Jakarta-Ketidakadilan berlapis dialami oleh Masyarakat Adat di Kepulauan Aru
berpuluh-puluh tahun di atas tanah-air kelahirannya. Mereka menjadi korban akibat beragam tujuan atas nama Kepentingan Nasional dan Proyek Pembangunan yang tidak adil secara sosial dan ekologis. Untuk itu, harus segera diterapkan Peraturan Daerah Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Aru untuk Penyelesaian Konflik Agraria Struktural.
Hal itu terungkap dalam diskusi “Penguatan dan Percepatan Pelaksanaan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kepulauan Aru untuk Penyelesaian Konflik Agraria melalui Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 2 Tahun 2022” ” yang digelar Papua Study Center di Ruang Berkarya Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (5/7/2023).
Narasumber dalam ini, Prof. Dr. Ir. Endriatmo Soetarto, MA (Guru Besar Kajian Politik Agraria, IPB University); Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Mercy Chriesty Barends, ST (DPR RI, Dapil Maluku), Mufti Fathul Barri (Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia); Saurlin Siagian (Komisioner KOMNAS HAM) dan Erasmus Cahyadi (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN).
Dalam kajian Papua Study Center (PSC), proyek pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi minus pemerataan dan keadilan atas sumber-sumber agraria di Kepulauan Aru telah mengabaikan eksistensi Masyarakat Adat Aru. Niat pembangunan dikumandangkan negara dengan alasan percepatan pembangunan di Aru, tetapi secara nyata ‘pembangunan’ ini justru mendegradasi kehidupan masyarakat adat Aru karena hanya mengedepankan logika eksploitasi, ekstraksi dan komodifikasi Sumber Daya Alam, baik di laut maupun darat, untuk tujuan korporasi.
PSC mencatat berbagai konsesi masuk ke Kepulauan Aru dengan menyasar kawasan hutan. Misalnya, tahun 2010, Masyarakat Adat Aru harus berhadapan dengan Konsorsium PT. Menara Group yang mendapat konsesi izin perkebunan. Perusahaan ini akan membangun perkebunan tebu.
Menghadapi hal tersebut, masyarakat menggalang aksi perlawanan di bawah #SaveAru dan berhasil menjungkalkan PT. Menara Group. Keberhasilan gerakan #SaveAru ternyata tidak lantas menyelesaikan berbagai konflik agraria di Kep. Aru. Konsesi-konsesi lain berebut menyergap Kep. Aru, seperti rencana pembangunan Peternakan Sapi di bawah Perusahaan Jhonlin Group. Rencana pembangunan ini mengancam eksistensi masyarakat adat Kepulauan Aru dan alamnya.
Akar sistemik bagi masuknya konsesi ke Kepulauan Aru adalah kebijakan kehutanan. Hampir seluruh daratan Kepulauan Aru ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi konversi. Di mana kebijakan ini memudahkan izin untuk mengubahan kawasan hutan menjadi hutan tanaman industri, serta memudahkan konsesi lain masuk.
“Kebijakan ini membuat masalah agraria di Kep. Aru belum selesai hingga akarnya sehingga terus membuka peluang masuknya investasi,” kata Mufti Fathul Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI).
Menurut Mufti, akarnya adalah kebijakan kawasan hutan di Kepulauan Aru yang seperti tinggal melempar karet gelang saja dalam menentukan mana kawasan hutan produksi konversi, kawasan konservasi dan sebagainya. Kebijakan kehutanan ini tidak nyambung
dengan kondisi geografis Kepulauan Aru.
“Kita lupa kalau kita adalah negara kepulauan, persepsi dalam pembangunan harusnya kembali dalam marwah kepulauan, karena saat ini terlalu bias darat. Semua kebijakan yang turun dibawa ke wilayah kepulauan,” tutur Mufti.
Konflik Agraria Struktural
Peneliti Papua Study Center, Eko Cahyono mengatakan, kebijakan politik pembangunan dan agraria nasional yang mengabaikan dan minus kepekaan atas hak masyarakat adat, menjadi penyebab konflik agraria di Kepulauan Aru tak pernah kunjung padam.
Hal ini, katanya, dapat dilihat dari kasus paling mengemuka, yakni konflik masyarakat adat Kep. Aru dengan TNI Angkatan Laut. Sejak tahun 1990-an Masyarakat Adat Kepulauan Aru telah mengalami perampasan lahan akibat kehadiran TNI Angkatan Laut yang membangun pangkalan militer di Kepulauan Aru.
Menurutnya, kehadiran TNI Angkatan Laut melahirkan kekerasan berkepanjangan dalam bentuk intimidasi, perampasan ruang hidup dan pembatasan akses masyarakat atas sumber-sumber agraria mereka seperti kawasan berburu komunal, dan kawasan hutan. Terjadi manipulasi dalam meminta persetujuan masyarakat guna melepaskan lahan, kadang disertasi dengan cara-cara intimidatif dan pendekatan keamanan lainnya.
“Berlandaskan bukti-bukti hak kepemilikan tanah masyarakat yang manipulatif itulah klaim
atas tanah masyarakat dilakukan,” katanya.
Masyarakat adat Kepualauan Aru, jelas Eko, menggugat praktik-praktik manipulasi dan klaim kepemilikan tanah ke Pengadilan Negeri 1 Dobo pada November 2021. Ironisnya, gugatan mereka dikalahkan oleh hakim dengan argumen bahwa bukti-bukti yang diajukan masyarakat sangat lemah secara hukum.
Selain itu, katanya, sepanjang September-November 2022, perwakilan masyarakat adat Kep. Aru mendatangi instansi pemerintah untuk melakukan audiensi demi menagih keadilan. Mereka datang ke Kantor KOMNAS HAM, Kantor Sekretariat Presiden (KSP), Kementerian ATR BPN, DPR, Kementerian Pertahanan dan mereka juga mendatangi Markas TNI Angkatan Laut di Jakarta. Satu bukti perjuangan Masyarakat Adat Kep.Aru yang menempuh jalur konstitusional.
Menurutnya, jalur politik lain pun juga ditempuh, yakni mendorong PERDA Pengakuan Adat. Awal Tahun 2022, PERDA Adat No. 2 Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Aru Ursia Urlima pun terbit. Merespon terbitnya Perda tersebut, koalisi gerakan sipil untuk Kepulauan Aru merasa penting untuk mempercepat implementasinya.
“Perda pengakuan ini sebagai upaya menghalau laju bisnis ekstraktif yang makin masif di Kep. Aru memang belum tentu terbukti,” kata Eko Cahyono, peneliti dari Papua Study Center (PSC).
Menurut Eko, dengan Perda ini setidaknya menjadi dasar hukum bagi masyarakat ada dan hak-hak agrarianya. Sebab, sekarang telah ada pengakuan legal negara atas masyarakat adat di Kepulauan Aru. Ini satu hal penting.
“Langkah yang kemudian menjadi penting adalah diperlukan semua pihak untuk mendorong implementasi Perda pada tingkat Pemerintah Daerah, karena pada faktanya Pemda-lah yang mempunyai peran kunci dalam implementasi Perda ini. Misalnya Pemda perlu segera membentuk tim verifikasi masyarakat hukum adat yang mengakomodir semua pihak. Pemda juga harus menyiapkan bantuan anggarannya untuk mendukung Tim verifikasi Masyarakat Hukum Adat,” katanya.
Sementara itu, Mercy C. Barends, S.T, DPR RI untuk Dapil Maluku mengatakan, landasan
hukum tentang pengakuan masyarakat adat begitu banyak. Tetapi mengapa pengakuan
mereka begitu berlarut-larut? Butuh political will yang kuat dan lebih berpihak pada
kelompok masyarakat terpinggirkan, khususnya di Indonesia Timur. Selain itu, kebijakan
pembangunan nasional mesti lebih peka keragaman lokalitas.
Menurutnya, bukan mengulang penyeragaman model lama. Sehingga kebijakan pembangunan, khususnya di Kepulauan Aru mesti memahami sejarah dan watak masyarakatnya. Menurutnya, masyarakat di Kepulauan Aru berwatak nomaden laut, dengan sejarah panjang tenurial antar pulau, yang terikat dengan sejarah adat yang sama. Mengabaikan hak masyarakat adat atas tanah air di Kepulauan Aru akan menimbulkan goncangan sosial yang akan berakibat pada konflik dan perlawanan seperti terjadi sekarang.
Geopolitik
Sementara itu, Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina mengatakan, konflik dan krisis sosial-ekologis di Kep. Aru tidak bisa dilihat semata urusan daerah atau nasional namun juga bagian dari kontestasi kepentingan global. Sebab, posisi geografis dan sumber kekayaan alam di wilayah Kepulauan Aru demikian strategis dan kaya.
Engelina khawatir Kepulauan Aru jadi korban pertarungan pengaruh di Pasifik Selatan. Sebab, Menurut Engelina, pergeseran geopolitik ke kawasan Pasifik menjadikan kawasan Kepulauan Aru menjadi ajang rebutan pengaruh antara Amerika dan China. China memperkuat pengaruh melalui permodalan. Amerika merespon dengan menggandeng Australia dan United Kingdom (Britania Raya) untuk membangun aliansi baru AUKUS yang merupakan singkatan dari Australia, United Kingdom dan United States pada 2021.
Dengan posisi strategis secara politik ekonomi tersebut, menurut Engelina, upaya mensejahterakan masyarakat di Kepulauan Aru khususnya, dan Maluku secara umum, maka akan berarti menjaga pertahanan dan keamanan secara nasional. Dan sebaliknya, mengabaikan pemenuhan kesejahteraan mereka, akan berakibat pada ancaman keamanan dan pertahanan nasional.
Mimin Dwi Hartono dari KOMNAS HAM, mengatakan, sangat penting satu kebijakan
prioritas dan strategi khusus dan serius dalam upaya perlindungan atas hak asasi manusia dan ruang hidupnya di Kepulauan Aru. Upaya Komnas HAM melalui Inkuiri Nasional (2016-2017) untuk menyelesaikan konflik agraria, di tingkat hulu kebijakan, melampaui penyelesaian kasus-per kasus, khususnya untuk masyarakat adat masih relevan untuk dilanjutkan.
Sedangkan, Erasmus Cahyadi (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN) menegaskan, akar masalahnya adalah kemauan dan konsistensi negara dalam mengakui dan melindungi hak masyarakat adat di Indonesia sebagai warga negara yang sah. Sebab, upaya legislasi untuk mendorong payung hukum nasional, berupa UU Masyarakat Adat, hingga kini belum
diwujudkan.
Eras mengatakan, sulit memahami “niat baik negara” yang katanya berkomitmen menghormati hak masyarakat adat namun, praktiknya menghambat dan masih
mengabaikan usulan gerakan masyarakat adat dan kelompok masyarakat sipil lainnya yang
mendorong perlindungan hukum melalui UU Masyarakat adat.
Guru Besar Kebijakan Politik IPB University Prof. Endriatmo Soetarto, menjelaskan, sangat penting satu refleksi serius atas sistem politik berbangsa dan bernegara secara
nasional dalam konteks penghormatan dan perlindungan atas hak masyarakat adat di
Indonesia.
“Jika kini geliat gerakan masyarakat adat semakin kuat muncul menuntut hak-hak dasarnya, akibat ketidakadilan kebijakan pembangunan nasional, lalu apa akar masalahnya? Perlu refleksi tentang pembelajaran dalam mengasuh bangsa dan negara yang essensinya terletak pada pendekatan kesejahteraan, dilengkapi pendekatan kultural yang memihak (afirmatif) serta berkeadilan. Dengan pendasaran ini masyarakat Adat tidak boleh terlantar dan termiskinkan, bila kaca mata kemakmuran dipakai untuk tujuan pembangunan,” katanya.
Menurutnya, kalau masyarakat adat adalah warga negara yang sah di republik Indonesia ini, maka ia memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti warga negara lainnya di Indonesia, bukan semata-mata menjadi objek eksploitasi atau pembiaran tujuan pembangunan ekonomi politik yang secara konstitusional berlandaskan jiwa sosialisme kerakyatan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.(sp)