SHNet, Jakarta, Perkumpulan Penulis Indonesia, Alinea menggelar diskusi sastra bertajuk “Dari Lontar ke Global” pada Minggu malam, 15 September 2024 lalu. Acara yang digelar atas kerja sama dengan Baca Di Tebet ini menghadirkan Kadek Sonia Piscayanti, seorang penulis, akademisi, seniman seni pertunjukan di Komunitas Mahima, sekaligus penggagas Singaraja Literary Festival. Dan jalannya diskusi dimoderatori oleh Debra H. Yatim dari Alinea.
Bincang-bincang tersebut menjadi sebuah upaya menjelajahi sastra Bali dari akar tradisi hingga ke panggung dunia. Sebab di Pulau Dewata, ada semacam harta karun yang tak banyak dimiliki daerah lain di Indonesia. Yakni, selain lanskap alamnya yang indah, Bali juga menyimpan pengetahuan masa lampau yang tertuang dalam berbagai macam lontar.
“Kami akan terus mendukung kegiatan-kegiatan Alinea selama itu masih berkaitan dengan literasi, sebab di sini kami tidak hanya merawat buku, tapi juga pengetahuan, serta gagasan bersama. Dan itu yang kami lakukan, sebisa kami,” ujar Wien Muldian, founder Baca Di Tebet, saat memberi sambutan.
Di Kabupaten Buleleng sendiri terdapat salah satu perpustakaan lontar terbesar di Bali, bahkan Indonesia, yang bernama Gedong Kirtya yang memiliki ribuan koleksi manuskrip daun lontar, prasasti, manuskrip kertas dalam aksara Bali dan Latin, termasuk dokumen-dokumen dari zaman kolonial (1901-1953) yang tersimpan rapi dan terawat dengan baik. Dan lontar-lontar itulah yang menjadi napas Singaraja Literary Festival (SLF), sebuah festival yang digagas Kadek Sonia Piscayanti dan Made Adnyana Ole.
Singaraja Literary Festival 2024 berkomitmen untuk mendokumentasikan secara serius potensi lontar, sastra, dan intelektualitas Singaraja dari masa lalu, masa kini, hingga masa depan. Warisan budaya ini dibahas, didiskusikan, dan diupayakan untuk diadaptasi ke dalam berbagai media baru seperti pertunjukan sastra, teater, film, musik, dan musikalisasi puisi.
SLF tidak sekadar menjadi ajang perayaan atau pertunjukan. Perhelatan ini telah menjadi katalisator penyampaian identitas kebudayaan, tempat perayaan memori kolektif, tempat pengembangan talenta dan ekspresi kreatif, tempat lahirnya pegiat budaya, dan tempat berkolaborasi serta berinovasi.
Jembatan Penghubung
Singaraja Literary Festival sengaja diselenggarakan bukan sekadar sebagai perayaan dan atraksi kebudayaan. Festival ini juga menjadi jembatan penghubung antara pengetahuan masa lalu dan masa kini. Pula wadah yang mempertemukan akademisi, seniman, budayawan, peneliti, pelajar, dan masyarakat pada umumnya.
“Kami ingin menghidupkan intelektualisme Kota Singaraja yang berakar dari Gedong Kirtya. Singaraja merupakan kota yang banyak melahirkan atau memproduksi intelektual yang banyak pula menyumbang ide-gagasan yang luar biasa,” kata Kadek Sonia Piscayanti.
Tahun ini, sebagaimana dikatakan Sonia, SLF memacak tema “Dharma Pemaculan: Energi Ibu Bumi”. Dharma Pemaculan merupakan salah satu lontar yang tersimpan di Gedong Kirtya. Lontar ini secara keseluruhan berbicara tentang seluk beluk pertanian. Namun, sejatinya, Dharma Pemaculan berbicara tentang relasi manusia dengan semesta, alam, dan sesama manusia.
Diskusi yang interaktif itu juga dihadiri Kurnia Effendy, Ita Siregar, Danny I Yatim, dan Indah Sulwesi. Mereka saling tukar pengetahuan, pertanyaan, dan sikap masing-masing terhadap wacana lokal dan global—dan itu membuat diskusi menjadi seru dan produktif. (sur)