Oleh: Syarif Ali
Tidak ada hal yang mengejutkan setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengetok palu pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi UU, Selasa (3/10/2023).
RUU ini tak hendak menjauhkan pejabat politik sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK), padahal Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas mengaku dibuat pening karena kentalnya politik dalam pengelolaan kepegawaian di negeri ini.
Hasil kutak-katik UU Nomor 5/2014 menghasilkan tujuh hal baru: transformasi rekrutmen dan jabatan ASN, kemudahan mobilitas talenta nasional, kinerja ASN yang mencerminkan kinerja organisasi, penataan tenaga non-ASN atau honorer, percepatan digitalisasi manajemen ASN, dan penguatan budaya kerja dan citra institusi.
Walaupun pembenahan tidak semua dari hulu, misalnya program pembelajaran dan pengembangan ASN kita masih supplier driven, bukan berdasarkan analisis kebutuhan individu pegawai (Rohdewohld,1995). Hasil uji kompetensi yang dilakukan oleh Assessment Centre (AC) tidak digunakan sebagai bahan mendesain program. Padahal hasil uji kompetensi dari AC yang berbentu story telling menjadi umpan balik yang objektif untuk merancang bangun program pembelajaran ASN (Il-Hyun JO, 2010).
Tujuh butir RUU perubahan UU Manajemen ASN seakan memperkuat dugaan sejak puluhan tahun yang lalu, bahwa birokrasi kita masih berkutat dengan tiga masalah utama yakni: mismatch, distribusi ASN yang tidak merata, dan produktivitas rendah.
Kepemimpinan Pragramatis
Oke lah kalau begitu. Harapan kita tak pernah pupus kepada pejabat politik yang mendapat amanah menjadi pejabat pembina kepegawaian. Walaupun tidak memahami secara rinci simpul-simpul pengelolaan kepegawaian, namun keterampilan dalam memimpin dapat membantu mewujudkan efektivitas kepegawaian.
Kalau Presiden Joko Widodo memberikan pesan agar rakyat Indonesia memilih pemimpin yang memiliki nyali, Kompas.com (07/10/2023), maka Lee Kwan Yew mendeklarasikan dirinya sebagai pemimpin yang pragramatis, Quah (2018). Menurut Lee, sebagai sosok pragmatis, ia selalu siap sedia menyelesaiakan masalah dan memutuskan solusi terbaik untuk kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat.
“Saya tidak mengerjakan teori. Sebaliknya saya bertanya: apa yang harus dilakukan agar ini berhasil? Jika menghadapi kesulitan atau masalah besar, saya berupaya mendapatkan alternatif penyelesaian, jika solusi yang saya usulkan tidak bekerja. Saya memilih solusi yang menawarkan kemungkinan keberhasilan dengan derajat tinggi, namun jika gagal, saya akan selalu mempunyai beberapa cara lain. Tidak pernah menemui jalan buntu,” jelas Lee.
Kepempimpinan pragmatis menjadi rahasia pertama terciptanya efektivitas birokrasi Singapura. Negeri yang ditemukan Stamford Raffless (1819) yang dulu hanya berupa kampung nelayan selalu bertengger di posisi teratas sejak tahun 2018 katagori pemerintah yang efektif dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya (World Bank, 2023).
Orientasi Terobosan
Pejabat Pembina Kepegawaian dituntut untuk bernyali melakukan terobosan dalam menyelesaikan masalah kepegawaian. Kita mencatat terobosan Bupati Kediri, Hanindhito Himawan Pramana, memasukkan penanganan stunting sebagai salah satu indikator kinerja camat di wilayahnya, (30/8/2003). Dalam buku yang berjudul Ahok dan Hal-Hal Belum Terungkap (2018), Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama, mengaitkan tunjangan kinerja dengan capaian kinerja PNS DKI.
Singkatnya, menurut Jones (2006) pendekatan pragmatis yang digunakan Lee Kwan Yee lebih kepada kesediaan untuk mengenalkan kebijakan baru atau melakukan distorsi kebijakan yang sudah ada disesuikan dengan tuntutan keadaan. Selain kepemimpinan pragmatis, empat rahasia Singapura sehingga menjadi singa Asia yakni birokras yang efektiv, pengawasan yang efektiv terhadap korupsi, efektivitas sistem pendidikan dan kompensasi PNS yang baik, dan belajar dari keberhasilan dari negara lain.
Memasuki tahun politik 2024, pemerintah tampak tidak berdaya untuk mengubah lanskap kepegawaian, hal ini terlihat dalam RUU Perubahan Manajemen ASN dengan tetap menempatkan pejabat politik sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian. Selain itu, memasukkan penataan tenaga non ASN atau honorer dalam RUU adalah bentuk upaya pemerintah untuk ”mencari aman”. Bayangkan kalau honorer yang berjumlah 2,3 juta orang diberhentikan, selain akan terjadi masalah sosial, akan menjadi simalakama bagi partai pemerintah dalam peraihan suara di Pemilihan Presiden tahun 2024.
Kepemimpinan yang bernyali, visioner, demokratis, partisipatif atau tipe lain tampak lebih mentereng, namun kepemimpinan pragmatis Lee Kwan Yew tetap diteruskan oleh generasi sesudah Lee hingga kini dan tetap kokoh menegakkan Singapura terdepan dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lain.
Oleh karena itu penting bagi pimpinan kementerian dan non kementerian yang juga merangkap pembina kepegawaian memetik pelajaran dari Lee Kwan Yew.
Penulis, Syarif Ali, Dosen UPN ”Veteran” Jakarta.