SHNet, Jakarta– Sekolah Politik dan Komunikasi Indonesia berkolaborasi dengan Kementerian Komunikasi dan Digital terus memaksimalkan perannya dalam meningkatkan literasi digital generasi muda, terutama dalam penggunaan media sosial.
Salah satunya melalui webinar dengan tema “Menangkal Ujaran Kebencian dan Diskriminasi di Media Sosial”, yang diselenggarakan secara online di Jakarta, Senin (4/11).
Webinar yang diikuti masyarakat umum dan mahasiswa tersebut menampilkan
pembicara dari praktisi dan pemerhati yang sehari-harinya bergelut dengan media
sosial, yaitu Satya Azyumar (Koordinator Social Justice Indonesia) dan Sarah
Nelson (penggiat media sosial bidang sosiologi). Webinar yang berlangsung sekitar dua jam di kanal Zoom Meeting itu berlangsung menarik dan interaktif.
Sekolah Politik dan Komunikasi Indonesia menyadari pentingnya meningkatkan
kesadaran akan bahaya ujaran kebencian dan diskriminasi di media sosial, sehingga
melalui webinar tersebut, generasi muda bisa mendapatkan pemahaman lebih baik
mengenai dampak negatif dari ujaran kebencian dan diskriminasi, baik terhadap
individu maupun masyarakat luas, terutama di ruang digital.
Satya Azyumar dalam paparannya pada webinar menyebut bahwa ujaran kebencian
kerap merujuk pada ungkapan yang menyerang, merendahkan, atau menghasut
kebencian terhadap individu atau kelompok berdasarkan karakteristik tertentu,
seperti etnisitas, agama, gender, orientasi seksual, atau identitas lain yang melekat
pada mereka. “Definisi ini seringkali mencakup pernyataan yang mengandung ancaman, penghinaan, atau stereotip yang menargetkan kelompok tertentu, baik secara eksplisit maupun implisit,” kata Satya Azyumar.
Hal senada diutarakan Sarah Nelson pada kesempatan yang sama. Mengutip
UNESCO, ujaran kebencian merupakan bentuk ekspresi yang menyerang individu
atau kelompok berdasarkan atribut tertentu seperti ras, agama, atau gender.
“Sementara diskriminasi merupakan tindakan tidak adil terhadap individu atau
kelompok berdasarkan perbedaan yang dimiliki,” kata Sarah Nelson, mengutip
Amnesty International.
Sarah Nelson menambahkan, penyebab ujaran kebencian dan diskriminasi muncul
karena dua faktor. Pertama faktor psikologis, berupa prasangka dan stereotip yang sudah terbentuk sebelumnya. Sementara yang kedua adalah faktor sosial, mengutip Journal of Social Media Studies pada 2021, disebutkan bahwa algoritma media sosial memperkuat polarisasi informasi.
Sarah Nelson menjelaskan, media sosial itu menciptakan kondisi di mana
lingkungan sosial hanya terpapar pada pandangan, opini, dan informasi yang serupa dengan keyakinan mereka sendiri. Algoritma media sosial dirancang untuk
meningkatkan interaksi pengguna, cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, memperkuat keyakinan yang sudah ada, dan menyaring informasi yang bertentangan. “Akibatnya, individu sering terjebak dalam “gelembung” informasi yang homogen,” kata Sarah.
Masalahnya, kata Sarah Nelson, ujaran kebencian dan diskriminasi yang terjadi di
media sosial memiliki dampak yang sangat luas. Secara psikologis akan
memberikan tekanan mental yang mendalam seperti kecemasan, depresi, dan trauma. Juga harga diri dan keamanan emosional dapat menurun drastis (Journal of Psychological Impact, 2020).
“Penyebaran ujaran kebencian dan diskriminasi dapat mengganggu harmoni dan persatuan masyarakat. Memicu konflik sosial di dunia nyata,” tambah Sarah Nelson merinci dampak sosial dari ujaran kebencian dan diskriminasi di media sosial.
Strategi yang tepat
Satya Azyumar menjelaskan, untuk menangkal ujaran kebencian dan diskriminasi di media sosial dibutuhkan strategi yang tepat, diantaranya dengan melakukan edukasi dan literasi digital, aktif melaporkan konten-konten negatif, mendorong pemerintah untuk menindak tegas pelaku ujaran kebencian. “Serta mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang melindungi kelompok identitas yang rentan dan marjinal,”
tambah Satya Azyumar.
Sarah Nelson memberikan cara agar kita terhindar dari aksi ujaran kebencian dan
diskriminasi di media sosial, di antaranya dengan menghargai perbedaan, kritis
dalam menerima, mengolah, dan menyebarkan informasi, serta jangan mudah emosi dan berani melaporkan maupun memblokir akun pelaku hingga laporkan ke pihak berwenang.
“Peran masyarakat sangat penting dalam meminimalisir terjadinya ujaran kebencian
dan diskriminasi, di antaranya dengan partisipasi aktif dalam melaporkan konten
yang mengandung ujaran kebencian dan diskriminasi, serta mendorong budaya
diskusi sehat dan saling menghormati antar pengguna media sosial,” jelas Sarah
Nelson.
Selain itu peran pemerintah juga diharapkan, terutama dalam penegakan hukum yang tegas dan penyediaan fasilitas pengaduan terhadap pelaku ujaran kebencian dan diskriminasi di media sosial yang mudah diakses. (Stevani Elisabeth)