7 December 2024
HomeBeritaPersoalan Mendasar Sulitnya Menyelesaikan Masalah ODOL

Persoalan Mendasar Sulitnya Menyelesaikan Masalah ODOL

SHNet, Jakarta-Hingga kini, penyelesaian masalah Over Dimension Overload (ODOL) belum juga menemukan solusinya. Ada beberapa persoalan mendasar yang menjadi perhatian pemerintah sebelum menerapkan Zero ODOL. Apabila itu tidak dibenahi, maka persoalan ODOL diperkirakan akan terus terjadi.

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Agus Taufik Mulyono, mengatakan salah satu problem yang harus diselesaikan pemerintah adalah masalah status dan fungsi jalan yang masih karut-marut dan tidak jelas. Sementara, ketika mengangkut barang dari pabrik ke tempat tujuannya, truk-truk tersebut akan melewati jalan yang statusnya beda, mulai jalan desa, kabupaten, kota, provinsi, dan arteri (nasional). “Hal tersebut merupakan problem klasik yang masih belum diselesaikan hingga saat ini,” katanya.

Saat melalui jalan yang berbeda-beda itu, menurutnya, truk-truk itu tidak mungkin akan menurunkan barang-barang bawaannya saat akan pindah jalan. Apalagi, saat membongkar muatannya itu, dibutuhkan yang namanya terminal handling sebagai tempat untuk mengumpulkan barang-barang yang kelebihan muat. “Masalahnya, terminal handling ini tidak pernah ada karena memang tidak diwajibkan dalam undang-undang,” tukas Agus.

Fakta-fakta tersebut yang menurut Agus akhirnya membuat jalan-jalan itu, khususnya jalan yang ada di kabupaten banyak yang rusak karena harus dilalui truk-truk besar. “Jadi, karut-marut antara kelas, fungsi dan status jalan inilah sebetulnya yang menjadi penyebab hancur-hancuran jalan itu. Artinya, penerapan kelas jalan itu tidak sesuai dengan penerapan status jalannya,” tukas Agus.

Agus mengatakan carut-marutnya kelas, fungsi, dan status jalan itu tersebut terjadi lantaran tidak adanya keselarasan antara UU Jalan dengan UU Lalu Lintas tidak pernah sinkron. “Kelas jalan, dikaitkan dengan fungsi jalan, dikaitkan status jalan, tidak pernah ketemu. Jadi, masalah ODOL ini tidak akan pernah bisa diselesaikan. Mau diselesaikan pakai apa?” ucapnya.

Untuk bisa menjalankan kebijakan Zero ODOL, juga diperlukan pembenahan terhadap sumber daya manusia (SDM) dan perangkat peralatannya di jembatan timbang. Jika itu belum dilakukan maka akan sulit bagi Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk menerapkan kebijakan tersebut.

Anggota Dewan Pakar Gerindra sekaligus praktisi transportasi dan logistik, Bambang Haryo Soekartono, mengatakan jumlah sumber daya manusia (SDM) di jembatan timbang itu sangat kurang dan peralatannya juga banyak yang sudah rusak. Selain itu, dari total 141 jembatan timbang di seluruh Indonesia, sampai dengan sekarang ini hanya 25 jembatan timbang yang dibuka. Dan itupun tidak beroperasi 24 jam, tapi hanya 8 jam saja. “Ini kan sama saja dengan bohong jika mau secara serius menerapkan Zero ODOL,” ujar Haryo yang juga menjadi Anggota Komisi VII DPR RI ini.

Dengan kondisi seperti itu, menurut Haryo, itu menunjukkan bahwa Kemenhub tidak memiliki sumber daya manusia yang cukup. “Kalau tidak memiliki personil yang cukup, tidak mungkin Zero ODOL bisa dilaksanakan. SDM -nya aja nggak ada kok,” ucapnya.

Jadi, katanya, jembatan timbang itu harus dibenahi terlebih dulu, terutama sumber daya manusia dan perangkat peralatannya. “Kalau belum, ya memang sulit kalau mau menerapkan Zero ODOL ini,” tandasnya.

Selain jembatan timbang, menurut Haryo, yang perlu dibenahi lainnya adalah daya dukung jalan. Dia mengungkapkan daya dukung jalan atau muatan sumbu terberat (MST) kelas 1 di Indonesia hanya 10 ton. Sementara, di negara lain seperti China sudah mencapai 100 ton, Jepang dan Eropa 75 ton. “Artinya, jalan-jalan yang ada sekarang harus dibongkar semua. Konstruksinya harus kuat,” tukasnya.

Dosen Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB), Sony S. Wibowo, mengatakan kerusakan jalan yang terjadi tidak selalu disebabkan karena adanya beban berlebih yang melewatinya. Menurutnya, pengaruh beban berlebih pada jalan itu baru akan terasa dalam satu tahun ke depan.

“Banyak orang mengatakan jalan rusak lalu berkilahnya itu karena beban, itu tidak benar. Kalau jalan itu dibangun dengan benar, pengaruh beban berlebih pada jalan itu baru terasa setahun kemudian. Jadi, tidak langsung rusak seperti yang sering terjadi selama ini,” ujarnya.

Dia menuturkan ada beberapa aspek yang bisa menyebabkan masalah kerusakan jalan. Di antaranya karena kualitas pekerjaannya, kualitas materialnya dan juga karena beban. Tapi, katanya, kalau suatu jalan itu rusak karena beban, itu biasanya terjadinya tidak segera.

“Jadi, misalnya jalan yang baru saja diperbaiki kemudian dalam waktu 2-3 bulan sudah rusak, itu hampir dipastikan bukan karena beban. Itu hampir dipastikan karena kualitas pekerjaan atau juga penggunaan material yang buruk, atau dua-duanya. Sudah materialnya buruk, kualitas pekerjaannya juga jelek,” katanya.

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU