Tahuna-Hari Selasa 21 Desember 2021, sore hari pukul 16.00, berita datang lewat pesan singkat di grup WA SSI dari Pendeta Wilson Rorong, ada sebuah tronton dengan muatan mesin drilling sedang diangkut menuju Bowone. Tronton tersebut terhenti di kampung Tetilade, karena jembatan yang akan dilalui terlalu kecil.
Info tersebut membuat kaget masyarakat di kampung Bowone dan sekitarnya. Hal ini karena PT. TMS belum memiliki ijin pemanfaatan pulau dari Menteri Kelautan dan Perikanan, berdasarkan UU 1 tahun 2014 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Dengan demikian PT. TMS seharusnya tidak boleh beroperasi. Selain itu Izin Operasi PT. TMS juga sedang digugat oleh masyarakat Sangihe di PTUN Jakarta. Dengan demikian PT. TMS seharusnya menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
Timbul dugaan kuat, bahwa PT. TMS memanfaatkan masa-masa menjelang Natal itu, untuk mengangkut alat beratnya. Dalam masa ini, masyarakat Sangihe yang mayoritas beragama Kristen pasti fokus mempersiapkan diri untuk menyambut Natal.
Merespon pengangkutan alat berat itu, beberapa anggota masyarakat yang tergabung dalam gerakan Save Sangihe Island dari Kampung Bowone, Binebas, Bentung dan Salurang, kemudian dengan mengendarai satu minibus segera menuju kampung Kaluwatu di Kecamatan Manganitu Selatan, yang berdekatan dengan Kampung Tetilade. Namun, mereka tidak bisa mendekati mobil tronton tersebut, karena dikawal oleh tiga buah mobil patrol polisi yang bertuliskan Polres Sangihe. Saat itu cuaca sedang hujan deras. Mereka kemudian berbalik lagi, dan mencegat mobil itu di Kampung Bowone, Kecamatan Tabukan Selatan Tengah.
Menjelang tengah malam, mobil tronton itu tiba di Bowone dengan pengawalan aparat baik dengan mobil Polisi maupun sejumlah sepeda motor. Masyarakat hanya bisa meneriaki tanpa bisa menghalangi, karena jumlah mereka yang sedikit.
Rabu, 22 Desember 2021. Masyarakat di Bowone kembali mendapat informasi bahwa masih ada sejumlah alat berat milik PT. TMS yang masih berada di pelabuhan penyeberangan Pananaru, Kecamatan Tamako. Pagi- pagi benar, dengan dipimpin oleh Arbiter Makagansa seorang pensiunan guru, beberapa orang kemudian menuju Pananaru dengan mengendarai sepeda motor. Sesampai di sana mereka menjumpai dua buah tronton yang memuat satu container panjang dengan tulisan Indodrill dan satu mesin berukuran besar.
Menjelang siang hari, sejumlah orang lainnya datang bergabung. Mereka berasal dari Kampung Bowone, Binebas, Salurang, Laine, Kaluwatu, dan Pananaru. Mereka kemudian menunggu di salah satu bangunan yang ada di kawasan pelabuhan penyeberangan Pananaru. Namun hingga pukul 21.00 tidak ada gerakan apapun dari pihak TMS di pelabuhan tersebut. Arbiter Makagansa kemudian mengajak seluruh masyarakat yang datang saat itu untuk kembali ke rumah masing-masing.
Menjelang tengah malam, didapat informasi bahwa pada hari Kamis, 23 Desember 2021, pihak TMS akan memobilisasi alat-alat mereka yang tertinggal di pelabuhan Pananaru.
Paginya, Kamis, 23 Desember 2021, masyarakat dari kampung Bowone, Binebas, Salurang, Bentung, Lesabe, mempersiapkan diri untuk datang kembali ke pelabuhan Pananaru. Dengan mengendarai mobil pick-up masyarakat yang terdiri dari para lansia, perempuan dewasa dan anak-anak segera menuju kampung Pananaru. Sementara yang laki-laki terutama yang berusia muda pergi dengan mengendarai sepeda motor.
Sekitar pukul 08.00 wita, mereka pun tiba di pelabuhan Pananaru. Di sana sudah ada sejumlah karyawan perusahaan Indodrill yang merupakan operator Tronton maupun alat berat yang hendak diangkut. Selain itu, tampak sejumlah polisi berjaga-jaga, baik yang mengenakan seragam maupun tidak. Di Dermaga terlihat sebuah kapal LCT bertuliskan Bintang Setiawan 86 bersandar.
Menjelang pukul 11.00 Wita, masyarakat yang berdatangan ke pelabuhan Pananaru semakin banyak. Mereka datang dari kampung Lapango, Laine, Kauwatu Kecamatan Manganitu selatan dan Menggawa, Kalinda, Hesang, Pokol dan Nagha 1 dari Kecamatan Tamako. Saat itu, para karyawan PT. TMS sudah selesai memanaskan mobil tronton mereka, dan sudah hendak menjalankan mobil mereka. Para polisi yang berjaga kurang lebih 20-an anggota itu juga segera mempersiapkan diri. Namun ketika mereka baru hendak bergerak, seratusan masyarakat yang sudah sedari pagi berkumpul itu, kemudian segera merubung alat mobil tronton itu. Mereka mulai berteriak meminta mobil tronton itu berhenti. Polisi yang mengawal kemudian mendekati masyarakat, dan meminta menjauh dari mobil tronton. Tapi hal ini tidak digubris. Masyarakat justru semakin mendekat dan mengepung mobil tersebut.
Beberapa orang lain kemudian segera membentangkan spanduk bertuliskan “ PT. TMS dilarang beroperasi di Pulau Sangihe, karena tidak memiliki izin dari Menteri Kelautan dan Perikanan”. Spanduk lain bertuliskan “ Bupati dan rakyat Kepulauan Sangihe, menolak tegas kehadiran PT. TMS” terjadi adu mulut antara polisi yang hendak mengawal alat TMS itu dengan perwakilan masyarakat. Arbiter Makagansa dan Agus Mananohas, warga desa Salurang (76 tahun) yang paling lantang bersuara. “ Alat-alat TMS harus dipulangkan, kami tidak mau alat-alat tersebut di bawa ke Bowone, karena TMS pelanggar Undang-undang”.
Arbiter lebih jauh mengkritik Polisi yang mengawal. “Kenapa aparat justru berpihak kepada perusahaan pelanggar hukum? Seharusnya polisi melindungi rakyat dan bertindak tegas terhadap TMS, perusahaan illegal ini, bukan justru mengawalnya,” kata Arbiter.
Pertentangan argumen terus terjadi. Beberapa yang ikut menyuarakan pemulangan alat TMS adalah Venetsia Andemora, koordinator SSI wilayah selatan, Robison Saul, salah seorang relawan SSI, juga Iwan Lahopang, Kepala Desa Menggawa. Mereka semua secara tegas menyatakan bahwa alat-alat itu harus segera dinaikkan ke atas kapal dan dikembalikan ke pelabuhan asalnya.
Saat itu, seantero Sangihe diguyur hujan. Masyarakat yang berkerumun di pelabuhan Pananaru pun basah kuyup. Setelah bernegosiasi kurang lebih hampir dua jam. Kemudian disepakati antara masyarakat dan karyawan-karyawan yang akan mengangkut alat-alat itu, bahwa seluruh alat akan dinaikkan kembali ke kapal dan dikembalikan ke pelabuhan asal.
Setelah negosiasi, masyarakat dari kampung-kampung di Kecamatan Tamako kemudian pulang ke rumah untuk makan. Sementara warga yang berasal dari Kecamatan Tabukan Selatan dan Tabukan Selatan Tengah, tetap bertahan di pelabuhan. Para ibu tetap bertahan sambil memeluk anak-anak mereka yang ikut dalam aksi boikot alat-alat TMS itu.
Pada sore hari, terlihat gelagat bahwa pihak PT. TMS kembali akan mencoba membawa alat mereka ke Bowone. Hal ini segera disampaikan ke masyarakat di Kecamatan Tamako. Tak lama kemudian, sekitar pukul 17.00 Wita, Iwan Lahopang bersama anggota masyarakatnya dari desa Menggawa, juga sejumlah lain dari Kalinda dan Hesang datang kembali ke pelabuhan Pananaru.
Kepada pihak karyawan, mereka menyatakan kembali dengan tegas, bahwa mereka tidak akan menjamin bila nanti alat-alat yang hendak dibawa itu, tinggal rangka karena akan dibakar oleh warga. Saat itu, kemarahan warga kembali tersulut, karena upaya yang kembali hendak dilakukan oleh pihak TMS. Pihak kepolisian kemudian menengahi, dan meyakinkan masyarakat bahwa semua kembali kepada kesepakatan awal bahwa seluruh alat berat yang ada akan dikembalikan ke kapal.
Masyarakat dari Bowone dan sekitarnya juga dari kecamatan Tamako tetap bertahan di pelabuhan hingga pukul 21.00 wita. Namun kemudian warga dari kecamatan Tamako pamitan dan berjanji akan kembali besok hari jika pihak TMS tidak menepati janjinya. Yang tersisa di Pananaru adalah warga dari desa Bowone dan sekitarnya, juga sejumlah aktivis mahasiswa dari Manado yang ikut dalam perjuangan penolakan terhadap PT. TMS
Jumat, 24 Desember dini hari pukul 02.00 wita, warga dari Bowone dan sekitarnya pulang ke rumah mereka dengan menumpang kendaraan pick-up. Di antara mereka ada orangtua berusia 84 tahun, juga perempuan dengan anak-anak mereka yang masih kecil. Mereka kembali ke Bowone dan Salurang, di saat hujan mengguyur dengan deras pada dini hari itu.
Yang tersisa untuk menjaga di pelabuhan Pananaru adalah para mahasiswa dan sejumlah aktivis SSI.
Siang tanggal 24 Desember itu, para aktivis SSI yang tinggal bersama para mahasiswa terus berjaga di pelabuhan. Selama seharian itu, kondisi pelabuhan lengang. Kendaraan tronton tetap terparkir di pelabuhan belum juga diangkut. Salah seorang sopir tronton, menyatakan bahwa ia akan kembali ke Bowone untuk mengambil bagian belakang tronton yang tertinggal pada dua hari sebelumnya saat mengangkut alat pertama.
Sore harinya, masyarakat dari Bowone, Salurang, Tahuna, Menggawa, Kalinda, Dagho, Kaluwatu, Lapango kembali tiba dengan kendaraan masing-masing. Masyarakat yang berdatangan itu dalam keadaan marah, karena melihat bahwa alat-alat tersebut belum juga dinaikkan ke atas kapal. Mereka kemudian mengultimatum pihak karyawan yang berjaga untuk segera mengangkut alat berat itu malam itu juga. Para karyawan kemudian memberitahu mereka akan mengangkut alat itu ketika air laut pasang, karena sulit bagi mereka untuk menaikkan alat saat air surut.
Para masyarakat pun menunggu hingga malam di pelabuhan Pananaru. Malam 24 Desember itu adalah malam yang biasa dirayakan masyarakat Sangihe yang mayoritas beragama Kristen. Namun pada malam itu, masyarakat Bowone dan kampung-kampung lain memilih merayakan “Malam Kudus” mereka dengan memperjuangkan nasib mereka dari upaya eksploitasi oleh PT. TMS. Mereka memilih merayakannya di pelabuhan penyeberangan Pananaru.
Menjelang pukul 22.00, para sopir dan karyawan Indodrill kemudian menaikkan satu per satu tronton yang memuat alat berat PT. TMS itu ke kapal LCT Bintang Setiawan 86. Mereka sambil diawasi oleh masyarakat yang bergerombol di pelabuhan juga aparat kepolisian yang berjaga saat itu.
Dini hari pukul 01.00, seluruh kendaraan tronton dan peralatan pengeboran PT. TMS telah terangkut semua ke kapal. Tak lama kemudian, kapal pun segera bergerak meninggalkan pelabuhan Pananaru diiringi pandangan mata masyarakat yang selama beberapa hari berjibaku di tengah hujan. Beberapa orang berteriak kegirangan, sementara yang lain meneteskan air mata, air mata keharuan karena telah berhasil menghalau alat berat TMS keluar dari Sangihe.
25 Desember 2021, pukul 01.30, masyarakat dari berbagai kampung yang berkumpul selama beberapa hari di Pelabuhan Pananaru satu-per satu berkemas dan pulang ke rumah masing-masing. Satu babak perjuangan telah dilalui, masih ada babak selanjutnya yang tetap membutuhkan tekad, keringat, dan juga air mata untuk menyelamatkan Sangihe eksploitasi rakus, pihak-pihak yang tidak mempertimbangkan keselamatan pulau Sangihe.(eddy lahengko)