SHNet, Jakarta – Sejumlah ulama dan perwakilan pesantren dari Jawa dan Madura mengadakan diskusi di forum Bahtsul Masa’il di Pondok Buntet Pesantren, Cirebon. Diskusi dilakukan guna memberikan panduan syariat bagi umat Muslim terkait gerakan boikot.
Dalam forum itu, para ulama melakukan pembahasan mendalam berlandaskan fikih yang hasilnya diharapkan dapat memberikan kejelasan atas polemik yang berkembang di masyarakat. Diskusi diadakan sekaligus memperingati hari santri nasional yang jatuh pada Selasa (22/10/2024) lalu.
Ketua Bahtsul Masa’il Se-Jawa Madura, Abbas Fahim, menyatakan bahwa dalam hukum Islam, aksi boikot diperbolehkan sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan. Namun, dia menekankan bahwa harus ada legitimasi syariat yang kuat untuk menjalankannya.
“Para ulama menyepakati bahwa boikot diperbolehkan jika memenuhi dua syarat: pertama, harus ada bukti keterkaitan produk dengan pihak yang melakukan kezaliman; kedua, boikot tidak boleh menyebabkan dampak negatif besar seperti PHK massal tanpa solusi,” jelas Abbas.
Sejalan dengan forum Bahtsul Masa’il, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa nomor 14/Ijtima’ Ulama/VIII/2024 tentang Prioritas Penggunaan Produk dalam Negeri. Fatwa ini diharapkan dapat membangkitkan ekonomi nasional, sekaligus menghentikan produk-produk yang terafiliasi maupun diimpor langsung dari Israel.
Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS) dilakukan dengan menyasar produk-produk yang diduga terafiliasi dengan Israel. Hal ini bertujuan agar melemahkan ekonomi negara zionis sehingga menghentikan agresi militer ke Palestina.
Meski demikian, bukan berarti pelaksanaan BDS berjalan lurus. Dosen FEBI IIQ An Nur Yogyakarta, Edo Segara Gustanto mengungkapkan bahwa dalam perjalanannya, gerakan tersebut justru dimanfaatkan oknum tertentu.
Oknum tersebut menunggangi gerakan positif ini demi kepentingan pribadi guna memenangi persaingan usaha. Erdo menjelaskan, penunggangan bisa saja dilakukan menggunakan lembaga-lembaga tertentu untuk memunculkan informasi-informasi yang kurang tepat atau tidak sesuai fakta.
“Menarik untuk ditelisik, apakah fatwa ini memang dorongan murni agar produk-produk lokal bisa tumbuh, atau ada ‘dorongan’ lain?” kata Edo.
Di luar dorongan untuk mendukung produk lokal, ada spekulasi di masyarakat mengenai kemungkinan adanya pesan lain di balik fatwa tersebut. Edo mengungkapkan kalau beberapa pihak menilai bahwa seruan boikot tersebut mungkin juga mengandung ‘pesan’ terselubung terkait dengan sikap politik atau respons terhadap isu-isu tertentu.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Budi Agus Riswandi meminta aksi boikot terhadap produk-produk Israel yang dilegitimasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak dimanfaatkan pihak tertentu untuk tujuan persaingan bisnis.
“Tujuan boikot ke persaingan bisnis itu ada. Karenanya, harus diluruskan ke publik bahwa tindakan boikot yang selama ini dilegitimasi oleh MUI itu bukan dalam konteks persaingan bisnis tapi komitmen terhadap kemanusiaan,” kata Budi.
Dia menduga ada pihak-pihak tertentu yang sengaja mengambil keuntungan dengan memanfaatkan aksi kemanusiaan ini untuk tujuan persaingan usaha. Dia menyebutkan, misalnya Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI) yang mengeluarkan nama-nama produk diduga terafiliasi Israel.
Padahal dalam fatwa MUI sama sekali tidak pernah mengidentifikasi terkait nama-nama produk yang terafiliasi dengan Israel. Budi mengatakan, MUI maupun pemerintah hingga kini tidak gegabah menyebutkan nama-nama produk itu karena dikhawatirkan aksi itu akan dimanfaatkan untuk kepentingan pihak tertentu.
Menurutnya, YKMI perlu memberikan informasi yang benar kepada masyarakat ketika mengeluarkan nama-nama produk yang diduga terafiliasi Israel itu. Dia berharap, informasi yang disebarkan YKMI tidak cenderung memprovokasi agar tujuan boikot bergeser dari memperjuangkan kemanusiaan menjadi isu persaingan bisnis.
“Tidak hanya list tetapi dalam konteks apa mereka menerbitkan produk-produk yang harus diboikot itu. Misalnya memang terbukti secara sah dan meyakinkan, valid, akurat, bahwa produk A itu punya afiliasi dengan Israel dan menyokong tindakan-tindakan Israel,” katanya.
Hal serupa juga dikhawatirkan Akademisi Universitas Islam Indonesia (UII) Yusdani yang menilai bahwa BDS rawan ditunggangi oknum untuk mencari keuntungan pribadi. Menurutnya, gerakan BDS lebih berdampak ke dalam negeri dibanding ke Israel.
Yusdani melanjutkan, boikot lebih berdampak ke dalam negeri karena mengganggu arus ekonomi nasional. Direktur Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM) UII Yogyakarta ini mengatakan, pekerja perusahaan yang disebut-sebut terafiliasi oleh Israel berpotensi terkenal efisiensi akibat dampak dari boikot dimaksud.
“Dalam perspektif islam yang saya pahami, ketika kita melakukan boikot itu betul betul dipertimbangkan segala dampak segala sesuatunya terutama barangkali aspek keadilan sosial,” katanya,
Ketua Dewan Pakar Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM) Yogyakarta, M. Muslich KS mengimbau masyarakat berhati-hati dalam merespons seruan boikot. Karena tindakan tersebut berpotensi menjadi bumerang apabila tidak dilakukan dengan cermat dan terukur.
Dia memperingatkan bahwa boikot yang tidak tepat dapat menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang justru merugikan masyarakat sendiri.
“Dalam konteks isu boikot, kita harus menghindari jatuhnya korban. Strategi boikot perlu dirancang dengan matang agar tidak menjadi bumerang,” kata Muslich.
Salah satu langkah yang disarankan adalah mendorong kebijakan di tingkat pemerintah untuk memutus hubungan government-to-government (G2G) dengan Israel. Meskipun Indonesia dan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik formal, kontak perdagangan, pariwisata, dan keamanan antara kedua negara tetap berjalan.
Muslich menegaskan bahwa dengan memutuskan hubungan G2G, dampak ekonomi terhadap Israel akan lebih terasa. Dia melanjutkan, pada gilirannya dapat menekan agresi militer negara tersebut terhadap Palestina.
Menurutnya, situasi ekonomi Indonesia sudah cukup rapuh tanpa adanya aksi boikot. Dia mencatat, Indonesia tengah mengalami tekanan ekonomi yang terlihat dari deflasi selama empat bulan berturut-turut, menandakan daya beli masyarakat yang melemah.
“Strategi boikot harus dijalankan dengan cara yang efektif, tanpa menyebabkan dampak negatif yang besar bagi kita sendiri,” katanya. (Red)