16 September 2024
HomeBeritaPementasan Teater Monolog Drupadi Menghadirkan Drama Klasik sebagai Tragedi Baru

Pementasan Teater Monolog Drupadi Menghadirkan Drama Klasik sebagai Tragedi Baru

SHNet, Jakarta-Ketika pentas monolog Drupadi tengah berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Jumat malam (2/06/2023), menjelang akhir, Drupadi yang dperankan Agung Ocha mengungkapkan dendamnya dalam kalimat penuh ancaman, “Aku akan mencuci rambutku dengan darah para ksatria yang telah melecehkan ku.” Di bagian lain, Drupadi juga melontarkan ancaram serius, “Akan kuhancurkan mereka yang selama ini merendahkan perempuan, Aku akan merusak kerajaan yang selama ini bermewah-mewah, Aku akan masuk ke anak keturunan mereka…….agar mereka tahu.”

Ya, kisah Drupadi dari Kerajaan Drupada yg termaktub dalam Kisah Mahabarata, terasa sangat relevan, atau kata Co-producer, Inayah Wahid, sangat related dengan situasi kekinian yang dialami perempuan. Mengapa? Naskah drama klasik yang menggambarkan perempuan di titik nadir dan menjadi eksploitasi laki-laki, seakan tak pernah sirna, malam silih berganti dalam dunia nyata. Buktinya? Lihat saja pemberitaan yang sangat menyayat tentang nasib perempuan di Tanah Air kita.

Pertunjukan Drupadi yang digagas Arcana Foundation dan Kitapoleng Bali ini, akan menjadi refleksi bagi masyarakat modern dalam melihat kondisi kita hari ini. Putu Fajar Arcana alias Bli Can yang menulis naskah ini di tengah situasi Covid-19 dua tahun lalu ingin merefleksikan kegelisahanya tentang perempuan dan upaya itu berhasil, meski banyak cerita kesulitan untuk mendapatkan gedung, dan kendala lainnya.

Pementasan Teater Monolog Drupadi, merupakan suatu upaya menghadirkan drama-drama dalam kisah klasik sebagai tragedi baru. Isu tentang perempuan mendapatkan porsi perhatian dominan, yang dipresentasikan dalam bentuk monolog, koreografi, nyanyian, musik, tata cahaya, dan juga permainan teknologi visual. Kemungkinan itu dilakukan untuk mendekatkan panggung pertunjukan dengan kenyataan hidup masyarakat modern belakangan ini.

Menurut Sutradara dan Penulis Naskah Teater Monolog Drupadi Putu Fajar Arcana, kemegahan dan kemewahan hidup masyarakat modern, justru tidak membantunya beranjak dari perbuatan di luar batas-batas logika. Bahkan, prilaku amoral dilakukan oleh orang-orang yang diberi tugas menjaga batas-batas kewarasan sebagai makhluk bernama manusia. Celakanya, dalam rangkaian prilaku bejat itu sebagian besar menimpa perempuan.

“Drupadi adalah representasi dari kehancuran moralitas manusia terendah yang pernah menjadi isu dalam dunia sastra kita. Sebagai perempuan tubuhnya dieksploitasi oleh dua kekuatan dominan di dunia, yakni maskulinitas dan kekuasaan atau masculinity is power,” ujar Putu dalam jumpa pers menjelang pertunjukan Teater Monolog Drupadi, Jumat (2/3/2023) di Gedung Kesenian Jakarta. Sabtu malam (3/06/2023) Drupadi akan kembali di pentaskan di GKJ.

Menurut Putu, tidak mudah untuk mencairkan kekuatan dominan, yang telah melekat selama berabad-abad. Ia memberi contoh betapa maskulinitas dan kekuasaan itu telah menyebabkan begitu banyak kasus tentang pelecehan terhadap perempuan. Kasus-kasus pelecehan secara seksual dan kekerasan terhadap perempuan seperti gunung es, yang hanya terlihat puncak-puncaknya.

Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan bahwa sepertiga perempuan di dunia, atau sekitar 736 juta orang, pernah mengalami kekerasan dari kekerasan fisik sampai kekerasan seksual. WHO telah menganalisis data hasil survei di 161 negara antara tahun 2000 sampai 2018 untuk menghasilkan estimasi terbaru. Namun, riset mereka belum memasukkan data selama pandemi Covid-19.

Hal yang mencengangkan, data WHO menyebutkan kekerasan oleh pasangan sebagai bentuk pelecehan yang paling banyak dilaporkan. Sekitar 641 juta perempuan mengaku pernah mengalami kekerasan dari pasangannya. Selebihnya, 6 persen perempuan mengatakan mereka pernah diserang oleh orang lain, yang bukan suami atau pasangan mereka.

Salah satu adegan Drupadi

Penyadaran dalam Teater

Data ini, menurut Putu adalah sebagian dari tragedi hidup masyarakat modern. Oleh sebab itu, sejak awal Arcana Foundation sangat perduli terhadap isu-isu yang menyangkut kekerasan terhadap perempuan. Bersama Produser Joan Arcana dan Co-Produser Inaya Wahid, ia telah menampilkan berseri-seri tragedi yang dihadapi perempuan di atas panggung. Sejak mementaskan Repertoar Gandamayu (2012), Tiga Perempuan: Bukan Bunga Bukan Lelaki (2016), Perempuan Dangdut (2017), dan Drupadi (2022), isu perempuan terus-menerus digaungkan ke hadapan publik seni di Tanah Air.

Pementasan Teater Monolog Drupadi kali ini, menurut Co-Produser Inaya Wahid, dihelat atas kerja sama dengan Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Indonesia Kaya, dan Sukkha Citta. “Kami memiliki misi yang sama, terutama soal- soal pendidikan dan penyadaran. “Jadi kalau ini dianggap sebagai gerakan boleh juga, tetapi gerakan penyadaran lewat seni dan kebudayaan,” kata Inaya, putri bungsu Presiden Abdurrahman Wahid itu.

Menurut Inaya, kesenian dalam hal ini teater, sangat ideal dijadikan arena penyadaran bersama. Hal itu karena seni bergerak di wilayah hati dan emosi. “Jadi seni itu kan langsung ke hati dan panggung adalah refleksi dari wajah kita masing-masing. Dari situ kita berharap muncul sebuah perenungan bersama terhadap nilai-nilai yang kurang baik. Harapannya bisa mengoreksi prilaku kita masing-masing, bersama-sama,” kata Inaya.

Pementasan Teater Monolog Drupadi dikemas dalam perpaduan antara drama monolog, tarian, nyanyian, musik, dan tata tenologi modern dalam porsi yang setara. Pentas ini melibatkan puluhan seniman muda berbakat dari Bali, yang sangat fasih menguasai dasar-dasar seni tradisi. Di antara seniman muda itu terdapat 8 (delapan) penari, yang akan membawakan 4 (empat) koreografi karya Jasmine Okubo. Jasmine sepenuhnya menciptakan koreografi baru sebagai upaya tafsirnya terhadap naskah yang ditulis Putu Fajar Arcana.

Selain itu terlibat pula aktris dan musisi Ayu Laksmi. Ayu secara khusus menciptakan 2 (dua) buah lagu yang nanti akan dinyanyikan oleh Agung Ocha, sebagai pemeran utama monolog. Menurut Ayu Laksmi, ia merasa sangat cocok dengan lirik-lirik puisi yang ditulis Bli Can, sapaan akrab Putu Fajar Arcana. “Liriknya mudah dinyanyikan, seperti sudah berirama dan sesuai dengan warna lagu dari saya,” ujar Ayu sembari mengatakan ia berusaha maksimal dalam menciptakan lagu untuk pementasan ini.

Dalam pentas ini terlibat pula dua musisi muda yang tergabung dalam Kadapat. Mereka adalah Yogi Sukawiadnyana dan Barga Sastrawadi. Keduanya menguasai musik tradisi secara baik, tetapi kemudian menyajikannya dengan selera baru, selera anak muda masa kini. “Basis kami tetap tradisi, tetapi kami sajikan dengan cara baru, sehingga bentuk-bentuk seperti gamelan lahir sebagai musik baru,” ujar Yogi.

Koreografer yang apik di pentas Drupadi

Bli Can mengatakan ia berupaya menyajikan pertunjukan yang akrab dengan selera tontonan masa kini. Artinya, bentuk yang dipilihnya mengikuti alur kebudayaan yang kini menjadi lingkup manusia keknian. Oleh sebab itu, dalam monolog ini aktor utama Agung Ocha, harus mampu menyeimbangkan antara monolog dengan tarian, nyanyian, musik, artistik, dan tata visual. “Ini berat sekali buat saya sebagai aktor baru,” kata Ocha. Ia sendiri tidak menduga mendapat tugas demikian kompleks dalam pertunjukan ini.

“Monolog di sini tidak berdiri sendiri, tetapi harus merespons segala unsur yang membangun sebuah petunjukan teater. Itu semuanya penerjemahan dari ide tentang kehidupan perempuan bernama Drupadi, yang penuh tragedi,” ujar Agung Ocha, yang telah berlatih tekun sejak tahun 2022 untuk mendalami karakter Drupadi.

Bli Can menambahkan, drama-drama dalam kisah klasik sebenarnya masih sangat relevan dihadirkan ke ruang publik kontemporer. Banyak kisah hidup tokoh, seperti Drupadi, yang bisa ditampilkan di tengah-tengah tragedi yang dialami oleh masyarakat modern dewasa ini. Ceritanya boleh berganti, tetapi drama-drama dan tragedi hidup manusia, terutama perempuan seperti tak berkesudahan. (sur)

 

 

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU