16 September 2024
HomeBeritaMenuju 597 Tahun, Apakah Sangihe Bangkit atau Menjadi Suku Bangsa Inferior?

Menuju 597 Tahun, Apakah Sangihe Bangkit atau Menjadi Suku Bangsa Inferior?

(Sebuah Otokritik)

Oleh: Alfred Silangen Pontolondo

Pertanyaan ini patut dikemukakan kepada seluruh anak suku bangsa Sangihe baik yang ada di Pulau Sangihe maupun yang berdiaspora di belahan mana pun, menjelang hari Ulang Tahun suku bangsa Sangihe yang ke 597 Tahun. Secara administratif Kabupaten Kepulauan Sangihe berdiri pada tahun 4 Juli 1959 dengan nama Kabupaten kepulauan Sangihe Talaud melalui ketetapan UU No. 29 tahun 1959.

Namun suku bangsa Sangihe telah memiliki peradaban jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni sejak tahun 1425, ketika Gumansalangi membangun kerajaan Tampunganglawo di tanah Moade yang kini bernama Salurang. Di wilayah ini jugalah nanti akan dimulai perusakan atas bekas peradaban itu, dengan diizinkannya PT. Tambang Mas Sangihe untuk mengeksploitasi 42.000 Ha wilayah selatan pulau Sangihe dari 73.700 Ha total wilayah pulau Sangihe.

Persoalan PT. Tambang Mas Sangihe bukan hanya persoalan lingkungan atau hanya karena keberadaan pulau ini sebagai pulau kecil yang harus dilindungi oleh Negara. Akan tetapi persoalan ini adalah juga tentang harkat dan martabat suku bangsa Sangihe.

Pertanyaan besar, apakah suku bangsa Sangihe adalah suku bangsa beradab yang telah membangun peradabannya lebih dari 500 tahun, yang memiliki martabat dan harga diri besar, sehingga berdaulat atau pulau dan ruang hidupnya? Ataukah hari ini suku bangsa Sangihe adalah komunal yang lemah, yang kehilangan identitas, dan mengalami ketergantungan terhadap pihak lain, sehingga hidupnya harus ditentukan oleh pihak lain yang lebih berkuasa.

Persoalan PT. Tambang Mas Sangihe adalah puncak dari krisis identitas kita sebagai suku bangsa. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah hari ini, setelah menjadi bagian dari bangsa Indonesia suku bangsa Sangihe sejahtera? Apakah hari ini suku bangsa Sangihe telah tercerdaskan? Telah merdeka dari ketergantungan ekonomi? Apakah kita telah berdikari sama seperti yang digaungkan oleh Presiden Sukarno pada bertahun-tahun lalu?

Penulis mengangkat pertanyaan ini dari sudut pandang persoalan yang kini mengemuka dalam satu tahun ini, yakni kehadiran PT. Tambang Mas Sangihe yang akan mengeksploitasi pulau Sangihe. Dalam persoalan ini, ditemukan  sejumlah hal mendasar, yang mungkin saja mewakili berbagai persoalan lain dalam masyarakat.

Harus Digoyang

Ketika ancaman kehadiran PT. TMS diangkat pada akhir bulan Maret 2021, Pemerintah Daerah awalnya bersikap pasif untuk langsung mengambil alih dan mencari solusi mengatasi persoalan ini. Memang pada tahun 2018, melalui Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe tidak mengabulkan permohonan kesesuaian ruang dari PT. Tambang Mas Sangihe. Selanjutnya pada tahun 2020 Bupati melayangkan surat ke Kementerian Lingkungan Hidup, meminta peninjauan kembali AMDAL PT. TMS.

Namun yang dibutuhkan lebih dari itu. Yakni Pemerintah Daerah atas dasar UU 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, mengambil alih upaya penyelamatan pulau Sangihe dan tidak membiarkan persoalan ini diperjuangkan sendiri oleh rakyat. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan melayangkan surat kepada Presiden untuk mencabut ijin operasi PT. TMS, atau mengambil alih gugatan hukum oleh rakyat Sangihe yang sedang berproses di PTUN Jakarta dan Manado.

Beruntunglah akhirnya pada 4 Desember 2021, dalam pertemuan dengan Tim independen Kementerian ESDM-RI di Papanuhung Santiago, Bupati Kepulauan Sangihe menyatakan sikap tegas menolak kehadiran PT. TMS.

Politikus Tanpa Sikap
Ini menjadi sebuah ironi. Gedung DPRD Kepulauan Sangihe yang diisi oleh para wakil rakyat yang adalah para politisi, secara ideal duduk dan bekerja mewakili aspirasi dan kepentingan masyarakat Sangihe. Namun terkait dengan ancaman eksploitasi atas ruang hidup masyarakat Sangihe oleh PT. TMS, identitas itu hilang sama sekali.

Masyarakat melalui gerakan Save Sangihe Island telah beberapa kali mendatangi kantor DPRD Sangihe. Awalnya pada 28 Maret 2021 dengan melakukan audiensi, yang disambut sikap penolakan terhadap PT.TMS oleh 5 orang anggota DPRD Sangihe yang ikut pada pertemuan itu. Dalam pertemuan yang dimoderatori oleh salah seorang wakil ketua DPRD tersebut, dijanjikan bahwa DPRD Sangihe akan menyampaikan sikap resmi dalam 2-3 hari ke depan.

Namun, hingga tahun 2021 berakhir, sikap itu tidak kunjung datang, sekalipun kembali SSI bersama mahasiswa telah mendatangi kantor DPRD Kepulauan Sangihe sebanyak 3 kali sepanjang tahun 2021. Bahkan terakhir, para mahasiswa dari GMNI dan LMND dalam sebuah aksi damai harus menggeruduk ruang per ruang para wakil rakyat namun tidak ditemukan satu orang pun di dalam kantor, padahal itu adalah waktunya kerja bukan libur.

Ini menjadi pertanyaan besar bagi kita sebagai masyarakat Sangihe. Lalu mereka yang berdiam di gedung itu mewakili siapa? Jika memang mau berpihak pada PT. TMS, atau menolaknya, seharusnya itu disuarakan. Karena memang DPRD adalah lembaga yang harus menyatakan sikapnya baik melalui fraksi-fraksi maupun secara kelembagaan atas berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat. Misalnya, bisa disaksikan kasus pelecehan atas masyarakat Kalimantan oleh oknum EM di waktu terakhir ini, DPR RI langsung mengambil sikap, bahkan langsung membahasnya di komisi III. Mereka bahkan akan mengawal kasus ini sampai tuntas. Namun hal itu ternyata tidak terjadi di DPRD Sangihe.

Meski Penolakan masyarakat terhadap PT. TMS sudah menjadi isu Nasional, bahkan masyarakat Sangihe sudah berulangkali melakukan aksi baik di lokasi tambang, di kota Tahuna, di Manado bahkan di Jakarta oleh para diaspora Sangihe. Selanjutnya, kondisi Sangihe sudah diadukan dan dibahas di Kantor Staf Kepresidenan, sudah diadukan ke Komnas-HAM, ke Kementerian Lingkungan Hidup, ke Ombudsman, bahkan ke KPK. Tapi DPRD Sangihe bergeming. Sampai hari ini mereka tanpa sikap sama sekali, alias bungkam. Sungguh menyedihkan.

Namun anehnya, di sisi lain, para wakil rakyat kita suka sekali ikut perhelatan-perhelatan yang tidak penting seperti berpartisipasi dalam DPRD Expo yang dilaksanakan oleh DPRD Provinsi Sulawesi Utara, seperti yang sudah dilaksanakan dalam tiga tahun terakhir. Dalam expo itu DPRD kita pernah mendapatkan predikat Stand Pameran terbaik, bahkan ada yang memenangkan “idol” antar anggota DPRD se-Provinsi Sulawesi Utara. Salah seorang kawan bahkan berkelakar bahwa memang hanya sebatas itu level para anggota DPRD kita, sekelas “anak sekolah minggu” yang suka idol-idolan. Sungguh membuat trenyuh.

Jika dalam urusan demikian para wakil rakyat kita penuh semangat, dalam urusan ancaman terhadap keberlangsungan hidup masyarakat Sangihe yang diwakilinya, mereka seharusnya jauh lebih bersemangat. Karena untuk memperjuangkan kepentingan rakyatlah mereka ada di gedung besar, mewah dengan segala fasilitas yang dibiayai dari pajak rakyat itu.

Penulis masih berharap akan terjadi keajaiban berupa berubahnya orientasi para wakil rakyat kita untuk lebih berpihak pada kepentingan rakyat secara besar, dan bukan didikte oleh pragmatisme politik, oleh kepentingan kelompok, apalagi kepentingan pribadi semata. Karena untuk membawa daerah ini bangkit semakin lebih baik dan sejahtera, dibutuhkan para wakil rakyat tulen yang dipandu oleh idealisme dan keberpihakannya kepada rakyat dan bukan menjadi wakil rakyat memble, seperti yang mereka tunjukkan hari ini. Kita berharap semoga keajaiban itu akan terjadi.

Kalangan Peragu

Kota Tahuna adalah ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe yang merangkul semua kalangan dari berbagai kampung di Sangihe, dari berbagai latar-belakang profesi, agama dan budaya. Tapi satu hal yang perlu kita ketahui bersama, bahwa Kota Tahuna dengan lebih dari 10.000 orang penduduknya dibentuk oleh satu kalangan kelas menengah yang mengabdi pada Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe. Mereka adalah para pegawai negeri sipil (PNS) yang kini disebut sebagai Aparat Sipil Negara (ASN)

Seperti diketahui bersama, ASN di Sangihe adalah putra putri terbaik daerah ini. Mereka adalah para lulusan terbaik, anak-anak yang menjadi juara kelas, para penurut, yang selalu menjadi teladan yang pada akhirnya direkrut atau mendaftarkan diri menjadi PNS atau ASN. Kecuali saya. Saya adalah anomali dari semua itu. Seorang pemberontak kecil, bodoh dan kepala batu, tapi menjadi ASN.

Dari sisi kualifikasi tentu saja kita ketahui bersama bahwa ASN di Sangihe adalah orang-orang yang memiliki kompetensi tinggi, sangat terlatih, bahkan banyak dari mereka adalah para aktivis kampus yang berakhir menjadi seorang ASN.

Dengan kondisi demikian, kita semua tentu berharap bahwa bukan hanya kompetensi dengan tercapainya semua target kerja yang dibutuhkan, tapi lebih jauh dari itu, adalah terbangunnya sebuah budaya berpikir kritis di kalangan ASN, yang bisa mengawal semua kebijakan Pemerintah.

Dalam habitat berpikir kritis, ya dan tidak atau berbeda pendapat adalah hal yang niscaya. Dengan demikian sebuah keputusan, atau kebijakan yang diambil oleh lembaga telah teruji secara logis dengan berbagai alasan, dan tidak bersifat pemaksaan dari atas terhadap yang di bawah.

Namun sayang, budaya berpikir kritis dalam birokrasi Pemerintah Daerah Sangihe, belum terbangun. Seorang ASN muda, akan sulit menyatakan pendapatnya sekalipun ia benar. Ia wajib mendengarkan pimpinannya sekalipun ide atau keputusan pimpinan bisa saja menggelikan, atau bahkan salah.

Penyebab utamanya adalah masih mengakarnya feodalisme dalam birokrasi kita. Entah karena warisan masa lampau sebagai bekas kerajaan, ataukah ini memang watak komunal yang diwariskan oleh penjajah bangsa di masa sebelumnya kepada para orang-tua kita, yang tetap saja digunakan hingga hari ini.

Dalam belenggu feodalisme, orang yang memiliki jabatan akan selalu benar, sekalipun ia salah. Yang benar akan memilih diam, karena ia muda atau karena ia hanya seorang bawahan. Dalam kondisi demikian, watak yang dibentuk adalah watak para pengangguk. Semua bawahan akan selalu mengangguk-angguk sekalipun apa yang diangguki adalah salah. Bahkan lebih parah dari itu adalah terbentuknya watak “katak”. Ke atas ia menjilat, namun ke bawah ia akan menendang.

Akibat dari kondisi ini adalah, selalu akan terjadi kesalahan, lalu lembaga atau Pemerintah akan selalu menghabiskan waktu untuk memperbaiki yang salah.

Plus dan minus, ribuan ASN di Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah pembentuk situasi di ibukota Tahuna. Mereka menjadi pihak terpenting yang menggerakkan ekonomi, sebagai bagian terbesar dari konsumen kota Tahuna. Mereka yang menduduki posisi posisi penting di masyarakat bahkan di organisasi keagamaan. Dengan demikian mereka juga yang membentuk pola pikir masyarakat di kota Tahuna. Jika mayoritas ASN menyatakan ya akan sesuatu hal, maka seluruh kota Tahuna akan menyatakan ya, tetapi jika tidak, maka penduduk kota Tahuna pun akan menyatakan tidak. (premis ini bisa dibantah)

Sayangnya, hal itulah yang terjadi ketika kasus penolakan terhadap PT. TMS menyeruak di tahun 2021. Fenomena dominasi pengaruh ASN terhadap sikap warga Tahuna terjadi. Dalam hal ini, para ASN memilih diam dan tidak menyikapi sama sekali persoalan ini, sekalipun setengah dari para ASN yang tinggal di kota Tahuna ini berasal dari wilayah 42.000 Ha, yang akan dieksploitasi oleh PT. TMS. Pengecualiannya adalah saya.

Saya seorang ASN, anak dari sebuah kampung di areal 42.000 Ha. Meski harus menghadapi berbagai resiko, saya memilih untuk tidak diam. Karena saya sangat mencintai kampung halaman saya, tempat kakek dan nenek saya berjerih-lelah mengupayakan kebun untuk membiayai ayah dan adik-adiknya hingga bisa bersekolah, bahkan menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Karena itulah saya tidak mau satu saat kampung halaman saya akan terdampak, menjadi rusak oleh operasi PT. TMS di masa depan. Bagi saya keselamatan pulau Sangihe jauh lebih utama dari apapun.

Sebaliknya, bersama kawan-kawan lain, kami mengadakan perlawanan, dengan berbagai upaya baik melalui jalur hukum, maupun melalui berbagai aksi demonstrasi ke berbagai lembaga untuk mengusir PT. TMS dari bumi Sangihe. Saya memilih tidak ikut dalam sikap mayoritas ASN di kota Tahuna. Selain saya, yang turut mengambil sikap berbeda dengan mayoritas ASN adalah seorang saudari yang secara gentleman menyatakan sikap berseberangan dan mendukung PT. TMS.

99,99 % ASN Sangihe yang tinggal di kota Tahuna memilih bungkam terkait ancaman terhadap pulaunya. Bungkamnya mereka pada akhirnya mempengaruhi sikap mayoritas warga kota Tahuna, yang ikut-ikutan menjadi ragu, memilih menjaga jarak dan menjadi sekadar penonton dari jauh, atau paling banter menjadi sekadar komentator yang meramaikan media sosial.

Namun demikian, saya tidak bisa menyalahkan kawan-kawan sejawatku para ASN. Mereka dibentuk oleh sebuah keadaan dan tidak memiliki kemampuan untuk menolaknya. Mereka dibelenggu oleh feodalisme, yang seharusnya sudah dimasukkan dalam keranjang sampah. Namun jika menyadari hal ini, tentu kita harus keluar dan merobohkan bangunan feodalisme yang demikian memasung cara berpikir kita. Karena Feodalisme akan terus memasung dan membuat kita bungkam sekalipun air sudah sampai di leher, dan tak lama kemudian kita mati tenggelam.

Namun, saya pun tidak mau menafikan, bahwa sekalipun bungkam, ada banyak dari para kawan ASN yang dalam hatinya menolak keberadaan PT. TMS dan berdoa supaya perjuangan menyelamatkan pulau Sangihe dapat dimenangkan oleh masyarakat Sangihe sendiri. Kami mengucapkan terima-kasih untuk itu.

Apakah Pena Masih Bertinta?

Salah satu kekuatan penting yang membentuk peradaban suatu masyarakat adalah kaum intelektualnya. Para intelektual-lah yang merancang bangunan masyarakat. Mereka yang menyusun aturan, membuat rencana tindakan, mengawasi, melakukan analisis atas segala sesuatu yang terjadi lalu mereka mengevaluasi, untuk menyiapkan jalan menuju tindakan selanjutnya.

Di masa kini, para intelektual kita adalah para akademisi yang menghabiskan waktu mereka di kampus-kampus, mengajari mahasiswa, melakukan berbagai penelitian, lalu mempublikasikan hasil-hasil pekerjaan mereka kepada masyarakat melalui berbagai jurnal dan tulisan.

Kita beruntung memiliki Politeknik Nusa Utara yang telah menjadi corong intelektualitas masyarakat Sangihe. Pernyataan hormat kami secara lebih mendalam adalah ketika lembaga Politeknik Nusa Utara secara tegas menyatakan sikapnya menolak keberadaan PT. TMS di pulau Sangihe.

Hal ini mereka lakukan tidak secara emosional, atau berdasarkan asumsi dan pandangan umum semata. Sebaliknya sikap mereka didasarkan pada hasil kajian dan penelitian secara komprehensif, tentang keberadaan pulau Sangihe dan lautnya. Dan dari penelitian mereka diperoleh bahwa daya dukung pulau Sangihe tidak memungkinkan menerima kehadiran PT. TMS untuk beroperasi di pulau Sangihe.

Karena dampak kerusakan alam pulau Sangihe serta kerugian materiil maupun non materiil bagi masyarakatnya terlalu besar. Itu dinyatakan oleh intitusi Politeknik secara terbuka baik oleh Direkturnya maupun oleh para mahasiswanya. Ini sangat perlu diapresiasi.

Namun sikap direktur Politeknik ini tidak serta-merta diikuti oleh para akademisi lain. Utamanya para akademisi asal pulau Sangihe yang telah berada di daerah lain. Kami belum menemukan tulisan berisi kajian mendalam tentang persoalan ini dari para akademisi kita di luar sana. Saya tidak tahu mengapa tulisan-tulisan mereka tidak muncul ke permukaan baik melalui Koran maupun media sosial.

Kami berharap para akademisi kita benar-benar adalah kaum intelektual yang menjaga peradaban masyarakat kita, yang mengabdikan ilmu-pengetahuannya benar-benar untuk kepentingan masyarakat pulau ini. Yang dengan tulus hati, mencerdaskan, mengembangkan dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat kita ke arah yang lebih baik.

Lembaga Agama dan Adat

Kita semua harus bersyukur saat ini. Ketika para politisi tanpa sikap, para orang pintar bungkam, para ASN terjebak dalam keraguan, namun masih ada Gereja yang secara bulat menyerukan sikapnya untuk menjaga kelestarian alam pulau Sangihe.

Pada April 2021 Sinode GMIST menyampaikan pernyataan teologisnya kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta peninjauan kembali atas perijinan PT. TMS. Lebih lanjut dan lebih tegas lagi, salah satu keputusan SLS GMIST XXV tahun 2021 di Enemawira yang dituangkan dalam Surat Edaran yang ditandatangani oleh ketua Sinode GMIST terpilih Pdt. Dr. Welman Boba, yakni menolak kehadiran PT. TMS.

Namun bukan hanya GMIST yang mewakili umat Kristen, tapi juga masyarakat dari umat muslim seperti Pemuda Muslimin Sangihe secara jelas dan tegas menolak kehadiran PT. TMS.
Sebelumnya pada 3 April 2021, bertempat di Pelabuhan Tua Tahuna, Badan Adat Sangihe turut serta mendeklarasikan penolakan terhadap PT. TMS. Bersama para pengurusnya, ketua Badan Adat secara bulat telah menyatakan sikap penolakannya. Mereka berpandangan bahwa bukan hanya alam yang harus dijaga, tapi kebudayaan dan sejarah kita pun harus dijaga.

Tanah Moade di mana kampung Bowone menjadi salah satu bagiannya adalah tempat pertama peradaban Sangihe. Di tempat inilah PT. TMS akan membongkar-bangkir tanah dan lingkungan sekitarnya. Di wilayah ini, ada situs sejarah, artefak dan peninggalan kebudayaan masa lampau lainnya yang harus dijaga. Karena itulah Badan Adat Sangihe, secara kelembagaan menolak tegas kehadiran PT. TMS. Bagi mereka Sangihe yang lestari dengan segala kebudayaannya, adalah hal utama yang harus tetap dijaga dan dipersembahkan kepada anak-cucu orang Sangihe ke depan.

Anak Muda Pelopor

Gerakan besar penolakan terhadap Izin Operasi PT. TMS yang hendak merebut lebih dari setengah daratan Pulau Sangihe dimulai dari diskusi beberapa orang yang memilih untuk tidak diam. Sekelompok orang muda yang tidak mewakili suara mayoritas masyarakat Sangihe, kemudian menyuarakan ancaman kehadiran PT. TMS terhadap pulau Sangihe ke ruang publik.

Suara itu kemudian bergema kemana-mana. Beberapa orang kemudian mendengar dan bergabung, sementara sebagian besar masih terlelap. Namun suara itu terus diperdengarkan.

Di mulai dari Pulau Sangihe, suara itu kemudian menggema hingga ke Jakarta, membangunkan para petinggi di Jakarta, menyadarkan para diaspora Sangihe yang ada di mana-mana, yang kemudian segera bersatu dan melakukan perlawanan bersama.

Gerakan ini awalnya kecil, direspon dengan cibiran, ejekan, bahwa ini tidak akan berhasil, karena yang dihadapi adalah sebuah korporasi besar yang telah diizinkan oleh Negara melalui keputusan Kementerian ESDM-RI. Namun kelompok kecil ini tidak berhenti.

Berbagai kalangan kemudian bergabung lalu menjadi bagian militan dari gerakan ini. Badan Adat Sangihe, GMIST, Yayasan Suara Nurani Minaesa, Pemuda Muslimin Sangihe, POLNUSTAR, Pemuda Muhammadiyah, GP. ANSOR, aliansi kapitalaung menolak tambang PT. TMS, berbagai kelompok Mapala dan Kelompok Pelestari Alam Sangihe, alumni SMP dan SMA 1 Tahuna, Nusa Utara Bersatu, Anak Sangihe Rantau,Visual Secret, LMND, GMNI, WALHI Sulut, LBH Manado, koalisi mahasiswa tolak tambang, serta berbagai keluarga besar masyarakat Sangihe di perantauan seperti rukun Mantelagheng, Maobungang, Tampunganlawo, Tanalawo.

Di luar komunitas masyarakat Sangihe juga bergabung Jaringan Advokasi Tambang Nasional (JATAM), KONTRAS, Change.org Indonesia, ECONUSA, Aliansi Petani Organik Indonesia, Xtintion Rebellion, LOKATARU, serta Greenpeace Indonesia. Mereka semua bergabung dan menjadi kekuatan besar upaya penyelamatan pulau Sangihe.

Di luar organisasi ini, turut andil memberitakan secara konsisten gerakan penolakan terhadap PT. TMS, yakni berbagai media seperti Barta1.com, Bergelora.com, sinarharapan.net, kompas.com, tirto.id, sulawesion.com, komentar.id, KawanuaT V, MetroTV, CNN, TVone serta berbagai media lainnya.

Dalam perjalanannya apakah perjuangan ini lancar-lancar saja? Tidak! Perjuangan ini adalah sebuah bukit terjal dengan berbagai rintangan berat. Ada keringat, ada ketegangan, ada air mata, ada luka bahkan ada pengkhianatan terjadi.

Di publik kami harus berhadapan dengan mayoritas para pengejek, yang akhirnya tidak lebih sebagai benalu bagi daerah ini. Kami harus menerima keadaan menggantungkan harapan pada dahan kering seperti kepada DPRD Sangihe. Kami harus menerima tikaman dari belakang dari orang-orang yang awalnya kami anggap sebagai kawan.

Kami harus mengamen, berjualan kaos, mengetuk hati banyak orang, untuk mendukung perjuangan ini. Kami harus menerima, ketika satu per satu kawan-kawan mundur, karena tidak siap menerima resiko dalam perjuangan, mereka memilih kembali ke zona aman. Dan yang tersisa adalah para militan. Namun beruntung kami mendapat tambahan tenaga militan yang lebih banyak lagi, dalam perjuangan ini.

Di lapangan, para pejuang kami harus terus menjaga integritasnya, karena suap merajalela ke mana-mana. Kami harus berhadapan dengan ancaman kekerasan, intimidasi dan pemutarbalikan fakta. Kami harus siap selalu didatangi oleh aparat keamanan, yang kerap meminta kami untuk menghentikan demonstrasi. Bahkan sudah menjadi hal biasa, para penggerak lapangan kami dibuntuti intel aparat kemana-mana.

Sampai hari ini, para pejuang kami selalu siap. Siap menghadapi apa pun dengan kepala tegak. Bahkan nyawa sekalipun siap dikorbankan untuk mempertahankan Pulau Sangihe. Karena itu, jangan pernah mencoba mengukur keberanian kami! Semboyan kami mengikuti apa yang sudah diteriakkan dengan lantang oleh Bataha Santiago “I Kite mendiahi wuntuangu Seke, Nusa Kumbahang katumpaeng”. i kami tawe sumoho maning daha tumedo! Meseke kate meseke arawe sumoho kabe tala (Jull Takaliuang).

Satu hal penting yang harus dicatat. Gerakan ini bukanlah gerakan maskulinitas yang didominasi para lelaki. Sebaliknya inti dari gerakan ini adalah para perempuan. Barisan terdepan dari upaya penyelamatan pulau Sangihe adalah para perempuan. Para ibu-ibu yang tidak rela tanahnya dirampas. Merekalah yang paling lantang menyuarakan, merekalah yang paling gigih di depan, mereka paling berani berhadapan dengan kekuasaan, bahkan tanpa kenal takut menghadapi hadangan aparat keamanan di setiap demonstrasi.

Namun tentu gerakan ini bukanlah gerakan melawan hukum. Sebaliknya, ini adalah gerakan yang menyuarakan penegakan hukum, agar Pemerintah maupun aparat penegak hukum, menaati dan melaksanakan UU nomor 1 tahun 2014 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, yang mewajibkan Negara untuk melindungi pulau kecil dan tidak membiarkannya dieksploitasi oleh perusahaan tambang.

Ini adalah sebuah gerakan yang dimulai oleh sekelompok kecil para kepala batu, yang kemudian berubah menjadi kekuatan besar yang tidak bisa lagi dihentikan. Ya, semua dimulai dari sesuatu yang kecil, dan harus ada para kepala batu yang memulai perjuangannya secara gigih. Harus ada yang berani keluar dari zona nyaman, mengambil segala resiko dan berjuang dengan segala upaya.

Sangihe kini telah berusia 597 tahun. Hingga usia yang kesekian, kita harus mengakui bahwa masih banyak hal yang harus dibenahi, masih banyak yang harus dikuatkan bagi kita sebagai sebuah suku bangsa. Sampai hari ini, kita belum menjadi daerah mandiri. Beruntunglah kemandirian itu ada pada pribadi nelayan, petani dan para pengusaha UMKM kita. Sementara dari sisi Pemerintahan kita masih bergantung lebih dari 90 % kepada Pemerintah Pusat melalui dana transfer APBD. Namun bahasan itu biarlah disuarakan oleh para ahlinya.

Yang mau saya mau nyatakan saat ini melalui sisi penyelamatan Pulau Sangihe adalah, kita harus bertransformasi. Meski kita bergantung pada Pemerintah Pusat, kita seharusnya menjadi orang merdeka dan tidak menjadi kaum inferior yang harus menerima keadaan dan didikte dengan segala keputusan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat dan pelestarian pulau kita.

Kita adalah kita untuk Pulau Sangihe. Dan Pulau Sangihe adalah milik kita! Kita yang berdaulat atas pulau ini, bukan orang lain! Karena itu berhentilah menjadi kaum pengecut yang tidak bisa membela pulaunya sendiri.

Karena itu, saya mengedepankan beberapa hal sebagai catatan untuk perubahan kita sebagai orang Sangihe di usia 597 tahun ini.

Kita butuh pemerintah yang kuat yang siap berjuang untuk rakyatnya. Pulau ini tidak akan berubah jauh secara fisik. Tapi manusianya bisa berubah menjadi lebih kuat, lebih sejahtera, dan lebih mandiri. Untuk mewujudkan itu dibutuhkan Pemerintahan yang kuat yang sanggup memperjuangkan cita-cita rakyatnya, yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang juga kuat, visioner dan tegas dalam mengambil keputusan. Satu catatan yang harus dikedepankan. Siapapun calon pemimpin ke depan yang tidak bersikap dan berpihak pada upaya penyelamatan Pulau Sangihe hari ini, tidak layak memimpin Sangihe.

Kita butuh wakil rakyat sejati. Bukan wakil rakyat kaleng-kaleng, apalagi wakil rakyat daong lemong. Yang dibutuhkan adalah wakil rakyat yang bersedia berjuang untuk kepentingan rakyat yang memberinya kepercayaan. Bukan wakil rakyat yang bungkam, yang tidak bisa ditemui, bahkan lari ketika dicari. Karena itu, kami mau mengajak para wakil rakyat Sangihe hari ini untuk menjadi wakil rakyat sejati. Bersedia melepaskan ego, kepentingan kelompok apalagi motivasi keuntungan ekonomi dibalik jabatan sebagai wakil rakyat. Tunaikanlah tanggung jawab sebagai wakil rakyat dan berjuanglah untuk kepentingan rakyat Sangihe.

Karena jika kepentingan rakyat tidak dikedepankan, aspirasi rakyat tidak didengarkan, maka anda telah gagal sebagai wakil rakyat. Pilihannya adalah anda sebaiknya mundur dari jabatan anda sebagai wakil rakyat Sangihe, karena yang dibutuhkan rakyat Sangihe adalah wakil rakyat sesungguhnya, bukan wakil rakyat palsu.
Namun, daripada mundur, jauh lebih baik berubah dan memperbaiki diri, karena masih ada waktu bagi anda untuk bekerja sesuai amanat rakyat. Jadilah wakil rakyat sejati. Siapa tahu, di waktu mendatang anda dipercaya kembali.

Dibutuhkan ASN yang merdeka untuk membawa Sangihe menuju kemandirian dan kesejahteraan. ASN yang tidak dibelenggu oleh feodalisme. ASN yang berpikir secara merdeka, yang berani bersikap dan bersuara kritis. Yang siap mengambil bagian berjuang ketika daerah dalam keadaan darurat. Karena para ASN-lah yang akan mengejawantahkan cita-cita besar kemajuan daerah ini dalam kerja-kerja nyata.

Mengharapkan pena para intelektual tidak terhenti. Para akademisi tidak hanya terhenti dalam ruang-ruang praktek atau laboratorium atau ruang mengajar. Tapi menjadi intelektual publik yang siap mengabdikan pengetahuannya untuk daerah secara terbuka. Yang menghadirkan analisis dan solusinya atas persoalan kemasyarakatan, baik lingkungan, ekonomi maupun sosial. Kami berharap Intelektual Sangihe bangkit kembali dan tidak terhenti hanya di ruang kampus semata.

Mengharapkan Lembaga agama, adat, organisasi-organisasi swadaya masyarakat terus mengawal persoalan kemasyarakatan kita. Memperjuangkan hal-hal yang tidak sempat ditangani oleh Pemerintah, untuk terus diupayakan. Menyuarakan kebenaran tanpa henti. Memberdayakan dan mencerdaskan masyarakat kita menjadi masyarakat yang mandiri dan kuat.

Mengharapkan komunitas PERS untuk dapat bersuara terus secara independen, cerdas, tidak didikte oleh kepentingan politik dan ekonomi pihak manapun, serta berpihak pada kemajuan daerah kita.

Mengharapkan tumbuhnya para pejuang di setiap bidang kehidupan masyarakat kita. Para kepala batu yang siap bertarung dengan apapun untuk memperjuangkan ide dan keberpihakannya pada masyarakat. Orang-orang yang siap mengambil pilihan berbeda ketika mayoritas memilih diam. Orang-orang yang siap berjalan di jalan sunyi meski sendiri.

Karena yang dicita-citakan adalah kebaikan dan bukan kepentingan diri sendiri. Berharap di masa depan akan semakin banyak pejuang yang lahir yang mau mengabdikan diri bagi daerah ini di berbagai bidang kehidupan, yang siap mengamalkan semboyan Somahe Kai Kehage untuk Sangihe I kekendage.

Akhirnya, semoga kita semua dilindungi oleh TUHAN yang maha kuasa. Jayalah selalu Kabupaten Kepulauan Sangihe, Selamat Ulang Tahun yang ke-597 Tahun
Somahe Kai Kehage.

Dumuhung, 31 Januari 2022

Penulis, Alfred Silangen Pontolondo, Koordinator Save Sangihe Island (SSI) dan aktivis 1998 di Yogyakarta.

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU