SHNet, Jakarta — Vice Chairman Asosiasi Logistik Indonesia, Mahendra Rianto tak habis pikir dengan rencana pemerintah yang dinilai tergesa-gesa dalam menerapkan zero over dimension over loading (ODOL) awal tahun 2023. Dia mengatakan, padahal saat ini perekonomian masih menderita akibat Covid-19 ditambah dengan kenaikan harga BBM yang mulai berdampak pada kenaikan barang dan inflasi.
“Saya udah nggak bisa ngomong lagi. Ini pemerintah, dalam hal ini ini kementerian perhubungan ya, sebenarnya berkoordinasi nggak sih sama kementerian yang lain,” kata Mahendra Rianto di Jakarta, Selasa (3/10).
Menurutnya, pemerintah seharusnya melihat indikator-indikator sebelum mengeluarkan kebijakan berkenaan dengan ODOL. Dia menjelaskan, situasi ekonomi nasional saat ini masih labil, tidak pasti, kompleks dan ambigu (VUCA).
Dia mengatakan, perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina juga berdampak pada kestabilan ekonomi dunia. Dia melanjutkan, kondisi tersebut juga berdampak ke Indonesia secara langsung dan tidak langsung.
Peperangan sempat memicu kenaikan harga minyak dunia. Mahendra mengatakan, hal tersebut membuat Indonesia menaikan harga BBM yang memberikan efek domino hingga memicu inflasi di berbagai daerah secara nasional.
“Jadi situasinya nggak stabil gitu ya. Perang dunia ini membuat krisis energi. Peperangan sempat memicu kenaikan harga minyak dunia Itu situasi ke depan yang kita nggak tahu. Itu yang kita sebut dengan situasinya labil,” katanya
Mahendra menegaskan, kenaikan harga BBM berdampak pada jasa pengiriman atau logistik yang merupakan salah satu mesin perekonomian Indonesia. Dia mengungkapkan, kenaikan harga tersebut membuat industri listrik terpaksa menyesuaikan tarif jasa mereka.
Berkaitan dengan ODOL, Mahendra memaparkan bahwa penurunan daya angkut dalam satu truk berdampak pada kenaikan ongkos kirim logistik. Dia menjelaskan, tarif kapasitas angkut 15 ton diberi saat ini Rp 9 juta. Nominal tersebut dibagi 15 dengan hasil Rp 600 per kilo.
“Sekarang mau dipendekin jadi hanya 10 ton, berarti Rp 9 juta dibagi 10.000 kg. Artinya dari 600 menjadi 900 kg per kilo, berarti dia akan naik sekitar 50 persen,” katanya.
Dia menilai, akan sangat tidak bijak apabila menerapkan ODOL kepada penyedia jasa logistik yang merupakan mesin ekonomi nasional di tengah kondisi saat ini. Namun, sambung dia, bukan berarti penyedia jasa logistik menolak mengikuti regulasi yang diterapkan pemerintah.
Menurutnya, kebijakan itu hanya tidak tepat apabila diterapkan saat ini. Dia mengatakan, apabila dipaksakan untuk terus diterapkan maka akan banyak penyedia jasa logistik apabila dipaksakan untuk terus diterapkan maka akan banyak penyedia jasa logistik yang gulung tikar alias bangkrut terutama di sektor industri semen hingga kelapa sawit serta industri-industri yang berbasis cairan.
Kementerian pekerjaan umum dan perumahan rakyat (PUPR) mencatat truk ODOL menyebabkan kerugian negara hingga Rp 1 triliun per tahun akibat kerusakan jalan yang mereka lintasi. Terkait hal ini, Mahendra berpendapat bahwa seharusnya jalan tersebut dibangun dan diperkuat sehingga dapat mencapai puluhan tahun masa pakai.
“Bukan yang hanya 1 tahun rusak, setiap tahun rusak, setiap tahun rusak gitu loh,” katanya.
Mahendra juga meminta pemerintah untuk mengundang pengusaha logistik dalam setiap pembahasan mengenai ODOL. Dia mengatakan, pengusaha siap mencari jalan keluar bersama agar dapat tercapai solusi terbaik dari masalah yang saat ini timbul.
“Jadi kita cari equilibrium yang pas gitu loh, supaya sama-sama kita hidup. Kami mau nggak jadi bagian dari pemecahan masalah, bukan malah jadi bagian problem, gitu loh,” katanya.
Senada dengan Asosiasi Logistik Indonesia, beberapa asosiasi lain seperti Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Asosiasi Semen Indonesia (ASI), Asosiasi Pupuk Indonesia dan Apindo sebelumnya juga telah menyampaikan keberatannya terhadap rencana Kemenhub menerapkan zero ODOL awal tahun depan. Mereka akan mendukung kebijakan ini, tetapi waktunya perlu disesuaikan lagi karena situasi ekonomi yang belum stabil akibat pandemi Covid 19 dan situasi ekonomi politik dunia. Hal yang sama juga disuarakan oleh asosiasi sopir truk seperti Aliansi pengemudi Perjuangan nasional (APPN) dan Asosiasi Pengemudi Independen yang pada awal tahun lalu melakukan demo massal di berbagai daerah. (rzy)