19 November 2025
HomeBeritaSegel Plastik Tambahan di Tutup Botol, Pengaman atau Gimmick Marketing?

Segel Plastik Tambahan di Tutup Botol, Pengaman atau Gimmick Marketing?

SHNet, Jakarta-Masih banyak konsumen percaya bahwa air minum dalam kemasan dengan segel plastik tambahan di atas tutup botol lebih aman dan higienis. Segel transparan yang menempel di leher botol itu seolah menjadi simbol sterilitas, seakan tanpa lapisan plastik tipis tersebut, air di dalamnya tak lagi terlindungi dari kuman. Padahal, menurut ahli pangan dan regulator, keyakinan itu lebih banyak didorong oleh persepsi, bukan bukti ilmiah.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memastikan bahwa semua produk air minum dalam kemasan yang beredar di Indonesia telah memenuhi standar keamanan dan mutu. Tutup botol yang digunakan setiap produsen harus sesuai ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan diproduksi dalam fasilitas yang menerapkan Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB). Dengan sistem itu, air yang masuk ke dalam botol tidak bersentuhan dengan udara luar, dan penutup botol berfungsi sebagai penghalang utama dari kontaminasi. Regulasi tersebut tidak pernah mewajibkan segel plastik tambahan, karena fungsi perlindungan sudah terpenuhi melalui desain tutup botol modern.

“Selama proses produksi dilakukan di ruang higienis dan sistem penyegelan berjalan baik, tutup botol tunggal sudah cukup untuk mencegah kontaminasi. Jadi, dengan disegel saja sudah cukup aman untuk melindungi cemaran masuk ke dalam AMDK-nya. Dan untuk bahan kontak pangan seperti plastik ini sudah diatur juga persyaratannya di peraturan BPOM,” kata Direktur Standardisasi Pangan Olahan BPOM, Dwiana Andayani.

Pernyataan itu sejalan dengan praktik industri global. Di berbagai negara, mulai dari Jepang, Thailand, hingga Eropa, jutaan botol air mineral beredar tanpa segel plastik tambahan, dan tidak ada laporan kasus kesehatan yang muncul akibat kontaminasi pada produk semacam itu.

Penelitian yang dilakukan banyak ahli kemasan dan ahli kesehatan dunia menunjukkan bahwa tutup botol berulir dengan desain kedap udara yang sekarang digubakan oleh banyak produk mampu menahan debu dan mikroorganisme dari luar dalam kondisi normal penyimpanan. “Yang membuat air tetap aman adalah proses produksi dan desain tutupnya, bukan plastik tambahan di luar. Dengan disegel saja sudah cukup, karena segel itu sendiri sudah merupakan tamper evident band untuk kontaminan dari luar,” kata Pakar Teknologi Plastik lulusan Darmstadt University of Applied Sciences di Jerman, Oka Tan.

Menurutnya, industri yang memproduksi kemasan pangan seperti tutup botol AMDK itu juga harus tersertifikasi FSSC atau Food Safety System Certification yang merupakan bagian dari ISO 22000. “Mereka harus sudah memiliki standar itu,” katanya.

Jadi, menyebut penggunaan segel tambahan itu hanya lebih bersifat upaya marketing semata dengan memberi kesan menakut-nakuti (fear mongering). Namun dampaknya bagi lingkungan tidak kecil. Segel plastik tambahan dibuat dari bahan tipis transparan yang sulit dikumpulkan dan hampir tidak bisa didaur ulang. Banyak yang berakhir di sungai atau laut, menjadi bagian dari polusi mikroplastik yang kian sulit ditangani.

Lembaga lingkungan seperti Gerakan Indonesia Bersih Plastik menilai bahwa kebiasaan industri mempertahankan segel plastik tambahan adalah langkah mundur di tengah upaya mengurangi sampah plastik sekali pakai. “Segel itu kecil, tapi volumenya besar dalam akumulasi limbah. Padahal secara fungsi sudah tidak relevan,” ujar juru kampanye organisasi tersebut.

Di Thailand, gerakan Abandon the Cap—kampanye nasional untuk menghapus segel plastik tambahan pada botol air—sudah berlangsung sejak 2018. Pemerintah setempat bersama produsen besar dan asosiasi pengemasan menyepakati penghapusan segel tambahan tanpa menurunkan standar keamanan pangan. Kampanye serupa kini mulai diikuti di sejumlah negara lain sebagai bagian dari komitmen pengurangan sampah plastik sekali pakai.

Wawan Some, aktifis lingkungan dari Komunitas Nol Sampah mengatakan sebaiknya memang tidak perlu lagi menggunakan segel plastik untuk tutup botol di air minum dalam kemasan. Menurutnya, itu sebagai upaya mengurangi pemakaian plastik. “Apalagi ukurannya kecil seperti itu malah sulit dikumpulkan untuk didaur ulang. Apalagi kalau yang digunakan itu jenis plastik PVL atau PVC, itu bisa berbahaya bagi kesehatan. Artinya, langkah perusahaan di Indonesia yang menggunakan kembali seal tambahan merupakan langkah mundur dalam menjaga lingkungan,” kata Wawan.

Sementara itu, di Indonesia, sebagian besar produsen besar air minum sudah tidak lagi menggunakan segel plastik tambahan. Merek-merek yang tetap mempertahankannya kini menjadi minoritas, meskipun kadang menjadikan segel itu sebagai argumen pemasaran bahwa produk mereka “lebih aman” atau “lebih terlindungi”. Klaim itu perlu diuji, sebab jutaan botol tanpa segel tambahan telah beredar selama bertahun-tahun tanpa satu pun laporan gangguan kesehatan yang tercatat oleh BPOM.

Pada akhirnya, keamanan air minum dalam kemasan tidak ditentukan oleh seberapa banyak lapisan plastik menutupinya, melainkan oleh seberapa disiplin produsen menjaga kebersihan dan standar produksinya. Segel plastik tambahan mungkin memberi kesan aman, tetapi sesungguhnya hanya menambah beban lingkungan tanpa memberi manfaat nyata bagi kesehatan. Bagi konsumen, cukup pastikan botol tertutup rapat, labelnya berizin BPOM, dan kemasannya utuh—tanpa perlu percaya bahwa plastik tipis di atas tutup botol adalah pelindung terakhir dari bahaya yang tidak ada.

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU