SHNet, JAKARTA – Pilkada Serentak 2024 sudah tinggal menghitung hari. Hampir sama dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) awal tahun ini, jelang Pilkada Serentak ini berbagai dinamika demokrasi terjadi di masyarakat. Tak hanya perang kampanye secara positif, jelang Pilkada Serentak juga diwarnai ulah pihak tertentu yang secara inkonstitusional menyebarakan narasi khilafah sebagai solusi alternatif bernegara di Indonesia.
Padahal sejatinya dalam pesta demokrasi harus secara konstitusional.
Pakar Komunikasi Politik Dr. Hendri Satrio, menilai gaung narasi khilafah yang saat ini tersebar di media sosial tidak sebesar dulu. Namun sepatutnya langkah-langkah inkonstitusional itu tidak dilakukan karena jelas khilafah bertentangan dengan ideologi Pancasila.
“Penurunan sebaran dari narasi khilafah ini berarti masyarakat Indonesia sudah semakin memahami bahwa Pancasila adalah dasar negara yang memang harus diimplementasikan, sementara khilafah memang tidak sesuai dengan apa yang ada di Indonesia atau kehidupan bernegara bangsa Indonesia,” kata Hendri di Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Hensat, panggilan karib Hendri mengungkapkan, narasi khilafah yang kembali bermunculan di media sosial bertepatan dengan penyelenggaraan pemilihan umum biasanya menyasar golongan masyarakat tertentu. Pria yang pernah menulis buku berjudul “Momentum: Karir, Politik, dan Aktivitas Media Sosial” menilai, golongan masyarakat yang rentan disusupi propaganda radikal semacam ini adalah mereka yang belum sepenuhnya memahami kehidupan bernegara dengan berlandaskan Pancasila.
“Oleh karena itu, memang pekerjaan rumah besar bagi Pemerintah untuk terus-menerus menggaungkan kehidupan berlandaskan Pancasila. Pemerintah juga perlu mengajak para tokoh agama, alim ulama untuk terus-menerus menyadarkan kelompok masyarakat yang masih menginginkan khilafah hadir di Indonesia sebagai hal yang harus diubah. Pelibatan alim ulama dalam penyadaran kehidupan berPancasila itu penting, sehingga yang masih terpengaruh oleh narasi khilafah menjadi berkurang dan akhirnya tidak ada,” tambahnya.
Menurutnya, penggunaan instrumen agama pada perhelatan politik memang bukanlah hal baru. Di Indonesia sendiri, hal masih mendapatkan tempat di beberapa golongan masyarakat karena semangat agama yang kuat namun tidak dibarengi dengan literasi agama yang mumpuni. Hal ini mengakibatkan mengakarnya pemahaman agama yang hanya sebatas tekstual saja tanpa mampu mendalami maksud dan tujuan turunnya suatu dalil keagamaan.
Hensat menilai bahwa konsep moderasi beragama yang selama ini diusung oleh Pemerintah Indonesia adalah cara yang efektif dalam menjembatani berbagai perbedaan masyarakat Indonesia. Menurutnya, moderasi beragama artinya saling menghormati agama lain dan kemudian bertoleransi terhadap ajaran-ajarannya tapi tetap berlandaskan Pancasila, terutama sila pertama ketuhanan yang Maha Esa.
“Tanpa ada kesadaran untuk menjalankan moderasi beragama, Indonesia yang memang beraneka ragam suku, bangsa, dan agamanya ini menjadi sulit untuk dipertahankan. Maka dari itu moderasi beragama adalah hal utama yang harus dimengerti oleh seluruh masyarakat Indonesia,” tegas akademisi Universitas Paramadina ini.
Lebih lanjut, Hensat menguraikan narasi dan propaganda ideologi transnasional seperti seruan khilafah bisa mendapatkan tempat karena masih ada ketimpangan sosial dan ekonomi yang dirasakan masyarakat. Jika ingin benar-benar menghilangkan propaganda yang merusak stabilitas nasional, tidak ada cara yang lebih efektif dibandingkan dengan meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia.
“Cara paling efektif adalah pemenuhan kebutuhan ekonomi sehingga masyarakat lebih sejahtera. Pada saat masyarakat sejahtera, ekonomi kebutuhannya terpenuhi atau kebutuhan ekonominya terpenuhi, maka tingkat kepercayaan terhadap Pancasila akan semakin besar. Sehingga mereka tidak lagi perlu mencari ideologi-ideologi lain, ajaran-ajaran lain, dan hal-hal lain yang tidak ada kaitannya dengan Pancasila termasuk khilafah,” ungkapnya.
Ia menilai, bahwa tidak bisa dipungkiri bahwa kemiskinan adalah akar dari berbagai permasalahan. Terkait dengan penyelenggaraan Pilkada yang demokratis dan efektif, rendahnya tingkat kesejahteraan dan pendidikan masyarakat lagi-lagi menjadi pintu masuk mudahnya politisasi agama menghampiri kelas ekonomi menengah ke bawah.
Hensat berharap agar penyelenggaraan Pilkada serentak di tahun ini bisa menjadi tolak ukur praktik demokrasi yang sesuai dengan perundang-undangan yang ada. Keputusan yang diambil oleh masing-masing individu dalam menentukan pilihannya pun diharapkan tidak berasal dari pengaruh eksternal yang tidak dibenarkan dalam peraturan pemilu.
“Harapannya adalah masing-masing kepala daerah atau calon-calon kepala daerah bisa menjalankan demokrasi dengan baik. KPU dan Bawaslu juga menjalankan demokrasi dengan baik, sehingga calon-calon yang terpilih memang benar adalah calon pilihan rakyat, bukan pilihan yang dipaksakan kelompok tertentu terhadap pilihan rakyat. Semoga calon-calon terbaiklah yang menang dan berhasil menjadi pemimpin di daerah itu,” pungkasnya. (Non)