29 March 2024
HomeBeritaTidak Hanya Pada Kemasan, Zat Kimia Pada Pangan Juga Lebih Berbahaya

Tidak Hanya Pada Kemasan, Zat Kimia Pada Pangan Juga Lebih Berbahaya

SHNet, Jakarta-Ramainya isu tentang bahaya zat kimia pada kemasan pangan, khususnya kemasan air minum dalam kemasan (AMDK) memicu kekhawatiran masyarakat. Padahal cemaran zat kimia pada kemasan jauh lebih rendah dibanding cemaran zat kimia aditif yang langsung dicampurkan pada pangan. Seperti penggunaan zat pewarna (rhodamin) atau zat pengawet (formalin) pada jajanan anak dan jajanan kekinian seperti otak-otak, cireng, tahu bulat dan lainnya. Belum lagi minuman warna warni yang semakin beragam jenisnya dan banyak dijual dipinggir jalan.

Untuk kemasan sendiri terdapat banyak jenis kemasan lain yang sebenarnya jauh lebih berbahaya karena tidak secara spesifik diatur ambang batas penggunaan zat kimianya serta edukasi yang minim dari pemerintah tentang potensi cemarannya, seperti styrofoam, kertas nasi dan kemasan multilayer.

Keamanan pangan dan keamanan kemasan pangan menjadi dua hal yang berbeda namun sama-sama wajib diperhatikan oleh masyarakat. Pasalnya, kedua hal tersebut dewasa ini tidak bisa dipisahkan antara pangan dan kemasannya. Mengenai hal tersebut pakar menilai bahwa zat aditif pada pangan lebih berbahaya daripada zat pada kemasan pangan. Zat kimia aditif pada pangan dapat langsung terkonsumsi oleh tubuh tanpa adanya perantara, sedangkan zat kimia dalam kemasan pangan sifatnya migrasi dan tidak terkonsumsi langsung oleh tubuh.

“Kalau dari segi kemungkinan masuk kedalam tubuh paling besar dari food additive ya karena langsung (masuk ke dalam tubuh) tapi  kalau dari kemasan pangan itu kemungkinannya kecil.” Ujar dosen biokimia dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan ALAM (MIPA) Institut Pertanian Bogor (IPB), Syaefudin PhD, ketika ditemui di kantornya pada Kamis, (22/12).

Kendati demikian, menurut Syaefudin, zat kimia adtif tetap dianggap aman untuk dicampur ke dalam pangan dengan syarat sudah memenuhi kualifikasi food grade. Karena zat kimia aditif yang food grade dapat dengan mudah di metabolisme dan dikeluarkan oleh tubuh sedangkan yang non-food grade tidak.

“Kalau food grade additive tentu saja sudah diakui dan ketika masuk dalam tubuh bisa dimetabolisme. Hanya saja untuk bahan-bahan aditif yang tidak foodgrade biasanya masuk, lalu tubuh itu mengenalinya sebagai benda asing.  Karena dia mengenalnya sebagai benda asing maka dari itu harus dikeluarkan,” terang Syaefudin.

Syaefudin menambahkan bahwa proses metabolisme yang disebut glucuronidase, bertujuan untuk mengeluarkan zat kimia yang terkonsumsi oleh tubuh dapat dikeluarkan melalui urin dan keringat. Hal ini dikarenakan tubuh memiliki mekanisme sendiri. Ia juga menerangkan bahwa setiap zat kimia memiliki karakteristik struktur yang berbeda, jika strukturnya senyawanya mudah dikenali tubuh maka ia akan lebih mudah di glucuronidase oleh tubuh menjadi senyawa yang dapat dikeluarkan tubuh seperti halnya BPA.

“Nah itu kan masuk kedalam tubuh (Zat kimia) dan tubuh punya mekanisme sendiri. Misalkan kalau BPA bisa dikenali kan dan bisa dimetabolisme kalau di toksikologi dan biokimia  namanya glukoronidase dan sulfonasi. Jadi dia bisa mengubah menjadi senyawa yang bisa dikeluarkan,” tambahnya.

Akan tetapi melihat perkembangan kuliner saat ini banyak kasus oknum pedagang yang “nakal” atau “tidak paham” mencampurkan zat kimia aditif non-food grade seperti zat pewarna ataupun pengawet ke dalam pangan.

“Biasanya kan penjual menggunakan itu (zat kimia aditif non-food grade) karena bisa jadi mereka tidak tahu atau bisa jadi itu lebih murah dibandingkan food grade colour atau zat (kimia) pewarna yang food grade” ujar Syaifudin.

Disamping itu Syaefudin juga menekankan bahwa  tidak hanya keamanan pangan yang menjadi persoalan, mengenai kemasan pangan yang dipakai sebagai pembungkus makanan pinggir jalan atau warung nasi juga harus diperhatikan seperti Styrofoam dan kertas minyak pembungkus nasi. Pasalnya, kedua bungkus tersebut mengandung phthalate dan tidak ada jaminan bahwa kadar zat kimianya sesuai dengan ambang batas aman yang ditentukan.

“Styrofoam pada beberapa negara itu dilarang ya, karena Styrofoam atau plastik untuk bungkus nasi itu seperti yang di warung makan itu sebenarnya mengandung phthalate. Plasricizer sebenarnya itu yang buat bahan itu jadi lentur. Ketika masuk kedalam tubuh, tubuh tidak bisa mengeluarkannya, susah. Sama seperti rhodamine, susah mengeluarkannya makanya biasanya ini dilarang,” tambah Syaefudin. (cls)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU