SHNet, Jakarta – Dewan Energi Nasional meminta agar Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.26 tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum hasil revisi diperbaiki lagi agar tidak ada pihak-pihak yang diberatkan. Diusulkan, perbaikannya itu dilakukan dengan ada kapasitas listrik yang dibeli dengan maksimum sepertiga dari yang dikonsumsi dan ada harga yang ditetapkan.
Hal itu disampaikan Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Herman Darnel Ibrahim. “Jadi saran saya peraturan itu diuji, dipastikan bahwa itu memang akan menambah kapasitas dan produksi energi suryanya. Dan kalau hasil uji ini tidak membuat dia berkembang, lebih baik peraturan itu diperbaiki lagi,” ujarnya.
Dia mengusulkan perbaikan yang harus dilakukan adalah dengan ada yang dibeli dengan maksimum sepertiga daripada yang dikonsumsi. “Dan harganya ditetapkan berapa. Jadi, pakai harga,” katanya.
Apalagi saat ini pemerintah tengah dihadapkan pada dua pilihan terkait energi listrik, yaitu menargetkan emisi nol persen dengan mengembangkan energi terbarukan atau masih memikirkan energi listrik konvensional yang ada saat ini. Di satu sisi, sebagai win-win solutionnya sampai dilakukannya revisi terhadap Permen PLTS Atap yang salah satunya disebutkan untuk menargetkan pengurangan emisi karbon karena dianggap sebagai terbanyak untuk pengurangan emisi karbon. Tetapi, di sisi lain pengembangan PLTS Atap ini seperti diganjal atau dihambat.
“Kalau menurut saya, ngomongnya tidak dihambat, tetapi realitanya memang dirasakan oleh banyak pelaku PLTS Atap, baik itu oleh industri maupun pengembang yang akan melayani industri itu. Mereka merasa memang belum ada kemudahan,” ucapnya.
Dia mengatakan Indonesia memproyeksikan penambahan kapasitas listrik ke depan akan lebih dari 2.000 terawatt jam per tahun. Saat net zero emission pada 2060 mendatang maka renewablenya atau energi baru terbarukannya harus dimaksimalkan. Dan potensi yang terbesar itu ada di surya, sedangkan potensi yang konvensional seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan geothermal (PLTP) itu sudah dihitung-hitung cuma sekitar 400 – 500 terawatt per jam. Adapun biomassa juga hanya 200 terawatt perjam. “Jadi total sekitar 700 terawatt dari 2.100 terawatt yang dari PLTA, PLTP dan Biomassa. Alternatif untuk sisanya surya, angin, kemudian juga nuklir sama fosil. Kita nggak bisa tambah dari hydropower dan tenaga air dan geothermal karena sudah mentok kapasitasnya. Jadi, untuk net zero emission, memang yang terbesar dialokasikan adalah energi surya, karena potensinya juga yang terbesar,” uangkapnya.
Jadi memang, kata Herman, andalan untuk transisi energi dalam rangka net zero emission ke depan dari berbagai proyeksi (Bappenas, PLN, ESDM, gugus tugas) adalah dari energi surya, yaitu PLTS Atap. Jadi, lanjutnya, untuk menuju tenaga surya yang maksimal itu tentu diperlukan beberapa hal yang mendukung. Terutama kemudahan peraturan dan mendapatkan perizinan lahan, serta juga pabriknya harus di dalam negeri. “Itu sudah ditulis dalam draft kebijakan kita. Bahwa nanti kita punya ratusan selayaknya kita sudah punya pabrik panel surya yang mendekati 100% local contentnya,” tukasnya.
Dia berharap PLTS Atap ini bisa menjadi sumber perekonomian Indonesia ke depan. Di mana, Indonesia tidak membeli teknologi dari luar lagi, ada penyerapan tenaga kerja, dan tidak harus membiarkan devisa yang banyak karena impor. “Sayangnya, semua ini belum dirasakan sekarang karena adanya hambatan dari peraturan yang masih belum memihak untuk pengembangan PLTS Atap ini,” tuturnya.
Seperti diketahui, revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.26 tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum menyebutkan, pemakaian listrik dari PLTS) Atap hanya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri. Artinya, listrik yang dihasilkan oleh masyarakat dari PLTS Atap tidak bisa dijual kepada PT PLN (Persero).
“Meski ekspor listrik dari PLTS Atap itu tidak dibatasi, tapi itu tetap saja tidak menarik tidak dibayar. Ekspornya itu jadi hanya semacam sedekah energi. Ini kan nggak baik karena tentu daya tarik finansialnya tidak ada. Kelayakannya kan nggak terjadi,” katanya.
Sementara, lanjutnya, Indonesia mau membangun PLTS Atap ini secara besar-besaran ke depan. Tapi, itu menjadi tidak menarik karena ekspornya tidak dihitung. “Itu sangat ekstrim. Jadi mending balik lagi ke peraturan dulu yang 65 persen saja yang boleh diekspor tapi dibayar. Kalau revisinya malah mundur dari peraturan yang pernah ada sebelumnya,” ucapnya.
Jika masyarakat masih menganggap PLTS Atap ini kurang menarik, itu berarti sulit untuk bisa memperbanyaknya. Sebenarnya dampak semakin berkembangnya PLTS Atap ini sangat banyak. Pertama, bisa menggerakkan bisnis kecil-kecil penyedianya. Keduas, masyarakat tidak perlu investor besar. Ketiga, membuat kesadaran masyarakat untuk mengembangkan energi terbarukan.
Dia mengatakan supaya PLTS Atap ini menjadi menarik dan PLN juga tidak rugi, seharusnya ekspor 100% listriknya tetap diakui tapi maksimum ekspornya yang dibayar PLN itu hanya sepertiga dari kebutuhan saja. Jadi dua pertiganya masih mengimpor dari PLN. “Jadi, misalnya saya mengimpor siang hari satu bulan misalkan 500 watt. Nah, yang boleh diakui atau dibayar PLN itu hanya 500 watt kalau saya total impornya 1500 watt. Kalau saya impornya hanya 600 watt, ya yang diakui 200 watt saja. Sehingga, orang mengatur kapasitasnya itu nanti nggak berlebihan saat memasang. Jadi, kita nggak perlu ketentuan kapasitas, berapapun yang dipasang di rumahnya silahkan. Tapi dia hanya diakui mengekspor sepertiga dari konsumsinya,” ungkap Herman.
Menurutnya, kelebihan dengan cari seperti itu adalah PLN juga punya kredit karbon dari semua kapasitas listrik yang dibelinya dari PLTS Atap. “Jadi, PLN bisa menghitung berapa dia beli dan sudah ngurangi karbon sekian. Tapi, kalau PLN nggak beli, nggak bisa dia ambil kredit karbon itu. Kredit karbonnya akan jadi milik konsumen,” ujarnya. (carles)