Rapat Koordinasi Pelaksana Harian LMKN
SHNet, JAKARTA – Cukup mencengangkan saat ikut temu media sebelum Pelaksana Harian Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menggelar Rapat lanjutan Koordinasi Pelaksana Harian di Hotel JW. Luwansa, di Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (13/9/2022) siang.
Memang cukup banyak hal yang dibahas dalam rapat yang berlangsung sejak pukul 09.00 WIB dan berakhir sekitar 18.00 WIB tersebut. Dan, salah satu yang paling pelik adalah membahas soal penyamaan visi antara LMKN dan LMK dalam pengumpulan royalti satu pintu.
Kenyataannya, manajeman data base penagihan royalty musik dan hak terkait di Indonesia lemah dan tak kuat. Ini diperparah dengan kesadaran hukum pemilik usaha di Indonesia sangat rendah. Dan cenderung menolak untuk mulunaskan kewajibannya untuk membayarkan tagihan royalti musik dan hak terkait yang diberikan kepadanya.
Hendry Noya, selaku Pelaksana Harian LMKN Bidang Hak Terkait mengatakan, dalam Rapat Koordinasi Pelaksana Harian LMKN, Pelaksana Harian LMKN, menjelaskan.
“Rapat hari ini salah satunya untuk menyatukan persepsi di bidang lisensi, untuk percepatan penghimpunan (penagihan) royalti, dengan melibatkan semua LMK yang ada. Ada dari Selmi, WAMI, KCI, Pelari dan lainnya,” jelas Hendry Noya membuka temu media usai makan siang, sebelum rapat sesi lanjutan digelar.
Hendry juga menambahkan, “Dengan semangat melakukan sinkronisasi dan keterbukaan, diharapkan target LMKN memuliakan pemberi mandat segera tercapai,” tambah Hendry.
Sama halnya dengan Sandec Sahetapy, Wakil Ketua Harian Pelaksana Harian LMKN Bidang Hak Terkait, pun berharap forum ini, bisa mencapai goal-nya.
“Kita berkumpul hari ini untuk menyamakan persepsi, kita satu hati menurunkan ego, agar kepentingan pemberi kuasa bisa terpenuhi. Dan jangan lupa, kita harus akui bahwa sosok Enteng Tanamal adalah pejuang Hak Cipta, jadi tanpa dia tak mungkin ada LMK sebanyak ini,” tambah Sandec Sahetapy.
Selain menyamakan visi dan sinkronisasi, dalam rapat tersebut juga dibahas soal manajemen data base penagihan royalti musik dan hak terkait di Indonesia masih lemah dan tak kuat.
Hal itu diperparah dengan rendahnya kesadaran para user di Indonesia yang masih sangat dangkal, bahkan cenderung menolak untuk menunaikan kewajibannya untuk membayar royalty musik dan hak terkait.
”Data base kita masih sangat lemah, jadi Ketika terpuruk akibat Covid-19 susah untuk bangkit, karena kita tak punya data base yang kuat. Oleh sebab itu kita harus benahi dan perkuat data base ini, kita akan melakukan audiensi dan pendekatan-pendekatan dengan Dinas Pariwisata yang ada di seluruh Kabupaten dan Kota di Indonesia untuk menguatkan data base kita,” kata Yessy Kurniawan, Anggota Komisioner LMKN Bidang Hak terkait.
Ketua LMK, Selmi Jusak Sutiono, juga turut memberikan penjelasanya bahwa otokritik yang paling mendasar atas kinerja LMKN tahun sebelumnya adalah koordinasi dan sinkronisasi yang belum ideal. “Jangan sampai LMKN tak dipandang oleh user. Atau ada user tertagih dua tiga kali, makanya kita lakukan sinkronisasi,” kata Yusac.
Yusac juga menambahkan bahwa dalam melakukan pengumpulan royalty ini kita harus perlakukan seperti bisnis, karena ini menyangkut uang besar.
“Penghimpunan dana ini besar jadi kita harus anggap ini bisnis, kalau cara mengurus ini hanya sebagai pemegang kuasa bukan sebagai bisnis maka akan susah. Saya contohkan baru minggu lalu ditelpon karaoke grup Surabaya, dia mau bayar kalo saya datang kesana, kalau nggak, ya nggak mau bayar. Jadi mesti datang tunjuk muka baru bayar. Jadi ini mesti di treat sebagai sebuah bisnis,” tambah Yusac.
Lebih lanjut Yusac menambahkan soal tarif yang masih paling murah dibanding dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia atau yang lain.
“Tarif kita paling murah di negara regional, kita masih sangat murah. Bahkan tarif royalti musik ontuk hotel dengan 100 kamar di Indonesia hanya 6 juta rupiah. Artinya, sehari hanya 20 ribu, jika dibagi 100 kamar hanya 200 perak, itupun masih banyak hotel yang emoh membayar. Jadi, jika dibandingkan dengan sistem penagihan royalti di negara regional, tidak relevan. Malaysia penurunannya hanya 30 persen, karena brosdcasting disana seperti TV dan Radio tidak turun. Hanya hilang 1/3 selama COVID-19, pulihnya pun lebih cepat, karena database mereka sudah kuat.” kata Yusac.
Sistem penagihan royalti musik dari user yang masih memprihatinkan itu, diperkuat pendapat Chico Hindarto Ketua LMK WAMI.
“Kalau dari saya otokritiknya belum optimal penghimpunan (penagihannya), karena sebagian besar yang kita kolek dari pulau Jawa, padahal ada pulau lain seperti Bali dan pulau lainnya. Waktu Covid-19 semua user terdampak, kita sudah melakukan toleransi, kita sudah melakukan adjustment, tapi kami yakin akan ada rebound,” kata Chico.
Masih kata Chico, di Indonesia LMK- nya banyak, maka perlu ada koordinasi. Dia mengakui WAMI bukan yang terbaik,
“Kami akan terus belajar, menyempurnakan diri meski tidak ada yang sempurna. Kita negara besar, harusnya pemasukan (royalti musik dan hak terkaitnya) juga besar, intinya potensi masih banyak , jadi perlu effort Bersama agar penagihan kita juga besar,” lanjut Chico.
Komisioner Dukung Penuh Pelaksana Harian
Salah satu Komisioner LMKN yaitu Johnny Maukar yang juga hadir dalam rapat tersebut mengaku bahwa Komisioner mendukung penuh upaya Pelaksana Harian.
“Komisioner LMKN mendukung penuh Pelaksana Harian mencapai targetnya, terutama dari tim force collecting. Dengan adanya pemusatan data base maka penghimpun royalti bisa melihat data yang tersedia secara transparan, dan tidak ada benturan di lapangan,” kata Johnny Maukar.
Selain para Pelaksana Harian dan beberapa komisioner, turut hadir dalam Rapat Koordinasi Pelaksana Harian LMKN tersebut yaitu Direktur Hak Cipta Kemenkumham RI Anggoro Dasananto , Candra Darusman (Pengawas) dan Dharma Oratmangun (ketua). (non)