8 December 2023
HomeBeritaPSHK UII Sampaikan Catatan Terkait UU Perubahan Kedua P3

PSHK UII Sampaikan Catatan Terkait UU Perubahan Kedua P3

Jakarta-Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (UU Perubahan Kedua P3) telah disahkan oleh Presiden dan diundangkan
dalam lembaran negara pada 16 Juni 2022. Berkenaan dengan hal tersebut, Pusat
Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, memberikan beberapa catatan.

Peneliti PSHK, Retno Widiastuti, menyampaikan beberapa catatan itu adalah:
1. Bahwa secara formiil, pembentukan UU Perubahan Kedua P3 belum memenuhi
prinsip meaningful participation secara penuh, karena pembentukannya yang
minim ruang partisipasi, selain itu narasumber dalam konsultasi publik masih
minim yang memiliki keahlian di bidang pembentukan peraturan perundang-
undangan.
2. Bahwa subtansi UU Perubahan Kedua P3 sebagaian besar hanya terfokus pada
akomodasi metode omnibus (Pasal 42A, Pasal 64, dan Pasal 97A), sehingga UU
Perubahan Kedua P3 hanya dibentuk untuk melegitimasi Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) yg dibentuk
secara omnibus.
3. Bahwa UU Perubahan Kedua P3 mengatur sangat parsial dan pragmatis karena tidak mengidentifikasi secara menyeluruh permasalahan berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang nyata dibutuhkan dan secara aspiratif disampaikan oleh masyarakat dan akademisi kepada pembentuk UU,
seperti di antaranya permasalahan:
a. penataan hierarki peraturan perundang-undangan;
b. penataan peraturan delegasi;
c. penataan peraturan lembaga negara independen dan peraturan komisi;
d. penataan kelembagaan;
e. pengaturan persetujuan presiden dalam pembentukan Peraturan Menteri;
f. penyempurnaan pengaturan carry over;
g. penyempurnaan pengaturan pemantauan UU oleh DPR;
h. pengaturan metode evaluasi peraturan perundang-udangan;
i. pengaturan metode pembentukan undang-undang secara cepat (fast track
legislation) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan; dan
j. penataan undang-undang tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi.
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesampingan
banyaknya permasalahan dalam pembentukan peraturan perundangan-
undangan dan hanya mengedepankan kepentingan jangka pendek
yakni akomodasi metode omnibus.

4. Bahwa secara subtansi dalam UU Perubahan Kedua P3, Pasal 64 ayat (1)
mengatur bahwa metode omnibus dimungkinkan untuk mengatur banyak hal
yang tidak satu rumpun bidang hukum sehingga terjadi disharmonisasi karena
basis landasan filosofis, sosiologis,dan yuridis yang berbeda pula. Contohnya
dalam UU CK yang di satu sisi dibentuk dengan politik hukum “mempermudah
perizinan dan investasi” tetapi di sisi lain UU Lingkungan Hidup dan UU Kehutanan
membutuhkan mekanisme perizinan yang kuat. Sehingga perlu penegasan bahwa
metode omnibus seharusnya digunakan hanya dalam satu rumpun bidang hukum.
5. Bahwa subtansi dalam UU Perubahan Kedua P3, Pasal 72 dan Pasal 73 mengatur
mengenai mekanisme perbaikan kesalahan teknis setelah tahap persetujuan RUU. Dalam penjelasan Pasal 72 ayat (1a) menyebutkan bahwa kesalahan teknis penulisan antara lain adalah huruf yang tidak lengkap, rujukan pasal atau ayat yang tidak tepat, salah ketik, dan/atau judul atau nomor urut bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, atau butir yang tidak sesuai, yang bersifat tidak substansial.

“Mekanisme ini memang lazim digunakan sebagai mekanisme clerical error tetapi rentan terhadap penyelundupan hukum, sehingga implementasinya perlu pengawasan yang ketat,” kata Retno.

Terhadap beberapa catatan tersebut, PSHK FH UII merekomendasikan beberapa hal.
Pertama, kepada Presiden dan DPR agar dalam setiap melakukan pembentukan
Undang-Undang khususnya dalam UU Perubahan Kedua P3 ini harus memenuhi
prinsip meaningful participation yakni konsultasi publik secara partisipatif dan
memperhatikan hak masyarakat untuk: didengarkan pendapatnya (right to be
heard); dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan mendapatkan
penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Kedua, kepada Presiden dan DPR agar melakukan kajian terhadap permasalahan
dalam peraturan perundang-undangan jangka panjang dan holistik secara
komprehensif yang diatur dalam UU Perubahan Kedua P3 dengan tidak hanya secara parsial melegitimasi sebatas metode omnibus akan tetapi harus lebih komprehensif dengan mensolusi permasalahan dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan secara menyeluruh. (cls)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU