12 December 2024
HomeBeritaBelajar dari Pak Hoegeng Sang Polisi yang Berkarakter Pancasila

Belajar dari Pak Hoegeng Sang Polisi yang Berkarakter Pancasila

Oleh: Antonius Benny Susetyo

Polisi adalah suatu pranata  penegak hukum di Indonesia keamanan dan ketertiban masyarakat. Selain bertugas melakukan penyelidikan dalam kasus-kasus yang melanggar hukum, Polisi juga berperan di masyarakat dalam penjaga keamanan ketertiban dan pelayanan kepada masyarakt.

Setelah Polri dilepas dari ABRI, organisasi Polri masuk dalam kategori paramiliter resmi kepolisian, Polri sebagai organisasi induk Kepolisian di Indonesia yang harus siap sedia dalam melayani masyarakat apabila terjadi suatu masalah di masyarakat.

Tidak hanya itu Polisi juga menjadi penengah dan pemersatu dalam suatu masalah di dalam masyarakat dan pencegah dalam suatu penyakit masyarakat seperti perjudian, mabuk-mabukan, pelacuran dala lain sebangainya.

Polisi dimata masyarakat adalah kemuliaan dan keikhlasan dalam membantu, melindungi dan menjaga masyarakat dari tindakan kejahatan dan kesulitan serta ketakutan dengan kondisi keamanan. Untuk menjalankan tugasnya, Polisi langsung terjun kepada masyarakat dan memberikan rasa aman kepada masyarakatnya.

Tugas Polisi sangat-lah berat, harus dengan keikhlasan dan kesabaran dalam menghadapi ragamnya karakter masyarakat. Maka dari itu, Polisi harus memiliki karakter dan jiwa Pancasila yang kuat sehingga dapat menghadapi masayarakat yang multi kultural.

Seperti Pak Hoegeng, ia adalah sosok Polisi yang mempunyai arate (keutamaan Publik) yang mengedepankan pertu (keadilan yang menjadi roh dalam pengabilan keputusan), Polisi yang jujur, menjunjung tinggi keadaban publik dan mementingkan rakyat kecil adalah nilai-nilai keuatamana Pak Hoegeng dalam menjalankan tugasnya.

Sebaga Polisi dia sadar tanggung jawab akan moralitas publik adalah keutamananya dalam menjalankan tugasnya daripada mementingkan pribadi, golongan dan sukunya serta mencari kekayaan.

Pak Hoegeng adalah figur Polisi yang benar-benar mendengarkan suara hatinya, karena suara hati adalah hukum yang tertinggi. Maka harusnya Pak Hoegeng menjadi role model dalam menata birokrasi Pemerintahan dan menata kelola kehidupan ini terutam di lingkungan Kepolisian.

Di saat kita mengalami krisis keteladana maka kita menemukan kembali bagaimana Pak Hoegeng sebagai role model yang mengedepankan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya. Pancasila sebagai habitualisasi yaitu bagaimana membuat cara berpikir bertindak dan bernalar.

Bagi Pak Hoegeng Pancasila itu adalah pengetahuan takut akan Tuhan. Karena takut dengan Tuhan maka dia menjunjung tinggi nilai martabat manusia, bagi dia manusia siapapun golongannya, suku, etnis dia harusnya dilindungi martabatnya, dia tidak boleh dilecehkan dan hukum berteriak kepada keadilan. Karena hukum berupa keadilan tidak mengenal diskriminasi. Dia tidak mengenal suku dan etnis dan budaya baginya kepentingan bangsa adalah hukum tertinggi yaitulah nilai nasionalisme.

Nasionalisme dijelaskan Pak Hoegeng yaitu dalam menciptakan nilai-nilai keadilan yang sama bagi setiap orang dan dia tidak mau kompromi dengan keadilan, ketika roh keadilan itu dilanggar oleh siapapun termasuk pejabat besar, maka Pak Hoegeng berani mengambil resiko sehingga ia harus diberhentikan menjadi seorang Jenderal dan Kepala Kepolisian, karena bagi Pak Hoegnag Pancasila menjadi dasar hidupnya untuk menegakana nilai-nilai keadilan.

Kita membutuhkan figur Pak Hoegeng untuk menciptkaan keadailan, sehingga Kepolisian ke depan harus mencontoh Pak Hoegeng sebagai Polisi yang selalu mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kita ke depan berharap Kepolisian Indonesia memiliki martabat yang berjiwa teladan selain itu Polisi ke depan tidak hanya profesional di bidangnya tidak hanya memiliki skill kemampuan dalam bidang teknologi informasi tetapi kondisi kedepan benar-benar smart, berintegritas, Polisi yang memiliki jiwa satria, Polisi yang memiliki jiwa Bhayangkara dan itulah menjadi tujuan dalam segala perilaku dalam kehidupannya.

Perkembangan masyarakat dan politik menuntut Polisi untuk menunjukkan kinerja profesionalnya dan sungguh-sungguh menjadi garda depan dalam penegakan hukum di Indonesia. Polisi berdiri paling depan sebagai aparat hukum yang berandil besar dalam mewujudkan keadilan hukum di negeri ini. Itu juga menjadi refleksi paling mendasar Polri selama ini. Begitu banyak kasus yang menunjukkan aparat belum bekerja secara profesional dan menjadi pelindung rakyat dalam arti sesungguhnya.

Polri harus berpegang teguh pada semangat Pak Hoegeng, yang sederhana tetap teguh menjalankan hukum. Polri yang totalitas dalam pelayanan publik harus meneladani Jenderal Hoegeng sebagai model dalam menjalankan tugas dan kewajibannya menjaga NKRI.

Polisi masih menyisakan begitu banyak agenda. Cara-cara menyelesaikan masalah hukum yang masih menonjolkan kekerasan juga menjadi sorotan tajam masyarakat dewasa ini. Keterlibatan oknum-oknum dalam pelanggaran hukum, seperti kriminalitas dan korupsi, menjadi catatan penting selama ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa Polisi masih belum menunjukkan kinerjanya yang maksimal.

Atas hal ini, tentu ada pendekatan yang perlu dikaji ulang agar terorisme bisa ditumpas bukan di permukaannya saja, namun sampai akar-akarnya. Kekerasan tidak selalu berhasil menyelesaikan masalah. Berbagai kasus yang mengemuka juga mempertegas keterpurukan citra Polisi semakin jauh. Masyarakat masih sering menganggap Polisi sebagai aparat yang bengis daripada aparat yang bersahabat. Ini belum sesuai dengan slogan Polisi yang menyatakan bahwa mereka adalah mitra masyarakat.

Agenda berat bagi Kapolri, salah satunya adalah bagaimana mengembalikan citra dan kewibawaan Polisi. Perlu reformasi cara pandang yang mendasar agar kewibawaan dan citra Polisi kembali pulih.

Apa yang kita hadapi bersama-sama sebagai bangsa saat ini adalah melorotnya martabat hukum dalam berbagai level. Martabat hukum semakin lama digerogoti oleh tingkah laku yang membunuh etika. Antikorupsi dan suap terus-menerus diteriakkan, tetapi terus dicari cara baru yang lebih rapi dan secara sembunyi-sembunyi untuk mengelabui publik.

Dalam sangkaan yang begitu negatif, masih begitu banyak taktik korupsi yang belum terpublikasi. Dalam konteks seperti ini, Polisi memiliki tugas berat yang sangat menantang. Namun, hal tersebut tidak akan terealisasi apabila hal yang sama juga menghinggapi tubuh kepolisian. Masihkah ada kesempatan menyelamatkan republik ini dari kehancuran karena hukum yang terlalu sering diperjualbelikan? Dengan cara apa agar masyarakat masih memercayai wajah buruk hukum dan keadilan negeri ini?

Itulah beragam pertanyaan publik yang lahir mengikuti perkembangan kebangsaan dewasa ini. Reformasi yang dicita-citakan belum berhasil membentuk jati diri menjadi bangsa yang berkarakter. Wajah hukum bopeng di sana-sini, karena di dalam ruangannya dipenuhi dengan cara-cara dagang sapi. Hukum sudah tidak lagi memiliki nilai keadaban. Hancurnya keadaban hukum merupakan cermin gagalnya pemerintahan saat ini dalam menciptakan sistem pemerintahan yang benar-benar bebas dari korupsi. Pemberantasan korupsi sering kali hanya permainan kata-kata.

Punahnya Keadilan

Sudah begitu lama keadilan menjadi barang yang mudah dipermainkan oleh kekuasaan dan uang. Martabatnya jatuh ke titik paling rendah. Juga sudah begitu banyak orang tahu keadilan susah diwujudkan di negeri ini. Keadilan tidak untuk semua, melainkan untuk sebagian (yang bisa “membeli”-nya).

Keadilan milik penguasa dan si empunya uang. Kita bisa menyaksikannya melalui berbagai pengalaman keseharian kita hidup di bumi bangsa ini. Hukum dan keadilan bukan saja bagaikan saudara tiri yang jauh, melainkan sering seperti musuh. Mereka jarang bisa bertemu karena begitu seringnya kekuatan lain (kuasa, otot, dan uang) yang menceraikannya. Keadilan di negeri ini amat langka diperoleh karena keadilan tak pernah menjadi bagian dari cara berpikir, berperilaku, dan berelasi para penguasa dan penegak hukum kita. Perilaku mereka lebih mengutamakan kekuasaan dan popularitas. Rakyat beroleh pendidikan utama tentang keadilan di negeri ini: adalah sebuah bayang-bayang kamuflase.

Para penguasa dan penegak hukum kita tidak memiliki gugus insting yang melahirkan cakrawala kekuasaan yang mengedepankan rasa keadilan bagi semua. Hukum tak lagi bermartabat, karena mereka yang bermartabat hanyalah mereka yang berkekuasaan dan berkekayaan. Hukum sering kali hanya pajangan dan retorika pasal-pasal.

Di depan cengkeraman kekuasaan dan “orang kuat”, hukum tak lagi memiliki taring. Tumpul akibat banyak macam sebab. Hukum mandul karena kepandaiannya hanya menginjak ke bawah dan mengangkat yang atas. Hukum belah bambu telah mengiris-iris rasa keadilan di negeri ini. Itulah perilaku yang menghancurkan martabat hukum Indonesia, dan juga martabat kita sebagai bangsa. Tragedi ini bisa jadi akan makin mempertebal awan mendung dalam sistem hukum bangsa kita. Apa yang kita perdengarkan tentang Indonesia sebagai “negara hukum” seringkali hanya sebagai pemanis mulut. Apa yang diajarkan kepada anak cucu kita tentang “kedaulatan hukum” adalah deretan kepalsuan demi kepalsuan. Keadilan tidak manifes dalam kenyataan. Das sein yang manifes di bumi kita ini adalah kekuatan, otot, kekuasaan, uang. Mampukah kepolisian mendobrak semua tata kebangsaan yang makin buruk ini?

Polisi harus tetap berpegang teguh pada Pancasila dalam mengamalkan kehidupan sehari dan menjaga kerukunan beragama. Diharapkan, polisi memiliki Pathos mewakili sebuah tampilan emosi kepada audien, dan pencurahan perasaan yang ditampilkan di dalamnya. Pathos adalah sebuah teknik komunikasi yang sering banyak dipakai dalam retorika, dan dalam kesusastraan, film dan seni naratif lainnya.

Kita juga berharap, di bawah Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Polri mampu menjawabi tantangan zaman dengan menguasai ilmu pengetahuan yakni kemampuan untuk menguasai teknologi dan komunikasi dalam respon kejahatan yang menggunakan teknologi dalam pertarungan ideologi global serta kejahatan ekonomi. Citra polisi akan kembali bersinar lagi di masyarakat, dengan membuat penyelidikan yang tranparan terhadap kasus polisi tembak polisi dengan penegakkan hukum yang berasaskan keadilan, dan menyerahkan kuasa kepada tim penyelidikan independen mengungkat misteri di balik semua tragedi Kemanusiaan.(*)

Penulis, Antonius Benny Susetyo, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP.

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU