PONTIANAK, SHNet – Dalam waktu yang bersamaan, institusi Polri dan Kejaksaan Agung merilis kinerja pengarusutamaan pendekatan Restorative Justice (RJ) dalam penanganan perkara pidana.
Polisi Republik Indonesia (Polri) merilis 11.811 kasus diselesaikan dengan pendekatan ini sepanjang tahun 2021.
Jaksa Agung merilis 53 kasus sepanjang Januari 2022 juga diselesaikan dengan pendekatan yang sama.
Langkah dua institusi penegak hukum ini merupakan salah satu ikhtiar untuk menangani problem akut overcapacity lembaga pemasyarakatan, akibat orientasi penegakan hukum yang memusat pada tujuan retributif, yakni keadilan dalam bentuk pembalasan yang berujung pada pemidanaan.
Ikhtiar serupa sempat didorong oleh berbagai kalangan untuk menyusun suatu regulasi setingkat Peraturan Presiden tentang Reorientasi Penyidikan Perkara Pidana di Kepolisian, tetapi hingga hari ini tidak tuntas.
Penerapan Restorative Justice tanpa ketentuan yang jelas dan penerapan yang akuntabel memang bisa jadi rentan dan menjadi instrumen transaksional.
Kekhawatiran ini juga yang diingatkan oleh Kapolri agar keadilan restoratif tidak menjadi ajang transkasional.
Pekerjaan selanjutnya dari Polri adalah bagaimana Polri akan mengontrol penerapan pendekatan ini, sehingga tidak menjadi ruang negosiasi pihak berperkara dan memastikan penerapannya selektif, berkeadilan dan akuntabel.
Sedangkan di Kejaksaan Agung, yang juga memiliki aturan tersendiri, restorative justice bisa dimaknai sebagai koreksi atas langkah kepolisian yang terlanjur melakukan proses penyidikan atas suatu perkara, padahal bisa diselesaikan dengan dengan pendekatan keadilan restoratif.
Sebagai pengendali kebijakan penuntutan, sesuai asas dominus litis, peran Kejaksaan sangat strategis untuk memastikan bahwa limpahan perkara dari kepolisian bukanlah sesuatu yang taken for granted.
Dengan demikian, penerapan RJ di tubuh Kejaksaan berkontribusi signifikan pada penguatan sistem peradilan pidana.
Untuk memperkuat penerapan keadilan restoratif ini, sejumlah regulasi perlu disusun, sambil menunggu pengaturan yang lebih kokoh sebagaimana telah direncanakan diadopsi dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Penerapan prinsip RJ, bukan melulu mengandalkan diskresi Kepala Polri atau Jaksa Agung, tetapi harus berpedoman pada ukuran-ukuran yang disepakati, sehingga potensi-potensi abusif atas pendekatan ini bisa dihindari.*
Jakarta, 26 Januari 2022
Dr Hendardi, Ketua Badan Pengurus SETARA Institut