Oleh: Dr. dr. Judilherry Justam, MM,ME
KOLEGIUM Kedokteran haruslah bersifat independen terpisah dari organisasi profesi. Bila Kolegium merupakan bagian dari organisasi profesi, maka terdapat peluang intervensi terhadap Kolegium khususnya dalam bidang Pendidikan. Salah satu contohnya adalah MKKI hanya berwenang mengusulkan cabang ilmu atau spesialisasi baru kepada Ketua Umum PB-IDI (ART IDI Pasal 25 angka e dan f, untuk selanjutnya diputuskan oleh Ketua Umum PB-IDI).
Berbeda dengan MKEK dan Dewan Etik Perhimpunan yang telah memiliki putusan dengan kekuatan tetap, bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia dan perhimpunan yang terkait”.
Pertanyaannya sekarang, mengapa MKKI hanya berwenang mengusulkan keputusannya pada PB-IDI untuk kemudian diputuskan oleh PB-IDI,tetapi kok keputusan MKEK wajib untuk dilaksanakan oleh PB-IDI? Padahal Mahkamah Konstitusi dalam putusannya dalam Perkara No. 10/PUU-XV/2017 menyebutkan “Struktur kepemimpinan pada tingkat pusatterdiri dari: a. PB-IDI, b. MKKI, c. MKEK dan MPPK, yang masing-masing memiliki wewenang dan tanggung jawab sesuai tugasnya. Pengaturan mengenai kegiatan internal organisasi yang berkaitan dengan bidang pendidikan kedokteran menjadi tanggung jawab Majelis KolegiumKedokteran Indonesia.” (halaman 304).
Jelas dari keputusan MK di atas bahwa PB-IDI, MKKI, MKEK dan MPPK mempunyai wewenang dan tanggung jawab masingmasing sesuai dengan tugasnya,serta ditambah penegasan bahwa bidang pendidikan kedokteran menjadi tanggung jawab MKKI. Status, fungsi dan wewenang kolegium (MKKI) sepenuhnya di atur dalam AD/ART IDI yang ditetapkan dalam setiap Muktamar, dimana Kolegium-kolegium sama sekali tidak memiliki hak suara.
Setiap rancangan perubahan AD/ART IDI diusulkan oleh PB-IDI dan hanya cabang-cabang IDI yangmemiliki hak suara dalam Muktamar. Dengan demikian nasib kolegium/MKKI tidak ditentukan oleh kolegium-kolegium itu sendiri tapi ditentukan oleh cabang-cabang IDI yang memiliki hak suara.
Kemudian kalau melihat Pasal 18 ayat (2) Anggaran Dasar IDI mengenai hirarkhi peraturan organisasi, terdapat 15 tingkat peraturan. Yang umum pada semua organisasi kemasyrakatan adalah hirarkhi 1 dan 2 adalah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Peraturan dan Keputusan Ketua Majelis (MPPK, MKKI dan MKEK) berada pada hirarkhi 8 dan 9, berada di bawah Peraturan Pengurus Besar (hirarkhi 5) dan Keputusan Ketua Umum Pengurus Besar (hirarkhi 7).
Selanjutnya dalamPasal 18 ayat(3) Anggaran Dasar IDI secara jelas disebutkan bahwa “Setiap pengambilan keputusan organisasi IDI, wajib dan harus memperhatikan keputusan organisasi yang lebih tinggi.” Jadi jelas dari ketentuan Anggaran Dasar IDI di atas, Majelis-majelis (termasuk MKKI yang merupakan Koordinator kolegium-kolegium) ditempatkan sebagai sub-ordinate IDI.
Yang jelas tidak ada referensinya dalam praktek global di seluruh dunia bahwa Kolegium Kedokteran dibentuk oleh atau merupakan bagian dari Organisasi Profesi. Royal College of Paediatricians berdiri terpisah dari British Medical Association, Australian College of General Practitioners bukan merupakan bagian dari Australian Medical Association, American Academy of Cardiologists terpisah secara organisatoris dari American Medical Association dan lain sebagainya.
Dengan demikian seharusnyalah ada pembagian kewenangan, kolegium mengurus pendidikan dan organisasi profesi mengurus etika profesi dan pelayanan kesehatan oleh dokter.
Secara organisatoris Kolegium dan Organisasi Profesi harus terpisah, sehingga terdapatmekanisme check & balances, bisa saling kontrol. Kolegium juga haruslah terbagi antara Kolegium Dokter Spesialis dan Kolegium Dokter Umum.
1. Kolegium untuk dokter spesialis, tugasnya mengampu cabang ilmu terkait. Misalnya Kolegium Penyakit Dalam untuk mengampu ilmu penyakit dalam, Kolegium Saraf mengampu ilmu saraf. Kepengurusan kolegium terutama terdiri dari Guru Besar, Kepala Departemen dan Kepala Program Studi cabang ilmu terkait
2. Kolegium untuk dokter umum Sebetulnya tidak tepat ada istilah kolegium untuk dokter umum, tetapi karena UU Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa hanyalah kolegium yang dapat menerbitkan Seritifikat Kompetensi untuk dokter, dibentulah Kolegium Dokter Indonesia untuk dokter umum. Dokter Umum bukan cabang ilmu kedokteran, karena Kedokteran Umum tidak punya guru besar, program studi dan departemen tersendiri. Kedokteran Umum adalah batang tubuh ilmu kedokteran. Dengan demikian program studi dokter umum adalah Fakultas Kedokteran.
Dengan demikian ketika Kolegium Dokter Umum disebut sebagai Kolegium Dokter Indonesia (KDI) didirikan kepengurusannya haruslah terdiri dari Wakil/Pembantu Dekan bidang Pendidikan seluruh Fakultas Kedokteran yang berakreditasi tertinggi. Hal ini sudah terlaksana sejak awal pendirian KDI di tahun 2000 dan periode berikutnya, tetapi secara bertahap peranan Fakultas Kedokteran secara institusional dikurangi dan dihilangkan sama sekali.
Saat ini peranan Fakultas Kedokteran direduksi sama sekali peranannya dalam kolegium, sehingga KDI (Kolegium Dokter Indonesia) hanya sekadar sebagai kolegium dari Perhimpunan Dokter Umum Indonesia tanpa sama sekali ada keterlibatan Fakultas Kedokteran secara institusional.
Seharusnya definisi/pengertian kelogium adalah sebagai berikut:
Kolegium Dokter Spesialis dibentuk oleh pakar cabang ilmu terkait, bersifat independen dan terakreditasi.
Kolegium Dokter Umum dibentuk oleh seluruh Fakultas Kedokteran berakreditasi tertinggi, bersifat independen dan terakreditasi.
Lebih dari itu, selama ini tidak ada pihak yang mengakreditasi kolegium, yang seharusnya menjadi kewenangan dari KKI, sebagaimana halnya menjadi kewenangan konsil kedokteran di luar negeri. Tetapi dalam praktek ternyata pada masa lalu KKI terkooptasi oleh IDI. Menurut keterangan ahli Prof. Herkutanto dihadapan sidang Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No. 10/ PUU-XV/2017, beberapa upaya KKI untuk memantau kualitas CPD (Continuous Professional Development) senantiasa ditolak oleh IDI, dimana seharusnya KKI bertugas mengesahkan standar CPD yang dilakukan oleh IDI. Namun syukurlah pada masa Menteri Dr. Terawan, posisi KKI sudah lebih baik, tidak lagi terkooptasi oleh organisasi profesi.(*)
* Artikel ini juga dimuat di Buku Komika berjudul “IDI Mau Dibawa Kemana?” yang ditulis dan disusun oleh Dr. dr. Judilherry Justam, MM, ME dan Dr. Pandu Riono, MPH, PhD.
Penulis Dr. Judilherry Justam adalah seorang aktivis mahasiswa 1974. Bersama Syahrir, Hariman Siregar, Muhammad Aini Chalid, dan lainnya, Judilherry merupakan tokoh utama peristiwa Malari pada 15 Januari 1974.