SHNet, Jakarta— Kontaminasi senyawa kimia Bisfenol A (BPA) pada kesehatan masyarakat adalah hal yang nyata, maka sudah sewajarnya pemerintah membuat regulasi pelabelan risiko BPA pada kemasan galon air minum dari plastik keras polikarbonat. Tidak boleh ada kesan pemerintah melakukan pembiaran, kata seorang pakar berpengaruh dari Universitas Indonesia.
Berbicara dalam sebuah talkshow di Metro TV, pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, menegaskan bahwa BPA menghadirkan risiko yang ‘luar biasa’ bagi kesehatan manusia.
“Bahkan sebelum jadi manusia sudah berisiko, saat dalam kandungan, BPA berpotensi mengganggu pertumbuhan janin sehingga dalam perkembangannya akan menimbulkan banyak masalah kesehatan, termasuk autisme, Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD),” katanya.
Pandu mengatakan, paparan BPA dalam jangka panjang dapat memicu banyak gangguan dalam sistem tubuh, termasuk gangguan organ reproduksi, penyakit terkait endokrin, gangguan syaraf dan kanker.
Menurutnya, negara bertanggung jawab dan harus segera mengeluarkan regulasi untuk membatasi penggunaan senyawa BPA.
“Kalau tidak (dilakukan), itu membahayakan kesehatan kita. Atau (kalau) kita tunda saja, itu artinya membiarkan masalah ini menjadi akumulatif, sehingga seakan-akan terjadi pembiaran, bahwa kesehatan adalah urusan Anda dan negara seolah-olah tidak ikut campur,” kata Pandu Riono.
“Dengan adanya label yang memberikan informasi dan mengedukasi masyarakat… (Pemerintah) mengajak industri supaya bertanggung jawab terhadap kesehatan bangsa ini,“ katanya.
Pandu mengatakan, regulasi untuk mengatur penggunaan senyawa BPA pada galon isi ulang
akan menggerakkan pelaku usaha agar lebih aktif berinovasi. Dengan demikian, kata Pandu, ada kompetisi untuk menghasilkan produk yang aman dan bermutu, sehingga masyarakat diuntungkan.
“Industri itu mempunyai tanggungjawab yang jauh lebih besar. Bukan hanya profit, tapi juga mengedukasi masyarakat, dan setiap produknya dijamin keamanannya,” katanya. “
Ditambahkannya, regulasi pelabelan galon BPA itu adalah upaya supaya industri lebih transparan.
Artinya, kata Pandu, masyarakat diajak memahami risiko yang bisa terjadi. Di sisi lain, industri didorong untuk mengedukasi masyarakat, sehingga masyarakat paham bahwa produk galon BPA itu potensi berbahaya atau tidak.
“Dengan demikian, tanggungjawabnya adalah tanggung jawab bersama,” kata Pandu. “Kita memikirkan secara bersama-sama. Kalau kesehatan terjaga, ekonomi akan kembali bangkit. Itu yang paling penting.”
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Standarisasi Pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Aisyah, juga mengungkap hasil pemeriksaan kandungan senyawa kimia BPA pada galon polikarbonat di sejumlah kota.
“Datanya memang cenderung mengkhawatirkan, migrasi BPA ada di kisaran 0,06 ppm sampai 0,6 ppm dan bahkan ada yang di atas 0,6 ppm,” katanya.
BPA adalah salah satu bahan baku pembentuk polikarbonat, jenis plastik keras yang di Indonesia jamak dikenal sebagai kemasan galon air minum bermerek. Riset di berbagai negara menunjukkan BPA pada plastik polikarbonat rawan luruh dan berisiko pada kesehatan, termasuk bisa memicu kemandulan dan kanker bila terminum melebihi ambang batas.
Sebelumnya, BPOM mengungkap temuan kandungan BPA dalam galon air minum dalam kemasan polikarbonat di enam daerah yang melebihi ambang batas aman, yakni 0,6 bagian per sejuta (ppm) per liter, pada periode 2021-2022.
Daerah itu adalah Medan, Bandung, Jakarta, Manado, Banda Aceh, dan Aceh Tengah. Di Medan, bahkan ditemukan kandungan BPA dalam air di galon BPA sudah melebihi ambang batas aman, yakni sampai mencapai angka 0,9 ppm per liter.
Dilansir Kompas pada September 2022, Kepala Balai Besar BPOM Medan, Martin Suhendri, menggambarkan hasil uji migrasi (peluruhan) BPA yang melebihi ambang batas aman tersebut ditemukan pada galon BPA yang beredar di pasaran. Dia mensinyalir pendistribusian galon air minum yang serampangan, termasuk galon kerap dibiarkan terjemur matahari atau dibanting-banting, sebagai pemicu lonjakan level migrasi senyawa BPA ke dalam air di dalam wadah kemasan.
“Saat masih di pabrik, kandungan BPA pada galon nol (zero), tetapi di lapangan meningkat karena penanganan yang kurang baik,” kata Martin.
Menurut Aisyah, pemerintah berencana memperketat ambang batas aman migrasi serta toleransi asupan BPA yang bersumber dari air minum galon isi ulang, sumber air minum rutin bagi sedikitnya 85 juta warga Indonesia. Aisyah menyebut langkah itu sejalan dengan trend global pengetatan pengawasan BPA. Di Uni Eropa, katanya, otoritas keamanan pangan menetapkan ambang batas migrasi BPA sebesar 0,06 ppm dari 0,6 ppm pada 2011. Secara khusus, otoritas keamanan pangan Eropa, EFSA, merevisi total batas asupan harian (Total Daily Intake) BPA menjadi 20.000 kali lebih rendah, atau menjadi 0,2 nanogram/kilogram berat badan pada April 2023.
Nah, sambil menunggu keputusan final pemerintah atas rancangan regulasi pelabelan galon BPA, Aisyah menyarankan masyarakat lebih berhati-hati sebelum mengkonsumsi galon air minum bermerek dalam kemasan plastik keras polikarbonat.
“Pastikan galonnya masih bersih, baru, kondisinya masih baik, tidak tergores, tidak kusam, tidak buram,” katanya, merujuk pada potensi risiko BPA pada galon isi ulang.
Lebih jauh, Aisyah mengungkapkan, rencana regulasi pelabelan risiko BPA pada galon isi ulang merupakan wujud kehadiran serta tanggung jawab negara demi melindungi kesehatan masyarakat.
“Rencana regulasi tersebut menunjukkan negara hadir dalam melindungi kesehatan masyarakat, ” katanya, seraya menyebut pelabelan galon BPA juga berfungsi untuk mengantisipasi munculnya gugatan hukum pada pemerintah dan pelaku usaha di masa datang. (Stevani Elisabeth)