (siklus bisnis global dan struktural). Hal ini, katanya, menjadi kesempatan bagi negara-negara berkembang untuk mengakselerasi posisi ekonominya.
Prof. Jomo Kwame Sundaram yang membahas “The Great Western Climate Finance Betrayal” menegaskan, kalau Negara-negara miskin merupakan yang paling parah menanggung dampak perubahan iklim. Menurutnya, dampak pemanasan global yang paling menghancurkan, hilangnya nyawa dan kerusakan ekologi manusia telah dan akan terjadi di negara-negara berkembang.
“Negara-negara berkembang, banyak negara tropis, penghasil gas rumah kaca rendah, yang paling tidak bertanggung jawab atas perubahan iklim, namun menanggung konsekuensi terburuknya. Seperti halnya pandemi, tidak ada yang aman sampai kita semua aman,” kata Jomo.
Sementara itu, Prof. Susan Schroeder menyampaikan materi Development Central Banking Revisited. “Monetary Policy is oriented to addres demand-side shocks, where prices and output move in the same direction. Menurutnya, perubahan iklim seperti pandemi karena terjadi melalui sisi penawaran dan berdampak pada harga.
Namun, tidak seperti pandemi atau konflik, perubahan iklim adalah masalah tren atau jangka panjang, bukan kejutan jangka pendek. Bank-bank sentral mendekati dampak perubahan iklim melalui stress test dan memperbarui model untuk proyeksi. Dia menambahkan, konsep histeresis – penyesuaian lamban – sedang ditinjau kembali. Model ekuilibrium umum hadir untuk memastikan dampak dan menetapkan proyeksi penyesuaian.
Menurut Susan, perlunya meninjau kembali kembali kebijakan moneter global. Dia juga membahas peran yang dilakukan bank sentral sebagai bank pembangunan di berbagai Negara, seperti AS dan Eropa. Dia melihat mekanisme bank central, dimana setiap proyek tidak selalu menghasilkan dana langsung untuk membayar kembali pinjaman CBDC. Hal ini, katanya, akan menempatkan bank sentral dalam risiko.
Sementara itu, Konferensi hari kedua, Jumat (2/12/20222) membahas topik “International Economic Sustainability: Relevancy of Non-Alignment and NonDiscrimination Agreement, Impact to Small Business and Palm Oil trade”, yang dipandu Dipl. Kauffrau. Freesca Syafitri, SE, MA. Pembicara pada sesi ini terdiri dari Prof Oscar Ugarteche (UNAM), Dr. Kahlil Manaf Hegarty (Director – Policy at Article Three Trade and Sustainability Spesialist), Prof Lyazzat Sembiyeva (Eurasian University), Prof Tulus Tambunan (University of Trisakti).(sp)

