Oleh : Dr. Henry Marijes Sopacua, S.Pd, SH, MH dan P rof. Dr. Izaak H. Wenno, S.Pd, M.Pd.
Pendidikan tidak dapat dilepaskan dari peran serta tanggung jawab negara dalam upaya meningkatkan harta dan martabat warga negaranya.
Pendidikan sebagai bagian dari hak asasi manusia tidak terlepas dari pemahaman, bahwa hak asasi manusia adalah sekumpulan hak yang melekat pada hakekat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah , dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat.
Penting dalam pemenuhan fasilitas pendidikan adalah sejauh mana tanggung jawab negara dalam mewujudkan instrumen HAM dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya dalam memenuhi hak atas pendidikan, demikian pula upaya upaya yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi hak atas pendidikan dasar dan menengah.
Dalam tuntutan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, negara berkewajiban memenuhi dan menghormati HAM, termasuk hak atas pendidikan. Kegagalan melaksanakan kewajiban ini merupakan pelanggaran HAM.
Kewajiban untuk menghormati mengharuskan negara menahan diri untuk tidak campur tangan dalam hal menikmatinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; dan kewajiban untuk mewajibkan negara mengambil tindakan legislatif, administratif, alokasi anggaran, hukum dan semua tindakan yang memadai guna melaksanakan sepenuhnya semua hak tersebut.
1.Konsep Tanggung Jawab Negara
Secara leksikal kata tanggung jawab berarti “keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau ada suatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb.)” (Poerwadarminta, 2003 : 1205).
Dalam Oxford’s Dictionary terdapat beberapa pengertian tanggung jawab atau responsible. Dalam pengertian hukum ada dua istilah yang saling berhubungan dengan kata tanggung jawab, yaitu istilah responsible dan istilah liable.
Kata responsible, dalam bahasa Belanda disebut aanspraaklijkheid, berarti bertanggung jawab terikat menurut hukum atas kesalahan atau akibat suatu perbuatan (Algra, dan Gokkel, 1983 : 165).
Liability, dalam bahasa Belanda disebut verantwoordelijk, adalah bertanggung jawab memikul kerugian yang diderita baik dalam hukum, maupun dalam administrasi (Algra, dan Gokkel, 1983 : 608).
Tanggung jawab negara terhadap pemenuhan hak atas pendidikan dasar dan menengah menjadi sesuatu yang mutlak sebagai bagian dari pemenuhan amanat UUD 1945 yang mencantumkan pendidikan sebagai hak asasi manusia/hak warga negara.
Hal ini tidak kemudian diserahkan kepada masyarakat yang lebih dominan, namun pemerintahlah yang terpenting dalam merancang, memfasilitasi dan merealisasikan segala kebutuhan pendidikan untuk semua jenis dan jenjang pendidikan.
Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan pada daerah otonom, maka tanggung jawab negara sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah kota/kabupaten yang memiliki basis masyarakat.
Termasuk pemerintah provinsi yang saat ini juga turut berperan mengendalikan penyelenggaraan pendidikan menengah atas (SMA sederata). Menurut Beare, “The role of government is to set the frameworks for service delivery, and not necessarily to supply the service itself.” (Beare, 2002 : 66).
Dapat diartikan secara bebas bahwa tugas atau peran pemerintah adalah untuk mengatur kerangka pemberian jasa, dan bukan untuk menyediakan jasa itu sendiri.
Dalam hal ini penyelenggaraan pendidikan merupakan tanggungjawab atau peran bersama pemerintah dan masyarakat untuk kepentingan kemanusiaan dan bukan untuk kepentingan kekuasaan atau dirinya sendiri (penyelenggara).
Peran negara tidak dapat dipisahkan dalam proses pendidikan. Berbagai pakar pendidikan telah mengupas masalah ini sejak Plato maupun pakar-pakar pendidikan dalam kehidupan negara-negara modern.
Negara merupakan suatu unit berdasarkan kekuasaan. Dalam upaya untuk melestarikan kekuasaannya, negara telah menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut (Apple dalam Tilaar, 2003 : 144).
2. Prinsip Tanggung Jawab Negara
Tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan persamaan hak antarnegara.
Tanggung jawab negara timbul bila ada pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan suatu perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional (Brownlie dalam Huala, 1991 : 174).
Berkaitan dengan tanggung jawab, Sugeng (1998 : 77) menggunakan istilah pertanggungjawaban negara memberikan arti sebagai berikut, “Pertanggungjawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya.
Menurut Shaw dalam Sujatmoko (2005 : 30), yang menjadi karakteristik penting adanya tanggung jawab (negara) bergantung pada faktor-faktor dasar berikut ini. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antar dua negara tertentu; adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar hukum internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara; adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian.
3. Dasar dan Sifat Tanggung Jawab Negara
Tanggung jawab negara menurut hukum internasional juga memiliki perbedaan dengan tanggung jawab negara menurut hukum nasional. Menurut hukum internasional tanggung jawab negara timbul akibat dari pelanggaran terhadap hukum internasional.
Walaupun hukum nasional menganggap suatu perbuatan bukan merupakan pelanggaran hukum, namun apabila hukum internasional menentukan sebaliknya maka negara harus tetap bertanggung jawab. Hal tersebut oleh Sugeng, dijelaskan bahwa, “Pertanggungjawaban negara menurut hukum internasional hanya timbul karena pelanggaran hukum internasional.
Pertanggungjawaban itu tetap timbul meskipun menurut hukum nasional negara yang bersangkutan perbuatan itu tidak merupakan pelanggaran hukum. Perbedaan itu mungkin disebabkan oleh karena perbuatan itu oleh hukum nasional negara tersebut tidak ditetapkan sebagai perbuatan yang melanggar hukum atau karena pelaku perbuatan tersebut tidak menimbulkan pertanggungjawaban negara”(Sugeng, 1998 : 78).
4. Konsep Pelanggaran HAM Melalui Undang-undang
Menurut Vierdag, salah satu dari sejumlah kemungkinan yang melakukan diskriminasi (pelanggaran hak asasi manusia) adalah the active side of treatment, yaitu negara.
Diskriminasi yang dilakukan negara adalah antara lain melalui peraturan perundang-undangan yang disebut sebagai equal or unequal legislative treatment (perlakuan legislasi yang sama atau tidak sama) atau yang disebutnya sebagai law-violation (Vierdag, 1973 : 44) yang dalam formulasi yang hampir sama di sebut oleh Hans Kelsen yang juga dikutip oleh Vierdag sebagai violation of the law (kekerasan oleh hukum). Dalam hal ini dimaksudkan hanya pada undang-undang yang terkait dengan hak atas pendidikan.
B. Hak Atas Pendidikan Dan Tanggung Jawab Negara
1. Konsep Hak Atas Pendidikan
Konsep hak atas pendidikan (the right to education) dari perspektif HAM dapat dipilah ke dalam tiga generasi, yaitu konsep hak atas pendidikan dalam generasi pertama (liberal concept of education), dalam generasi kedua (cultural rights atau social right), dan dalam generasi ketiga (solidarity rights).
Manfred Nowak, “The Right to Education”. Economic, Social dan Cultural Rights, Martinus Nijhoff Publishers, tahun 1995 (Komisi Nasional HAM, 2005 : 231).
Di dalam pasal 4 ayat (2) ICCPR termuat hak-hak yang masuk dalam kategori non-derogable rights atau hak-hak yang tidak dapat ditunda pelaksanaannya dalam keadaan apapun, yakni hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak untuk tidak diperbudak atau diperhamba, hak untuk tidak dipenjara karena tidak mampu membayar hutang, hak persamaan di depan hukum, hak untuk tidak diberlakukan hukum yang berlaku surut, hak untuk bebas berpikir, berhati nurani dan beragama (Sujatmoko dalam Titahelu, 2006: 40).
2. Pengertian Fasilitas Pendidikan Dasar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fasilitas adalah sarana untuk melancarkan pelaksanaan fungsi (Anonimous, 2002:302). Karena itu, fasilitas pendidikan dasar yang menjadi konsentrasi tulisan ini yaitu yang berhubungan dengan, peraturan perundang-undangan dalam kaitan dengan pendidikan, sarana dan prasarana belajar, tenaga pengajar, media pembelajaran, kurikulum, biaya, kesehatan, dan kesejahteraan, khususnya pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar (Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Tingkat Pertama).
Sehubungan dengan itu untuk mengimplementasikan tanggung jawab negara terhadap hak atas fasilitas pendidikan, maka sangat perlu adanya harmonisasi peraturan perundang-undangan tentang penyelenggaraan pendidikan dengan berbagai instrument Hak Asasi Manusia (HAM) secara universal dan patut menjalankannya dengan prinsip pendidikan untuk semua (education for all).
Artinya semua orang tanpa pengecualian berhak atas pendidikan yang diatur secara terstruktur, sistematis dan massif dengan melibatkan berbagai pihak baik pemerintah, swasta, komunitas masyarakat, akademisi dan media secara holistig sebagai Pentahelix dalam penyelenggaraan Pendidikan Nasional.
Suatu catatan kritis yang sangat perlu direevaluasi yaitu terkait dengan kewenangan menyelenggarakan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang dipisahkan antara pemerintah kota/kabupaten dengan pemerintah provinsi.
Menurut hemat kami seyogyanya kewenangan menyelenggaraan pendidikan menengah atas yang kini diatur oleh pemerintah provinsi mestinya dikembalikan kewenangan penyelenggaraannya kepada pemerintah kota/kabupaten seperti awalnya sebagai daerah otonom.
Adapun alasan prinsipnya adalah:
1. Baik di wilayah kontinental maupun kepulauan sangat tidak efektif dan tidak efisien pemerintah provinsi mengelolah Sekolah Menengah Atas yang berada disetiap kota/kabupaten dengan rentan kendali yang tidak mudah apalagi di daeah/wolayah kepulauan karena jarak tempuh dan lingkungan sosial budaya yang cukup berbeda (beragam).
Hal ini tidak bisa dengan solusi pemerintah provinsi membangun UPTD atau kantor penghubung pendidikan disetiap daerah kabupaten yang ada Sekolah Menengah Atas, sementara kantor Dinas Pendidikannya berada di ibukota provinsi yang berjarak sangat jauh, karena akan ada pemborosan biaya operasional penyelenggara dengan menambah unit kerja baru termasuk penambahan struktur kelembagaan di dalamnya;
2.Pengawasan dan pengendalian kebijakan akan membutuhkan waktu tidak cepat untuk merealisasikan berbagai tuntutan kebutuhan pendidikan karena pola birokrasi yang panjang (dibaca: dari kota/kabupaten ke provinsi dan dari provinsi kembali lagi ke kota/kabupaten) baik kebutuhan fisik maupun non fisik (pembelajaran);
3.Dapat dipastikan bahwa semua siswa yang bersekolah di SMA sederajat itu adalah penduduk atau warga kota/kabupaten setempat, yang menjadi tanggung jawab walikota/bupati.
4. Fakta lain bahwa demi kepentingan politik kepala daerah dalam hal ini gubernur akan bertindak sesuka hati memutasi guru (tenaga pendidik) atau pegawai (tenaga kependidikan) ke daerah yang jauh dari rumah kediaman keluarganya. Hal ini akan mengganggu aktivitas dan keseriusan mereka dalam melaksanakan tugas di sekolah.
5. Akan terjadi kesenjangan proses peningkatan kapasitas dan pengembangan sekolah termasuk tenaga pendidik dan kependidikan antara pendidikan dasar (baca: SD dan SMP) dengan pendidikan menengah (baca: SMA sederajat), karena bisa terjadi ketidaksinambungan program kegiatan antar jenjang sekolah dimaksud.
Hal ini bisa terjadi karena visi-misi dan janji politik kepala daerah (baca: Bupati/walikota dan gubernur) yang tertuang dan/atau masalah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah/Panjang Daerah (RPJM/RPJP) berbeda-beda.
Sebaliknya, jika semua tahapan sekolah dikendalikan oleh pemerintah kota/kabupaten maka akan mempermudah pengawasan dan memperkuat ikatan emosional dalam setiap aktivitas pendidikan di daerah.
(Penulis adalah Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pattimura)