SHNet, Jakarta – Perawakannya kurus. Tutur katanya sangat halus dan sopan kepada siapapun yang ditemuinya. Tak peduli apakah mereka orang miskin atau kaya, atasan atau bawahan, semuanya diperlakukan dengan sopan. Tetapi juga tegas. Orang-orang menyebutnya pria sederhana (humble). Dia adalah Eko Prasetyanto Purnomo Putro, Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa (Dirjen Bina Pemdes) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Eko mendapatkan kepercayaan untuk menjadi Dirjen Bina Pemdes sejak November 2022, menggantikan Yusharto Huntoyungo. Sebelum menjadi Dirjen Bina Pemdes, Eko pernah menjabat sebagai Kepala Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri (BSKDN), Plh Kepala Badan Litbang, Kenendagri dan Staf Ahli Menteri Dalam Negeri.
Eko lahir di Bantul, Yogyakarta, pada 4 Juni 1968, dari pasangan Sutardjo Purnomo, seorang Kepala Sekolah di sebuah SMP di Bantul, Yogyakarta dan Retnaningdyah Ninik Prasetyanti. Namanya berarti : Anak laki-laki yang diharapkan setia dan menjadi suluh bagi keluarga.
Hidup dan tumbuh di pedesaan membuat Eko sangat menyukai desa, walaupun ketika SD hingga di Perguruan Tinggi dititipkan di rumah Pakdenya, KRT Hutomo Prawironegoro, di Kota Yogya, namun Eko bisa dibilang sepanjang hidupnya berurusan dengan desa. Hal ini di karenakan setiap Sabtu dijemput Ayahnya, Sutardjo untuk kembali ke Desa Bajang, Wijirejo, Pandak, Bantul, dimana ia dilahirkan.
Bahkan karena sering diajak di berbagai kegiatan di Desa oleh Ayahnya, menghantarkan Eko sebagai salah satu Ketua Pemuda dan Karang Taruna di Desanya.
Ketertarikan untuk mempelajari dan mendalami tentang Desa mengantarkan juga Eko masuk ke jurusan Geografi, Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1987. “Saya tertarik tentang desa, makanya saya fokus pada pedesaan terutama tata guna lahan, geografi, dan budaya desa. Itu saya pahami betul,” ujarnya. Ke depannya, saat melanjutkan studi program S2 dan S3, Eko juga memperdalam topik-topik Desa.
Usai lulus S1, Eko mengawali karirnya langsung menjadi seorang Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kemendagri pada 1996.
Karirnya ia titi dari bawah, dari staf biasa, kasi, kasubdit, dan kemudian direktur. Semuanya di PMD (kurang lebih 25 Tahun sebelum promosi menjadi Sahmen). Selama di Bina Pemdes (PMD ketika itu), ia pernah menduduki jabatan tiga direktur (Direktur Pemdes dan Kelurahan, Direktur Evaluasi Perkembangan Desa serta Direktur Kelembagaan dan Kerjasama Desa).
Pada 2005, saat Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membahas Undang Undang (UU) tentang Pemerintahan Desa, Eko dan beberapa rekannya mendapatkan kepercayaan untuk menyiapkan naskah akademik.
Pembahasan UU Pemerintahan Desa ini sebagai tindak lanjut dari pemecahan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) menjadi tiga UU, yakni UU Pemda, UU Pemilu, dan UU Pemdes.
“Setelah pembahasan macam-macam, kita siapkan naskah akademik. Draf UU itu kita bahas dengan berbagai pihak dan kemudian pada 2006 menjadi keputusan,” kata Eko.
Naskah akademis terkait latar belakang UU, baik secara filosofi, hukum, dan tata negara. Secara tata negara, sejak zaman Belanda, desa merupakan fundamen hukum. Ini artinya, desa merupakan fundamen bangsa Indonesia. “Jika desanya marginal maka di atas-atasnya juga tidak bisa maju,” ujarnya.
Selain itu, kata Eko, dua bapak proklamator RI, Soekarno dan Muhammad Hatta sama-sama memberikan perhatian khusus pada desa. Soekarno sekaligus Presiden pertama RI menganalogikan anak-anak desa sebagai anak-anak Indonesia. “Kalau melihat anak desa maka melihat Indonesia. Kalau anak-anak desa ini maju maka akan menjadi sebuah harapan buat Indonesia,” katanya.
Wakil Presiden pertama RI Bung Hatta juga menyebutkan, satu obor di Jakarta tidaklah cukup. Tapi banyak lilin di desa akan membuat terang Indonesia. “Ini direnungkan dalam draf akademik. Kita bahas dengan berbagai pihak di antaranya dengan Prof Selo Soemarjan dan Prof Talidzi Nduhu Ndraha. Mereka yang memotivasi,” ungkapnya.
Dari sejarah yang dipelajari, Eko mempercayai bahwa keberadaan desa adalah asli punya bangsa Indonesia, bukan peninggalan colonial. Ini dikuatkan dengan peninggalan berbagai prasasti yang menyebut tentang keberadaan desa.
Sejak zaman Majapahit (bahkan sebelum itu) sudah ada desa. Majapahit sudah ada lebih dulu sebelum Belanda datang, ia memaparkan.
Membangun berdasarkan data
Setelah 8 tahun pembahasan atau tepatnya pada 2014, dipimpin Ketua Panitia Khusus (Pansus) Ahmad Muqowam, RUU itu akhirnya disyahkan menjadi UU. Namun, UU tersebut bukan lagi bernama UU Pemerintahan Desa, melainkan UU tentang Desa.
Dalam UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa ini, desa diatur secara komprehensif, bukan hanya pemerintahannya saja namun juga gak dan kewajiban Desa, Kewenangan Desa, pembangunan Desa, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat.
Eko menuturkan, lamanya pembahasan itu karena adanya perbedaan pendapat dan sikap dari sejumlah pihak. Misalnya saja, dalam persoalan anggaran. Kemendagri menginginkan adanya anggaran untuk desa, tetapi stakeholder lain tidak sependapat.
Namun pada akhirnya semua pihak setuju memberikan anggaran untuk desa. Sebelum ada UU Desa memang ada anggaran ke desa, yaitu ADD (Alokasi Dana Desa) tetapi itu kecil, katanya.
Saat ini, sebagai seorang Dirjen Bina Pemdes, Eko mewakili Kemendagri untuk merumuskan, menyusun, melaksanakan, bimbingan teknis, dan melakukan Evaluasi serta monitoring. Ini semua dilakukan semata-mata supaya desa bisa maju, sejahtera dan mandiri, sehingga Indonesia pun bisa maju, sejahtera, dan mandiri.
Saat ditanya apa capaian setelah 9 tahun pelaksanaan UU Desa dan apa yang masih menjadi pekerjaan rumah (PR)? Eko menjawab secara dialektis dan historis. Menurut Eko, saat UU Desa disahkan, desa-desa di Indonesia berkembang dengan perbedaan karakter, budaya, maupun geografisnya. Ada desa yang kaya dan miskin. Ada desa yang mampu mengelola dana hingga Rp 2 miliar setahun, tapi ada juga yang hanya mengelola dana Rp 50 juta setahun.
“Bahkan, sebelum ada UU Desa, Ada Desa yang kesulitan bahkan tidak ada calon yang mau maju di Pilkades, sehingga ada kades “samben” , pekerjaan utamanya di sawah dan ladang,” ujarnya.
Eko menyebutkan, dengan pengelolaan dan pengambilan keputusan berdasarkan data, desa diharapkan tidak ditinggalkan masyarakatnya. Desa bisa menjadi perisai NKRI baik dari semua sisi. Oleh karena itu, diperlukan sinergi dari berbagai pihak untuk terus bersama-sama meningkatkan kapasitas SDM dan pembangunan di desa.
Lantas bagaimana dengan fenomena korupsi yang muncul di pedesaan? Eko menjawab, pemberian dana desa baru delapan tahun, sehingga masih perlu perbaikan. “Jumlah kasus korupsi di desa sebanyak 690. Jumlah desa kita lebih dari 75 ribu. Walau begitu yang kita ingat idealnya tidak ada korupsi. Ini perlu kerjasama dengan semua pihak,” katanya.
Ia menambahkan, untuk bisa produktif, desa-desa ini ke depan harus membuat perencanaan pembangunan berdasarkan data. Bukan lagi berdasarkan insting!
Desaku maju, Bangsaku Maju…..