Jakarta– Maluku merupakan provinsi miskin sesuai data statistik resmi pemerintah. Dari satu rezim ke rezim yang lain tidak pernah menyentuh akar persoalan yang ada di Maluku. Untuk itu, orang Maluku tidak boleh lagi terbuai janji manis siapapun calon presiden 2024 tanpa menunjukkan itikad nyata (political will) untuk mengangkat Maluku dari keterpurukan. Capres wajib menunjukkan solusi konkrit untuk mengeluarkan Maluku dari kemiskinan.
Hal ini terungkap dalam diskusi terbatas yang membahas Maluku di Jakarta, Minggu (23/10/2022). Acara bincang santai ini dihadiri Tokoh senior Maluku, Amir Hamzah Marasabessy, kalangan intelektual asal Maluku, seperti Peneliti Utama BRIN, Dr. Augy Syahailatua, Dr. Yulius Latumerissa, Dr. Ishak Tan, Dr. Edwin Matatula, Aden Pasolo, SH (FPMM), Badri Tubaka (FPMM), Ajun Banda, SE (FPMM), dan juga anak muda Maluku, Viona Pattiiha, Imelda Tutuarima dan Syarkiah Aulia.
“Harus diakui ada kebijakan yang memang secara sistematis merugikan Maluku. Misalnya, pembatasan kewenangan daerah di laut yang hanya 12 mil. Ini sangat merugikan kepentingan Maluku yang sebagian besar merupakan wilayah laut,” jelas Direktur Archipelago Solidarity Foundation Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina.
Menurut Engelina, sebenarnya semua orang Maluku yang berada dalam sistem, perlu memperjuangkan untuk menghapus ketentuan ini, sehingga Maluku memiliki kesempatan yang luas untuk memanfaatkan potensi kekayaan laut untuk kesejahteraan rakyat.
“Sejauh ini tidak ada terobosan yang benar-benar mampu menghapus kemiskinan di Maluku. Karena kalau mengandalkan APBN dan APBD sangat sulit untuk keluar dari kemiskinan, karena tantangan Maluku sebagai wilayah kepulauan,” jelasnya.
Di satu sisi, katanya, penentuan alokasi anggaran itu masih menggunakan formula jumlah penduduk dan luas wilayah daratan. Hal ini semakin menyulitkan, karena Maluku terdiri dari pulau-pulau kecil, sehingga lebih dari 90 persen wilayah merupakan wilayah laut. Jumlah penduduk Maluku 1,8 juta. Artinya, anggaran yang diperoleh akan seperti itu dari tahun ke tahun.
“Kalau seperti ini, ya akan seperti itu seterusnya, sehingga butuh terobosan. Sebab, sangat aneh kalau penduduk Maluku yang hanya 1,8 juta tidak mampu sejahtera di atas kekayaan alamnya. Ini berarti ada yang keliru dalam mengelola Maluku,” tegasnya.
Tokoh senior Maluku, Amir Hamzah Marasabessy, juga senada dengan Engelina, mengatakan kalau kekayaan Maluku belum mampu dikelola untuk membawa kesejahteraan di Maluku. Tapi, hal itu bukan semata karena orang Maluku, tetapi karena kebijakan untuk Maluku diperlakukan sama dengan daerah lain yang terdiri dari daratan.
Sebenarnya, kata Amir Hamzah, Maluku membutuhkan kebijakan a-simetris, sehingga Maluku memiliki kewenangan untuk mengatur memanfaatkan potensi yang ada di Maluku. Kalau sebagian besar, wilayah Maluku terdiri dari laut, semestinya urusan perikanan dan kelautan itu bukan lagi sebagai urusan pilihan dalam kebijakan pemerintah, tetapi merupakan urusan wajib.
“Wilayah laut di Maluku jangan dibatasi hanya 12 mil dari pantai, tetapi kalau perlu 12 mil dari titik terluar pulau di Maluku. Yang jelas kita membutuhkan kewenangan asimetris untuk mempercepat ketertinggalan di Maluku,” kata Amir Hamzah.
Sementara itu, Dr. Ishak Tan yang pernah memimpin Universitas di Pulau Buru, mengatakan, Maluku perlu melaukan pembenahan secara internal dan eksternal, guna membangun semangat kebersamaan dalam berbagai perbedaan.
“Tuntutan zaman mengharuskan kita untuk berkolaborasi. Kita tidak bisa lagi jalan sendiri-sendiri atau mau pintar sendiri. Yang pintar itu kalau semangat kerja sama mulai dari kelompok kecil masyarakat,” katanya.
Selain itu, kata Ishak, Maluku perlu memprioritaskan pembangunan SDM yang berkualitas melalui pendidikan, sehingga anak-anak Maluku memiliki keahlian untuk menjawab tantangan zaman. Untuk itu, pendidikan vokasi harus didesain berbasis produksi, sehingga menghasilkan output yang nyata.
Secara eksternal Maluku, kata Ishak Tan, Maluku perlu mengambil momentum saat ini, meskipun sebagai provinsi, tetapi melihat posisinya yang strategis dalam perkembangan di kawasan pasifik. Selain itu, jelas Ishak, dunia sedang bergerak untuk menghadirkan dan memanfaatkan green dan blue energy atau energi hijau dan biru.
“Mengapa Maluku tidak menyatakan dirinya mendorong dan mempercepat penerapan energi seperti itu di Maluku? Karena masa depan dunia akan seperti ini,” jelasnya.
Ishak juga mengharapkan adanya kerjasama dari berbagai tingkatan, sehingga bersatu-padu membangun Maluku. Sebab, tidak mungkin Maluku berkembang dan maju tanpa kolaborasi dari semua pihak.
Dosen dan Peneliti Ekonomi, Yulius Latumerissa, setidaknya ada 23 isu strategis yang mempengaruhi ketertinggalan di Maluku, namun tiga di antaranya, krisis kepemimpinan, infrastruktur dan kurangnya kebersamaan.
Menurut Yulius, ketertinggalan dan kemiskinan di Maluku merupakan proses akumulasi dari masa lalu. Meskipun ada andil pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah juga sebenarnya bias mengambil kebijakan untuk menghapus kemiskinan.
Persoalan infrastruktur, katanya, merupakan tantangan nyata di Maluku sebagai Provinsi Kepulauan. Tetapi, hal itu adalah fakta yang harus dicarikan solusi, karena dari nenek moyang memang sudah seperti itu, sehingga tidak boleh menyalahkan kondisi geografis tetapi secara konsisten mencari jalan keluarnya.
Menurutnya, Maluku perlu membangun kebersamaan yang kuat untuk mengatasi persoalan yang dihadapi Maluku secara bersama-sama. Hal ini, katanya, harus mendapat perhatian agar perbedaan bukan sebagai masalah tetapi menjadi satu kekuatan bagi orang Maluku.
Akademisi lulusan Jerman, Dr. Edwin Matatula, mengatakan, orang sebenarnya memiliki kecerdasan pikiran yang sangat bagus, tetapi seperti terjadi dimana-mana, selain kecerdasan pikiran juga membutuhkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Gabungan ketiga kecerdasan ini, katanya, akan menjadikan orang Maluku yang sangat berkualitas.
Edwin mengatakan, lembaganya secara khusus mendidik anak-anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Untuk itu, jelas Edwin, dia sering ke berbagai daerah di Maluku dan daerah di luar Maluku untuk mencari anak-anak jenius untuk diarahkan dalam mengembangkan kualitas diri.
Dia mengharapkan, adanya prioritas bidang pendidikan, karena hal itu akan menentukan seperti apa arah Maluku ke depan, sehingga perlu perencanaan yang lengkap. Namun, rencana tidak mungkin lahir tanpa dukungan data yang berkualitas.(den)