26 April 2024
HomeBeritaRUU Kesehatan Mengembalikan Kewenangan Negara dari Ormas Kesehatan

RUU Kesehatan Mengembalikan Kewenangan Negara dari Ormas Kesehatan

JAKARTA– Transformasi Kesehatan melalui RUU Kesehatan OBL diperlukan antara lain untuk mengkoreksi sejumlah ketentuan dalam UU Praktik Kedokteran 2004 yang mengurangi peran pemerintah dan negara dalam sektor kesehatan.

Hal ini disampaikan Dewan Pembina Forum Dokter Susah Praktek (FDSP), Dr. Judilherry Justam dalam konferensi pers yang diadakan di Gedung Juang, Jalan Menteng 31, Jakarta Sabtu (6/5) oleh Koalisi 17 Organisasi Pendukung RUU Kesehatan.

“Dalam UU tersebut, Dinas Kesehatan – bahkan Menteri Kesehatan sekalipun – tidak dapat mengeluarkan izin praktek tanpa adanya rekomendasi izin praktek dari IDI Cabang,” ujarnya.

Begitupun Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) menurutnya tidak dapat mengeluarkan Surat Tanda Registrasi (STR) tanpa terlebih dahulu memiliki Sertifikat Kompetensi (Serkom) yang dikeluarkan oleh kolegium bentukan IDI (Ikatan Dokter Indonesia).

“Kewenangan IDI dan PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia) berdasarkan UU Praktik Kedokteran ini diikuti dan ditiru pula oleh organisasi nakes lain seperti IAI (Ikatan Apoteker Indonesia), PPNI (Perkumpulan Perawat Nasional Indonesia) dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI),” katanya.

Demikian juga, ketentuan organisasi profesi sebagai organisasi tunggal, menyebabkan setiap dokter, dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya terpaksa harus menjadi anggota organisasi profesi masing-masing.

Sebagai contoh, IAI dalam AD/ART-nya menyebutkan bahwa IAI adalah satu-satunya organisasi profesi untuk Apoteker. Tidak ada dasar hukumnya yang bisa membenarkan klaim IAI sebagai organisasi tunggal untuk apoteker.

“Sebetulnya anggota-anggota IAI dapat mengajukan gugatan PMH (Perbuatan Melawan Hukum) pada PP IAI. Karena berdasarkan klaim sebagai satu-satunya organisasi profesi apoteker, IAI bisa memungut dana rekomendasi izin praktek dan sertifikat kompetensi apoteker,” ujarnya.

Menurutnya, tidak ada contoh di negara lain dimana organisasi profesi sebagai organisasi tunggal, kolegium dibentuk oleh organisasi profesi dan rekomendasi organisasi untuk dapat memperoleh izin praktek.

“Dengan mencabut UU Praktik Kedokteran berarti kita ingin mengembalikan IDI dan PDGI ke khittahnya,” ujarnya.

Kehilangan Hak Pungutan Dana
Ia mengatakan, bisa dimengerti mengapa organisasi profesi IDI dan PDGI mati-matian ingin mempertahankan UU Praktik Kedokteran 2004 agar tidak dicabut.

“Oleh karena dengan dicabutnya UU Praktek Kedokteran 2004, pengurus IDI akan kehilangan pijakan untuk dapat memungut dana rekomendasi izin praktek, sertifikat kompetensi dan biaya pemenuhan SKP (Satuan Kredit Partisipasi),” jelasnya.

Menurutnya, anggota-anggota IDI sendiri sangat berterima-kasih bila STR diberlakukan seumur hidup dan penyederhanaan persyaratan izin praktek tanpa keharusan perlunya rekomendasi IDI.

“Di samping itu sangat meringankan biaya yang harus dikeluarkan oleh masing-masing anggota IDI dan PDGI,” katanya dalam kesempatan itu.

‘Bahaya’ Dokter Asing
Judil mengatakan dalam narasi penolakan RUU Kesehatan yang sering disebutkan adalah bahaya masuknya dokter asing, investasi asing, perlindungan hukum bagi dokter dan liberalisasi.

“Mengenai yang terakhir tentang liberalisasi, justru tidak masuk akal. Dengan mencabut UU Praktek Kedokteran, justru memangkas liberalisasi dengan memangkas kewenangan organisasi profesi dan mengambalikannya pada pemerintah dan KKI,” katanya.

Ia mengingatkan, RUU Kesehatan Pasal 233, menyebutkan bahwa Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan WNA lulusan luar negeri yang melaksanakan praktik di Indonesia harus mengikuti evaluasi kompetensi.

“Jika hasil uji kompetensi mereka adalah kompeten, maka mereka harus mengikuti adaptasi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan serta wajib memiliki STR dan SIP selama adaptasi,” ujarnya.

Menurutnya, jika hasil uji kompetensi mereka adalah belum kompeten, maka mereka harus kembali ke negara asalnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

Mengenai investasi asing yang berkualitas internasional ia berharap dapat mengurangi arus orang kaya Indonesia berobat keluar negeri.

“Saat ini saja ditengarai sekitar 2 juta orang Indonesia berobat keluar negeri setiap tahun yang menghabiskan devisa sekitar Rp 1,6 Trilyun. Sekiranya bisa dihemat 10% saja, cukup besar manfaatnya,” katanya.

Yuli Suprapti dari Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) mengungkapkan bahwa selama ini dokter selalu dibenturkan dengan masyarakat.

Perlindungan Hukum
Ia juga menyampaikan perlindungan hukum bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan bukan merupakan hal yang baru karena dalam UU 36/2014 Tenaga Kesehatan dalam Pasal 57 huruf (a) dinyatakan bahwa Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional.

“Hal ini tidak dihilangkan bahkan ditegaskan kembali di dalam RUU Kesehatan Pasal 282 Ayat (1) huruf (a),” ujarnya.

Dia menjelaskan, Pelindungan Hukum Tenaga Medis & Tenaga Kesehatan pada RUU Kesehatan Pasal 322 Ayat (4) Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang telah melaksanakan sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dijatuhkan terdapat dugaan tindak pidana, aparat penegak hukum wajib mengutamakan penyelesaian perselisihan dengan mekanisme keadilan restoratif.

Pasal 282 Ayat (1) Huruf a Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak mendapatkan pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan Pasien.

“Inti sebenarnya adalah IDI dan PDGI tidak menghendaki dicabutnya UU Praktik
Kedokteran Tahun 2004. Narasi penolakan yang disebutkan hanya sekedar mencari simpati publik. Tetapi justru dengan pencabutan RUU Praktik Kedokteran akan sangat memberikan manfaat pada dokter dan sekaligus bagi masyarakat yang membutuhkan akses pelayanan kesehatan,” jelasnya.

Konferensi Pers ini dihadiri Dr. Yenni Tan, MARS Ketua FDSP Dr Niko Akbar (FDSP), Brigjen Pol (P) Apt Mufti Djusnir (PASI, MFI, FIB ), Apt Merry (KAMPAK), Mom Bena (AAPN), Beatrico Lyo Aratodang ( mahasiswa korban UKAI), Prof Dr Deby Vinski (Wakil ketua PDSI), Sukendar SKep (LBHPI ), Serikat Tenaga Kesehatan Nasional indonesia (STKNI ) Web Warouw (Siti Fadilah Foundation), Yuli Supriati (Dewan Kesehatan Rakyat), Dr Hiskia, SH, MARS, MH Korban Panitia Nasional Uji Kompetensi Apoteker Indonesia (PN UKAI), Dr. Maruarar Panjaitan Sp OG dan Dr. Gabriela Suarez (Forum Dokter Pendukung RUU Kesehatan) dan Dr. Timbul Tampubolon (Dewas PDSI). (sp)

ARTIKEL TERKAIT

TERBARU