Jakarta-Aksi polisionil yang dilakukan oleh Anggota Kepolisian Batam terhadap puluhan warga Pulau Rempang, semakin memanaskan situasi, karena di saat warga menghadapi tekanan pihak BP Batam untuk tinggalkan Pulau Rempang, Polisi justru hadir dan mencari-cari kesalahan warga untuk diintimidasi demi membela BP Batam dan Pengembang.
Demikian pernyataan Alfons Loemau dan Petrus Selestinus, Kuasa Hukum Gerisman Ahmad, Perwakilan Warga Pulau Rempang di Jakarta, Rabu (23/8/2023).
Menurut Petrus, saat ini warga Pulau Rempang merasakan nuansa penggiringan ke arah kriminalisasi dengan mencari-cari pasal pidana untuk tuduhan melanggar UU No.27 Tahun 2007, Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ini cara-cara represif agar warga kehilangan posisi tawar ketika mempertahankan hak-haknya atas tanah leluhur yang hendak digusur demi proyek Eco-City Rempang.
Secara historis, katanya, warga Pulau Rempang bukanlah warga yang baru kemarin sore menjadi penduduk Pulau Rempang, mereka adalah suku Melayu yang sudah ratusan tahun secara turun temurun bersama para perantauan asal Flores, NTT mendiami 16 Kampung, menguasai, memiliki lahan dan menggarap tanah Pulau Rempang dengan segala hak-hak tradisionalnya.
Historis Demografis
Secara historis demografis, jelas Petrus, Pulau Rempang dengan luas wilayah 17.000 Ha, dihuni oleh warga penduduk asli Melayu dan sebagian kecil perantauan asal Flores, NTT. Total jumlah mereka adalah sebanyak 7.512 jiwa, terbagi atas 16 kampung tua, di bawah Kelurahan Rempang Cate dan Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang, Kota Batam, dengan luas wilayah yang dikuasai seluas 1.500 Ha.
Dia menjelaskan, mayoritas warga Pulau Rempang, berprofesi sebagai Nelayan dan Petani, namun demikian mereka sangat mendukung BP. Batam membangun Eco-City Rempang, akan tetapi mereka menolak direlokasi begitu saja meninggalkan kampung halaman untuk pindah ke Pulau Galang, karena sejak awal tidak dilakukan konsultasi, sosialisasi dan musyawarah.
Sebagai warga suku asli yang sudah ratusan tahun menghuni Pulau Rempang, jelas Petrus, mereka memiliki struktur sosial dan kekerabatan dengan kohesi sosial sangat kuat dan toleran antara suku Melayu dan Flores, NTT, karena diikat oleh tradisi budaya dengan hak-hak tradisionalnya masing-masing tumbuh dan berkembang dan harus dihormati oleh siapapun juga.
Pelanggaran Konstitusi
Petrus mengingatkan, konstitusionalitas penghormatan terhadap hak-hak masyarakat Pulau Rempang dan tradisi budaya dengan hak tradisionalnya, sangat memadai karena dilindungi oleh pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yaitu negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih ada.
Menurutnya, alas hak atas tanah warga Pulau Rempang yang diperkuat oleh konstitusi itu diatur lebih lanjut oleh SK Menteri Agraria/Kepala BPN No. 9-VIII-1993, Tentang Pengelolaan dan Pengurusan Tanah, tanggal 03 Juni 1993, jo. Keputusan Presiden RI No. 55 Tahun 1993 dan terakhir dengan UU No. 2 Tahun 2012 dan PP No. 19 Tahun 2021, Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Namun dalam praktek, katanya, BP Batam tidak melaksanakan SK. Menteri Agraria/Kepala BPN dan perundang-undangan lainnya itu selama puluhan tahun. Padahal SK Menteri Agraria/Kepala BPN No. 9 – VIII – 1993, tanggal 03 Juni 1993 itu, menggariskan perlindungan terhadap hak-hak warga Pulau Rempang, antara lain menyatakan :
“Apabila di atas areal tanah yang akan diberikan dengan Hak Pengelolaan tersebut masih terdapat, bangunan dan tanaman milik rakyat, pembayaran ganti ruginya wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh Penerima Hak, demikian pula pemindahan penduduk ke tempat pemukiman baru, atas dasar musyawarah”.
BP Batam Bohongi Presiden
Kesalahan terbesar BP Batam, tutur Petrus, mengabaikan prosedure Pengadaan Tanah, hanya mengejar target pembangunan proyek Eco-City Rempang, hingga dalam beberapa saat lagi akan dilakukan “groundbreaking”, sementara hal-hal mendasar, terutama penghormatan terhadap hak-hak atas tanah justru diabaikan dan tidak menjadi prioritas.
Menurutnya, laporan warga sebagaimana disampaikan oleh Gerisman Ahmad, tokoh masyarakat Pulau Rempang, bahwa pihaknya merasa diintimidasi dan dipersekusi oleh aparat Polri, karena warga menolak penggusuran Pulau Rempang, nampak jelas telah terjadi tindakan sewenang-wenang oleh BP. Batam dengan memperalat Polri.
Petrus menjelaskan, BP Batam telah melakukan tindakan yang sangat memalukan bahkan diduga kuat telah berbohong dan mengecoh pejabat tinggi negara mulai para Menteri terkait, Pengembang hingga Presiden Jokowi, seakan-akan persoalan Pulau Rempang hanya soal jadwal “groundbreaking”.
“Praktek demikian harus dihentikan, ini bagian dari tipu muslihat oknum pimpinan BP. Batam terhadap pemerintah pusat Jakarta, karena ternyata persoalan hak-hak atas tanah warga Pulau Rempang dan kepentingan pembangunan Eco-City tidak pernah disosialisasikan, dikonsultasikan apalagi dimusyawarahkan. Ini jelas melanggar mekanisme PP No.19 Tahun 2021, Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan,” tegas Petrus.
Dengan melihat situasi yang semakin memanas antara warga Pulau Rempang dengan BP. Batam, maka jalan terbaik adalah :
Pertama, hentikan segala kegiatan BP Batam di Pulau Rempang dan proses peralihan hak dari BP. Batam kepada Pemgembang.
Kedua, hentikan seluruh aksi polisionil berupa intimidasi dan krininalisasi dari pihak Polri kepada warga Pulau Rempang yang mempertahankan hak-haknya.
ketiga, segera bentuk Tim Mediator yang terdiri dari unsur Pemerintah Pusat, Warga Pulau Rempang, BP. Batam dan Pengembang untuk memediasi kepentingan warga Pulau Rempang dan BP. Batam agar segera dilakukan musyawarah.
“Sikap Warga Pulau Rempang adalah mendukung pembangunan Eco-City Rempang tetapi juga Pemerintah dan Pengembang harus hormati hak-hak atas tanah milik warga Pulau Rempang dan hak-hak tradisionalnya,” kata Petrus.(sp)