Jakarta– Pemerintahan Prabowo-Gibran sudah mulai melakukan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun, pemerintah harus berhati-hati dalam pelaksanaan program MBG, sehingga tidak memunculkan korban karena uji coba MBG. Apalagi, program BMG belum memiliki norma atau aturan yang benar-benar mampu menjamin pelaksanaan program.
Demikian Ketua STISIP Widuri, Prof. Dr. Robert M.Z Lawang dalamĀ Refleksi Awal Tahun 2025 yang digelar Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (DPP-PIKI) bertema āPangan dan Energi untuk Negeriā, di Kampus STISIP Widuri, Palmerah, Jakarta Barat, Kamis (30/01/2025). Robert Lawang memparkan materi Kebijakan Pangan dan Realisasi Makan Bergizi Gratis (MBG): Analisis Institusi Sosial.
Menurut Robert, dalam kondisi belum ada norma – aturan, maka sangat berpotensi menimbulkan trial and error (uji-coba-coba) dengan atau tanpa korban (ketidakadilan, kakacauan, inefisien, tidak efektif, mahal, pemborosan, dan sebagainya).
Dia mengingatkan, dalam praktik dimana politik menjadi panglima sebaiknya menghindari sikap jalan saja dengan penuh risiko, konsekuensi sosial yang tidak terkendali, disfungsi, sering menjadi lejitiamasi kesalahan dan kekeliruan. Sebab, program baru membutuhkan waktu, pola lama direproduksi, distrusting effects, stress karena kesenjangan antara keinginan politik dan keterbatasan kemampuan, free riders.
Robert MZ Lawang mengatakan, upaya pemenuhan pangan sebaiknya tidak hanya berorientasi di perkotaan. Sebab, sebagian besar rakyat Indonesia berada di pedesaan. Untuk itu, katanya, desa harus menjadi kunci ketahanan pangan dengan memanfaatkan keberadaanĀ Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Menurutnya, BUMDes bukan hanya berperan sebagaiĀ stimulus ekonomi lokal, tapi juga bisa menjadi pilar pendukung rantai pasokan kebutuhan masyarakat, serta sebagai pilar untuk menggerakkan ekonomi desa.
Dengan adanya kebijakan untuk memanfaatkan dana desa dalam program ketahanan pangan, maka program MBG bisa berkolaborasi dengan desa untuk memanfaatkan pangan lokal dengan penerapan teknologi tepat guna (TTG), yang didorong melalui kebijakan pemerintah.
Selain itu, kata Robert, pemerintah perlu membenahi mesin birokrasi yang efisien dan efektif dan perilaku masyarakat untuk mendukung pelaksanaan MBG secara berkelanjutan, terutama melalui transformasi sistem pengehidupan berkelanjutan. Untuk itu, program MBG membutuhkan kontrol sosial dalam pelaksanaan mengingat keterbatasan yang dapat menimbulkan masalah baru.
Dia juga menegaskan, program MB perlu dan dapat mendorong pembangunan berkelanjutan melalui transformasi sistem penghidupan terutama di daerah perdesaan. “Sebenarnya, pemerintah dapat mempertimbanggkanĀ sistem pendidikan asrama (boarding school) yang sudah lama dikembagkan institusi agama,” jelas Robert Lawang.(dd)