29 April 2024
HomeBeritaAksi Kekerasan Brutal Oknum Polri di Sikka dan Labuan Bajo Coreng Marwah...

Aksi Kekerasan Brutal Oknum Polri di Sikka dan Labuan Bajo Coreng Marwah Polri

Jakarta-Aksi kekerasan yang brutal dilakukan dua oknum anggota Kepolisian Brimob Polda NTT terhadap warga di Maumere dan Labuan Bajo mencoreng marwah Polri. Untuk itu, Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) meminta agar ada proses hukum yang tegas dan TPDI akan terus mengawal kasus ini.

Demikian keterangan Koordinator TPDI Petrus Selestinus di Jakarta, Jumat (15/9/2023). Petrus menjelaskan, kekerasn di Kewapante, Maumere terjadi pada 10 September 2023 atas diri korban Tadeus Nong Payung dan Martinus Rino.

Dalam waktu yang hampir bersamaan tepatnya tanggal 13 September 2023, terjadi kasus kekerasan oleh Anggota Polri di Labuan Bajo, Mangarai Barat di mana seorang Security Bank BRI, bernama Gio dipukul oleh AKP Ivans Drajat, Kapolsek Komodo, Polres Manggarai Barat, lantaran ditegur karena menggunakan helm saat masuk ATM.

“Ini gambaran kecongkakan anggota Polri di tengah masyarakat Flores, NTT, dengan budaya santun dan ramah, ternyata tidak membuat beberapa anggota Polri di Flores merasa sebagai warga bangsa yang sama, di antara mereka masih ada yang merasa diri sebagai punya sesuatu yang lebih, sehingga bisa melakukan apa saja tanpa merasa bersalah,” tegas Petrus.

Petrus yang juga Koordinator Advokat Perekat Nusantara ini mengatakan, praktek-praktek tidak terpuji ini harus dihentikan dan harus menjadi perhatian khusus Kapolda NTT, karena bagaimanapun juga perilaku Anggota Polri berupa memukul warga hingga luka-luka berat, dapat dikualifikasi sebagai kejahatan penganiayaan. Karena itu harus diproses hukum dan etik, berjalan seiring sesuai dengan ketentuan tuntutan masyarakat.

Langgar Hukum dan Etika

Dai menegaskan, Pimpinan Polda NTT harus memberikan perhatian khusus terutama proses hukum yang transparan dan akuntabel terhadap siapapun anggotanya yang melakukan tindak kekerasan penganiayaan terhadap warga, maka tindakan itu bukan saja sebagai tindak pidana akan tetapi juga sebagai melanggar etika.

“Kita tahu bahwa setiap Anggota Polri, baik dalam menjalankan tugasnya maupun di luar tugas, terikat pada aturan hukum dan kode etik. Mengenai kode etik, anggota polisi diikat dengan empat kategori etika, yaitu etika kepribadian, etika kenegaraan, etika kelembagaan dan etika dalam hubungan dengan masyarakat,” tutur Pengacara Senior ini.

Selama ini, katanya, anggota Polri banyak di antaranya yang berperilaku melanggar etika kemasyarakatan di samping melanggar Hukum, terlalu banyak tindak kekerasan terhadap warga masyarakat yang dilakukan anggota Polri di hampir setiap kabupaten di NTT, berupa aksi pemukulan, penganiayaan dan kekereasan verbal lainnya, baik ketika dalam bertugas maupun di luar tugas.

Kurang Tegas

Anggota Polisi ketika bertugas di lapangan, jelas Petrus, tidak boleh menempatkan diri hanya sebagai penegak hukum, karena dalam diri setiap anggota Polri, melekat tugas dan fungsi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Tugas sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, tidak boleh dilepaskan dari tugas sebagai penegak hukum.

“Karena itu, setiap anggota Polri ketika berada di lapangan menjadi penegak hukum, dia tidak boleh abaikan fungsinya sebagai pengayom dan pelindung bagi masyarakat, karena itu harus dibudayakan dan dijadikan sebagai kebanggaan setiap Polri akan fungsi sebagai Pengayom dan Pelindung masyarakat yang harus berjalan seiring dengan fungsi sebagai penegak hukum,” tegasnya.

Dengan demikian,  tutur Petrus, maka fungsi Polri sebagai pengayom dan pelindung masyarakat harus dibudayakan dan menjadi kebanggaan bagi setiap anggita Polri, sehingga kekerasan yang selama ini terjadi bisa diminimalisir.

Selain dari pada itu, jelasnya, tidak adanya sikap tegas dari Pimpinan Polri karena budaya melindungi korps secara berlebihan juga membuat Pimpinan Polri mengabaikan persoalan disiplin dan etika anggota Polri di tengah masyarakat. Akibatnya konsep Polri yang presisi yang diperkenalkan oleh Kapolri Jend Pol. Listyo sigit Prabowo, dalam rangka upaya meningkatkan profesionalisme dan pelayanan Kepolisian yang bermutu tidak tercapai, karena dirusak oleh anggota Polri sendiri.

Proses Hukum

Menurut Petrus, apa yang dilakukan oleh Anggota Polisi AKP. Ivans Drajat terhadap Gio di Labuan Bajo, maupun yang dilakukan dua anggota Polisi Brimob di Sikka terhadap korban Thadeus Payung dan Marianus Rino, harus diproses hukum dan proses etika, jika perlu dibarengi dengan proses secara adat di kampung untuk melahirkan efek jera.

Dia menjelaskan, khusus tentang tindak kekerasan yang dilakukan AKP Ivans Drajat, Kapolsek di Labuan Bajo terhadap Gio, Satpam BRI Cabang Labuan Bajo, oleh karena ternyata berdasarkan data yang diterima TPDI terdapat putusan pidana dalam perkara No. 44/Pid.Sus/2921/PN.Atb. tanggal 23 Juli 2021 oleh Pengadilan Negeri Atambua, NTT, maka urusan AKP Ivan Drajat ini akan jadi panjang dan semakin menarik ke depan.

Petrus mengatakan, adapun putusan Pengadilan Negeri Atambua itu menyatakan Terdakwa Ivan Drajat terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga” dengan pidana penjara 3 bulan dengan percobaan 10 bulan, melanggar pasal 44 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang ancaman pidananya 5 tahun penjara. “Aneh ini putusan ko sangat ringan, ada KKN kah, nanti kita lihat,” katanya.

Menurut Petrus, mestinya AKP Ivans Drajat diproses secara etik dan diberikan sanksi etik berupa dipecat dengan tidak hormat dari keanggotaan Polri atau setidak-tidaknya tidak layak menduduki jabatan struktural dalam Kepolisian, termasuk tidak layak karena tidak memenuhi syarat menjadi resesre atau penyidik di Kepolisian manapun. Ini namanya Pimpinan Polri menebar racun bagi masyarakat ketika menempatkan AKP Ivan Drajat di tengah masyarakat.

Petrus menjelaskan, mengenai putusan pidana yang menempatkan AKP. Ivan Drdajat sebagai mantan Napi dengan bonus hukuman ringan hanya 3 bulan penjara dengan percobaan 10 bulan untuk tindak pidana yang ancaman pidananya 5 tahun bahkan ayat (2) bisa sampai 10 tahun (beraroma putusan berbau KKN), maka TPDI akan membuat pengaduan resmi ke Komisi Etik Polri agar terhadap AKP Ivan Drajat diproses secara etik dan dipecat, karena melakukan pemukulan terhadap Gio.

Petrus mengatakan, aksi kekerasan fisik yang dilakukan oknum anggota Kepolisian terhadap anggota masyarakat di NTT, sering dipublish media karena berkategori kesewenang-wenangan, kecongkakan hingga berkategori tindakan penganiayaan terhadap korban warga, sebagaimana yang terjadi di Sikka dan di Labuan Bajo, namun jarang kita dengar ada proses Hukum secara pidana dan proses etika hingga tuntas.

“Penganiayaan terhadap dua orang  pemuda Kewapante hingga babak belur akan akan dilaporkan ke Propam Polda NTT dan Komisi Etik Polri agar dinonaktifkan,” tegas Petrus.(sp)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU